Senin, 23 November 2009

Tamatkah negeri para bedebah?

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala//
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah//
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah//
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya//
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan…


Raden Mas Suloyo, ningrat yang merakyat di kampung saya ini tiba-tiba makantar-kantar membacakan puisi karya Adhie Massardi berjudul Negeri Para Bedebah… itu. Di sela diskusi kelas kampung, Denmas Suloyo bergaya bak Si Burung Merak, mengepal, berteriak hingga muncrat di tengah komunitas jagongan News Café kami.
Tepuk tangan pun akhirnya kami berikan. Diskusi di kampung saya Minggu kemarin memang lumayan meriah. Sehingar-bingar isu perseteruan antarlembaga hukum di negeri kita yang dicap sebagai negeri bedebah. Seperti biasa Denmas Suloyo selalu menjadi lakon, karena pandangan-pandangan politiknya yang sering nyeleneh dan waton sulaya meskipun sering bernuansa kritis.
“Kita harus mendukung untuk memberantas para bedebah. Rekomendasi Tim 8 untuk mereformasi, mereposisi para personal di kepolisian dan kejaksaan harus kita dorong… di sana memang banyak oknum bedebah! Kalau Presiden tak berbuat apa-apa mari kita revolusi, demonstrasi atau paling tidak berdoa agar Pak SBY bertindak tegas!” teriak Denmas Suloyo seakan belum puas setelah menggeh-menggeh berpuisi ria.
Ayak… panjenenganini kok kaya yak-yak a ta Denmas. Ngko diyaki luput. Sepertinya meresapi betul puisi yang sampeyan baca tadi ya. Tapi ini kan perkara besar. Urusan para priyagung. Rakyat seperti kita ini apalah artinya… hanya bisa pasrah apapun yang menjadi titah penguasa,” timpal Mas Wartonegoro, partner diskusi paling klop Denmas Suloyo.
“Nah justru itu Mas. Mulai sekarang kita harus bisa menggalang opini yang ngedab-edabi. Suara rakyat adalah suara Tuhan… jika kita bersatu untuk menyuarakan kebenaran, menyuarakan rasa keadilan… maka bukan hal yang mustahil kita yang jelata ini bisa mengusir para bedebah,” kata Denmas Suloyo berapi-api.
“Benar juga lho Mas apa yang dikatakan Denmas Suloyo. Kasus heboh di negeri kita kemarin itu, bisa menggelinding kencang juga tak lepas dari peran besar rakyat biasa. Gerakan di Facebook, demonstrasi di berbagai penjuru kota dan diskusi-diskusi kecil macam kita ini bisa jadi merupakan cikal bakal terbentuknya opini publik yang luar biasa. Ini pula yang mendorong Presiden kita kemudian memutuskan membentuk tim pencari fakta… rak iya ta?” kata saya setengah bertanya kepada peserta jagongan.
Negeri buruk rupa
Begitulah. Ajang kumpul-kumpul rakyat kelas bawah seperti ini memang sering tak memberi efek besar kepada kebijakan negara. Namun ketika era telah berubah seperti sekarang, tidak ada yang mustahil bahwa ketidakadilan bisa ditumbangkan oleh gerakan rakyat lewat berbagai cara dan media.
Karenanya, dalam obrolan ngalur-ngidul tentang “para bedebah”, tentang perseteruan antara “cicak dan buaya”, tentang harapan rakyat akan ketegasan pemimpinnya, menjadi ajang yang menyenangkan bagi orang-orang kelas bawah seperti kami yang sering tak punya media besar untuk menyalurkan uneg-uneg sekadar ngudarasa.
Kita semua tentu berharap, negeri ini tidak terus menerus dicap buruk rupa, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Indonesia yang sesungguhnya kaya raya, gemah ripah loh jinawi ini, sering mendapat julukan yang buruk-buruk. Ada yang menyebut Republik Mimpi Buruk lah, Republik Maling lah, Republik Pelupa lah dan masih banyak yang lainnya termasuk sebagai Negeri Bedebah tadi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, “bedebah” adalah makian untuk seseorang yang bermakna kurang lebih “celaka”. Namun dalam bahasa sosiologis bedebah sebenarnya lebih berkonotasi kepada orang-orang yang tak bermoral, tak punya rasa malu, suka menipu, tebal muka, sumpahnya palsu, injak sana-injak sini, bertindak sewenang-wenang, apa pun dilakukan demi tercapainya tujuan, tak ada kamus haram dalam benaknya, semua halal, mencla-mencle, miyar-miyur, esuk tempe sore dhele dan seterusnya… itulah orang yang patut diumpat dengan kata “Bedebah!!!”
Semoga saja hangar bingar perseteruan antara lembaga hukum di negeri kita bisa segera berakhir dengan keputusan tegas Presiden kita yang akan disampaikan hari ini. Semoga bangsa ini memperoleh kedamaian dengan kebijakan pemimpin kita yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat bukan sekadar menegakkan hukum normatif lewat ayat dan pasal yang sering menggelisahkan rakyat.
Semoga saja cap sebagai bangsa pelupa, karena selalu melupakan hal-hal penting dalam perjalanan sejarah pendewasaan bangsa setelah dininabobokkan penguasa juga segera hilang. Carut marut wajah peradilan hukum kita yang penuh dengan makelar kasus, rekayasa dan bedebah-bedebah itu perlu keputusan berani dan tegas.
Negeri ini membutuhkan sosok pendekar hukum seperti almarhum Baharuddin Lopa, yang oleh Pak Kiai Cholil Bisri disebut sebagai orang yang mengerti dan berani membela prinsip kebenaran dan keadilan. Dia adalah orang yang sederhana, sehingga tidak pernah takut akan “ancaman” sesama. Orang yang mempercayai anugerah Tuhan, sehingga tidak pernah khawatir dengan segala akibat ketika dia menjunjung tinggi perintah yang dipercaya, yang diyakini kebenarannya. Adakah sosok seperti itu? Kalau belum juga ada, maka para bedebah penguasa negeri ini belum akan tamat riwayatnya…[]

Sang wakil di menara gading…

Sepanjang bulan Ramadhan silam, kelompok diskusi kelas wedangan Mas Wartonegoro, Raden Mas Suloyo dkk yang biasa mangkal di News Café, di kampung saya Mojosongo praktis tak banyak melakukan kegiatan. Masing-masing orang sedang sibuk bermuhasaba bermenung, merefleksi diri untuk mencari hakikat diri dan hakikat kehidupan, berubah sedikit religius, meninggalkan banyak hal yang berkait dengan keduniawian.
Karena itu, ketika kami bertemu di Lebaran hari kedua pekan lalu obrolan begitu gayeng, seru. Ternyata, telah banyak hal terjadi di negeri ini yang luput dari perbincangan kami. Beragam peristiwa sosial, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan bergulir kencang. Semuanya hampir berlangsung di bulan September dan pada Oktober yang kurang dua hari lagi ini semuanya harus telah diputuskan.
“Ada kasus Bank Century yang merembet ke mana-mana itu, lalu muncul persoalan antara kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga Presiden harus turun tangan bikin Perpu yang menimbulkan polemik, sampai kampung kita Mojosongo yang mendadak terkenal ke suluruh Indonesia bahkan dunia gara-gara Noordin M Top ngumpet di sini. Hampir semuanya lepas kita diskusikan ya,” kata Denmas Suloyo, seperti biasa membuka obrolan dengan penuh semangat.
“Ya maklum saja ta Denmas, kita kan kemarin sepakat selama puasa berkonsentrasi meningkatkan derajat religiusitas. Diskusi soal perpolitikan kita kurangi dulu. Tapi nyatanya susah juga ya berdiam diri tidak ikut membicarakan persitiwa yang ada di sekitar kita. Termasuk waktu penggerebekan Densus 88 ke tempat persembunyian Noordin M Top di kampung kita menjelang Lebaran silam. Wah gayeng tenan Mas. Kampung kita ‘Emjinine’ tambah moncer. Malah kawan saya di Karanganyar sana juga ikut-ikutan nyebut kampungnya dengan ‘Emjibanana’… Mojogedang, maksudnya,” timpal Mas Wartoengoro yang disambut derai tawa kawan-kawannya.
“Tapi ada satu hal yang mestinya jangan sampai lepas dari pengawalan kita, yaitu soal rencana pelantikan anggota DPR/MPR awal Oktober mendatang. Isu soal dana yang mencapai miliaran rupiah serta mengingatkan wakil-wakil kita di parlemen agar bekerja sungguh-sungguh, harus selalu kita kobarkan,” kata Denmas Suloyo.
Menara gading
Ya, seperti kita ketahui pelantikan 560 anggota DPR dan 132 DPD periode 2009-2014 sempat mengundang polemik gara-gara Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan dana hingga Rp 11 miliar hanya untuk pelantikan. Bukan hanya itu, para legislator dan senator itu juga akan mendapatkan sejumlah fasilitas istimewa sebelum pelantikan.
Sekalipun belakangan panitia siap memangkas biaya pelantikan sampai 50%, toh sampai sekarang berita soal pemangkasan itu belum terdengar lagi jadi tidaknya. Kalau pun sejumlah anggota parlemen yang hendak dilantik juga merasa jengah dengan persoalan dana tersebut, hal itu kan tidak akan mempengaruhi kebijakan tentang pendaaan seremoni.
Permasalahan yang lebih penting sesungguhnya bukan sekadar hiruk-pikuk atau pro-kontra pelantikan itu. Kita justru perlu mengingatkan soal komitmen perubahan sikap, perilaku, tindak tanduk, kebiasaan bahkan citra buruk anggota parlemen pasca pelantikan nanti, karena selama ini yang terpatri di benak sebagian besar masyarakat kita anggota Dewan seolah identik dengan suap, korupsi, pemalas, mementingkan diri sendiri dan golongan, lupa kepada rakyatnya dan hal-hal yang bersifat buruk lainnya.
Sudah saatnya anggota parlemen memiliki paradigma baru, bukan lagi ke Senayan untuk sekadar menikmati kedudukan, atau terus memilihara pameo 4D--datang, duduk, diam dan dapat duit. “Mereka yang sesungguhnya adalah wakil kita, jangan sampai keenakan seolah-olah sekarang tinggal di menara gading yang tidak tersentuh dan tidak mau turun ke bawah. Kita harus selalu ingatkan itu sejak sekarang,” kata Denmas Suloyo.
Istilah menara gading, memang kerap digunakan untuk memaknai tempat menyendiri yang memberi kesempatan penghuninya untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Menara gading adalah tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan, tempat untuk menyendiri menikmati keberhasilan seseorang dan melupakan siapa saja termasuk orang-orang yang pernah berjasa mengantarkan keberhasilannya.
Masa euforia pascareformasi sejak sepuluh tahun silam bagi anggota Dewan, rasanya sudah cukup. Tuntutan eksternal jelas makin kuat atas eksistensi DPR. Suara-suara yang keras dan konsisten dari luar hendaknya menjadi faktor penting untuk mengingatkan anggota parlemen agar bekerja sungguh-sungguh.
Anggota DPR yang hendak dilantik awal Oktober besok lebih dari 560 anggota dan 70 persen dari mereka adalah wajah baru. Kita bersyukur sebagian di antara mereka telah menyatakan malu dengan rencana pelantikan berbiaya miliaran, namun sekali lagi bukan perayaan pelantikan sebagai titik pusat perhatian rakyat. Justru momentum itu adalah anjakan awal harapan masyarakat agar peta politik di gedung wakil rakyat berubah. Bukan lagi orang-orang klimis yang selalu menutup mata nasib orang-orang yang diwakilinya karena dia bertahta di menara gading.
Kita semua berharap, seluruh anggota parlemen nanti tidak menjadi silau karena popularitas dan kekuasaan. Sebab, mengutip KH M Cholil Bisri dalam salah satu tulisanya di buku Menuju Ketenangan Batin (2008), di zaman modern ini tidak ada seorang pun yang tidak silau ketika kena sorot. “Semakin sering disorot, makin sering ‘menderita’ silau. Yang terjadi, saat kesilauan menerpa orang tidak mudah melihat sosok di depannya. Apakah itu cucu, atau mertuanya. Bisa jadi, siapa saja yang di depannya diterjang begitu saja. Baru sadar saat ada yang meraung atau celaka.”
Karena itu, Kiai Cholil mengingatkan jangan sampai ada orang-orang yang terkenal–termasuk para calon anggota parlemen yang dilantik 1 Oktober mendatang, larut dalam arus pujian, hanya melihat kelebihan dirinya tanpa mampu meraba kekurangan. “Dia lupa diri, dan pada gilirannya tidak ingat kepada siapa Yang Mengecat Cabai. Dia menjadi angkuh dan jumawa.” Padahal dia hanyalah seorang wakil tapi malah bertahta di menara gading…[]

Ilham senyum & kepedulian...

Tidak seperti biasanya, komunitas jagongan News Cafe di kampung saya kali ini mengganti topik diskusi dunia perpolitikan. Maklum, selain tak ada isu politik menarik Minggu kemarin sudah dalam suasana Ramadan sehingga kami merasa lebih penting membahas persoalan tentang ilham kebaikan, kebenaran dan kepedulian kepada sesama...
Maka ketika saya membawa cerita tentang betapa dahsyatnya pengaruh senyuman yang diilhamkan-Nya kepada manusia, Denmas Suloyo, Mas Wartonegoro dan kawan-kawan lain tampak terkesima. Kisah senyum ini saya unduh dari boks milis email yang dikirim kawan saya setahun silam.
Kisahnya adalah tentang seorang ibu yang sedang menuntut ilmu di negeri seberang. Pada kelas terakhir yang diambil wanita Indonesaia itu adalah matakuliah Sosiologi. Sang dosen, kata si ibu, sangat inspiratif, ”Tugas terakhir yang diberikan dosen ke siswa diberi nama Smiling," tulis wanita yang hingga cerita berakhir tidak saya ketahui siapa nama dan alamatnya.
Mahasiswi Indonesia, ibu tiga orang putera itu berkisah, seluruh siswa diminta pergi ke luar dan memberikan senyuman kepada tiga orang asing yang ditemui lantas mendokumentasikan reaksi mereka. Singkat cerita, setelah kuliah usai dia bergegas menemui suami dan anak bungsunya yang menunggu di taman halaman kampus karena mereka hendak ke Restoran McDonald's dekat kampus. ”Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering...! Saya masuk ke dalam antrean, saya minta suami menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk kosong.”
Ketika sedang dalam antrean itulah, cerita si ibu, mendadak setiap orang di sekitar dia menyingkir dan bahkan orang yang semula antre di belakang dia ikut menyingkir keluar dari antrean. ”Ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua menyingkir, saya membaui sesuatu yang menyengat, khas bau badan kotor. Tepat di belakang saya ternyata berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali,” ceritanya.
Lalu ketika dia menunduk, tanpa sengaja dia menatap laki-laki tunawisma yang berbadan lebih pendek, ”Dan dia tersenyum ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam... tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap saya seolah meminta agar saya dapat menerima kehadirannya di tempat itu... sambil berkata ’good day..!’ sambil menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dia pesan.”
Spontan, kata si ibu mahasiswa itu, dia membalas senyuman tunawisma tersebut, ”Seketika saya teringat tugas dosen saya. Lelaki kedua yang juga dekil rupanya menderita defisiensi mental dan lelaki bermata biru tadi adalah penolongnya. Saya sangat prihatin... setelah mengetahui ternyata dalam antrean itu kini hanya tinggal saya bersama dua orang tunawisma tersebut.”
Ketika pelayan menanyakan kepada mahasiswi kita apa yang ingin dipesan, sang ibu itu pun mempersilakan kedua lelaki di belakangnya untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir!" katanya kepada pelayanan.
Ternyata koin yang terkumpul, dua orang tunawisma tadi hanya cukup untuk membeli kopi. Di restoran Barat, memang sudah menjadi aturan jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh harus membeli sesuatu. ”Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan. Tiba-tiba saya diserang rasa iba, memelas. Saya melihat mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari pembeli lain dan hampir semuanya mengamati dua tunawisma itu.”
Mahasiswi kita itu baru tersadar setelah petugas di counter menyapanya. ”Saya minta dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah. Setelah membayar, saya minta petugas untuk mengantarkan pesanan saya ke tempat suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya ke arah meja kedua lelaki tadi. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di meja mereka sambil tangan saya memegang punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu... ’makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua’.”
Mata biru lelaki bule tunawisma itu, kisah mahasiswi kita, menatap dalam ke arahnya, ”Mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata, ’Terima kasih banyak nyonya’. Saya mencoba tetap menguasai diri, sambil menepuk bahunya saya berkata, ’sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian..."
Mendengar itu, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kawannya sambil terisak-isak. ”Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu... saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya. Suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum, ’Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku.’ Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan kami bersyukur dan menyadari bahwa hanya karena ilham-Nya lah kami telah berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.”
Saat mereka sedang menyantap makanan, tamu yang akan meninggalkan restoran lalu disusul beberapa tamu lainnya satu persatu menghampiri meja keluarga Indonesia itu untuk sekadar ingin berjabat tangan. Salah satu di antaranya memegangi tangan mahasiswi kita tadi sambil berucap, ”Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi..."
Begitulah. Ketika kisah itu saya bacakan kepada kawan-kawan ngobrol saya, mereka hanya diam, sunyi, senyap, tafakur, tidak seperti ketika mendiskusikan perihal perpolitikan yang biasa kami lakukan. Cerita ibu mahasiswa tadi menjadi ilham bagi kami bahwa sesungguhnya senyuman dan kepedulian itu juga merupakan ilham dari-Nya. Dan itu diberikan kepada mereka yang berhati jernih...

Minggu, 12 Juli 2009

Terbang dengan sebelah sayap…

Rabu 8 Juli, bangsa kita kembali mengukir sejarah dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, melaksanakan Pilpres. Yang telah menetapkan diri takkan golput, ini adalah kesempatan untuk menyalurkan hak demokrasinya demi memilih pemimpin negeri ini.
Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden RI, Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto telah membangun image, merancang pencitraan, mengungkapkan janji-janji, menyampaikan visi dan misi, berorasi, beretorika, berdebat, saling sindir hingga serang menyerarang. Kini saatnya rakyat yang akan menentukan, siapa sebenarnya di antara ketiga pasangan itu yang layak menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini.
Mas Wartonegoro, Denmas Suloyo beserta gengnya juga telah bersiap mensukseskan pelaksanaan pesta demokrasi terbesar lima tahunan ini. Hanya saja, dalam diskusi dengan format seadanya yang biasa mereka gelar di News Café kampung Minggu kemarin muncul sedikit kekhawatiran soal tingkat kedewasaan masyarakat kita maupun para kandidat capres-cawapres beserta tim kampanye dan segenap komponen pendukungnya.
“Saya kok khawatir, jangan-jangan nanti yang kalah tidak bisa menerima kekalahannya. Jangan-jangan Pemilu kita ini dianggap seperti ajang Copa Indonesia beberapa hari lalu itu, pakai ngambek,” kata Denmas Suloyo.
“Wah lha ya jangan disamakan pemilu dengan sepakbola ta Denmas. Pemilu kan soal keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Kalau bal-balan itu kan sekadar kesenangan,” timpal Mas Wartonegoro.
“Lho jangan meremehkan balbalan Mas. Sepak bola itu juga masalah berbangsa dan bernegara, bisa menjadi cerminan… mirip-mirip, gak beda jauh karena di sana juga ada permainan, politik, juga kebanggaan dan fanatisme. Padahal kita bisa rasakan toh, bagaimana kandidat presiden dan wapres dalam kampanye telah ‘mensinyalir’, ‘menduga-duga’ atau apapun namanya soal kecurangan, adanya rekayasa dan sebagainya. Pemilu kan belum berlangsung,” tambah Denmas Suloyo.
Kita semua tentu berharap, Pilpres lusa akan berlangsung dengan mulus, tak banyak kendala, langsung, bebas, rahasia tak ada rekasa semuanya berjalan seirama. Bukan hanya saat pemungutan suara 8 Juli, namun pascapemilihan pun semoga berjalan dengan aman, damai dan sejahtera.
Hal utama dari harapan itu adalah soal kebersamaan, kedewasaan dan kesadaran seluruh komponen bangsa bahwa tujuan utama dari pesta demokrasi itu adalah demi terwujudnya rakyat yang adil, makmur dan sejahtera.
Konsekwensi dari itu semua adalah semua harus memahami, menghormati soal keberagaman, kebinekaan dan perbedaan pendapat. Karena sesungguhnya tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sayap sebelah
Demikian juga halnya ketika para kandidat telah berkomitmen berkompetisi untuk meraih posisi sebagai punggawa negeri ini, maka mereka nanti wajib menempatkan diri sebagai pribadi-pribadi yang terhormat dan dihormati.
Bahwa kalah menang bukanlah tujuan akhir, namun kesejahteraan dan kemakmuran rakyatlah yang menjadi pokok utama. Sehingga ketika rakyat telah memilih, yang kalah harus berbesar hati, legawa dan kemudian mendukung sang pemenang. Demikian juga sebaliknya, sang juara lantas jangan jumawa. Itulah sikap seorang ksatria sejati.
Karena pada dasarnya, tanpa dukungan seluruh komponen bangsa sang pemenangpun tak akan mampu terbang ke angkasa mewujudkan cita-cita. Ibarat burung dengan sayap sebelah patah, maka dia takkan bisa terbang tanpa didukung kawan-kawannya. Sebab tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap.
Seperti disampaikan Gede Prama, seorang motivator tersohor negeri ini dalam salah satu artikelnya dia meminjam apa yang ditulis Luciano de Crescendo, bahwa kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah dan hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.
Karenanya, kata Gede Prama, kita semua mesti menyadari sesungghnya jika motif kita dalam meraih tujuan berharap menemukan semua orang sependapat, sama dan sebangun dengan apa yang kita pikirkan tak ada perbedaan pendapat dan selalu cocok di segala bidang maka lupakan saja angan-angan itu. “Fundamen paling dasar dari manajemen sumber daya manusia adalah: manajemen perbedaan sebagai kekayaan,” kata Gede Prama.
Sayangnya, menurut dia, kendati idenya sederhana, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak kecil. Ini bisa terjadi, karena seperti diungkapkan di muka tadi bahwa tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap. Bisa terbang (baca: hidup dan bekerja ) sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain.
Gede Prama menegaskan, di perusahaan apapun hampir tidak pernah dia bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Di tingkat keluarga, tidak pernah ditemukannya keluarga bahagia tanpa kesediaan sengaja untuk 'berpelukan' dengan anggota keluarga yang lain. Dan di tingkat Negara, orang sehebat Nelson Mandela dan Kim Dae Jung bahkan mau berpelukan bersama orang yang dulu pernah menyiksanya.
Begitulah. Ibarat burung yang hanya memiliki sebelah sayap, kita membutuhkan sokongan sebelah sayap dari burung-burung lainnnya agar kita semua ini, rakyat negeri ini, bangsa ini bisa terbang menggapai harapan dan cita-cita.

Kamis, 18 Juni 2009

Antiklimaks Gubernur Jateng

Keputusan Gubernur Jateng Bibit Waluyo yang akhirnya akan ikut berkampanye untuk pasangan Capres-Cawapres Megawati-Prabowo, menjadi antiklimak dari sebuah harapan sejumlah masyarakat Jateng yang merindukan keteguhan idealisme seorang pejabat publik.
Kami juga merasa sedikit jengah atas langkah itu, mengingat sebelumnya kami menggebu-gebu mendorong ketetapan hati Pak Bibit untuk tidak ikut serta dalam kampanye legislatif maupun presiden karena dia kini telah menjadi seorang pejabat publik.
Sebab kami berpandangan bahwa ketika seseorang telah menjadi pejabat publik, maka segala atribut yang dia miliki otomatis luruh. Prinsip etika jabatan publik adalah alat untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan penciptaan kepentingan publik yang sudah menjadi tuntutan dan risiko dari peran yang lahir dari suatu jabatan publik tertentu. Sehingga seluruh kepentingan yang bersifat pribadi, kelompok maupun golongan sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.
Waktu itu, kami menganggap apa yang dilakukan Gubernur Jateng Bibit Waluyo untuk tidak ikut berkampanye secara etika dan moral adalah lebih baik di mata publik. Tentunya bagi partai yang menaungi dia, yang mengusung Bibit menjadi Gubernur adalah langkah yang menjengkelkan. Namun begitulah seharusnya seorang negarawan. Ketika dia sudah ditahbiskan sebagai pejabat publik, maka mestinya dia sudah tidak lagi hanya ”berpihak” pada satu golongan atau kelompok tertentu.
Apa mau boleh buat, Pak Bibit ternyata telah berubah pandangan. Terlepas dari apakah perubahan sikap itu akibat tekanan dari internal partai yang dulu mengusung dia sehingga menjadi Gubernur atau bahkan petinggi partai yang sempat meminta ID card Pak Bibit sebagai Gubernur Jateng beberapa waktu lalu, namun kami menyesalkan keputusan Gubernur Jateng yang tampak sebagai sebuah ketidakberdayaan itu.
Sebab, kami berharap apa yang dilakukan Gubernur Jateng untuk tidak ikut serta dalam kampanye setelah menjadi pejabat publik tersebut adalah langkah positif dan akhirnya bisa menular dan menumbuhkan kesadaran kolektif para pejabat publik lainnya di negeri ini untuk lebih berfikir arif dan bijaksana menyikapi Pemilu.
Kami bahkan berharap, langkah Gubernur Jateng kala itu bisa menjadi inspirasi untuk mengubah UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang di antara pasalnya menyebutkan bahwa kampanye yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan di antaranya menjalani cuti kampanye.
Jika perlu, undang-undang yang jelas produk dari para politisi itu diubah agar pejabat publik dilarang ikut kampanye. Mengapa? Karena sudah berulangkali disampaikan para pakar, pengamat politik dan masyarakat bahwa seorang pejabat publik yang ikut serta dalam sebuah kampanye untuk memperjuangkan kelompoknya, partainya pasti akan sangat rentan dengan konflik kepentingan.
Sangat sulit rasanya memilah-milah sesosok pejabat ke dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan, apalagi bagi masyarakat awam. Siapa pun akan sulit mengidentifikasi atau membedakan apakah seorang Gubernur A, Walikota B atau Bupati C itu tengah bertindak sebagai juru kampanye atau jabatan publik yang melekat pada diri mereka.
Lantas apa bedanya perlakuan pejabat publik dengan pejabat BUMN yang dilarang ikut serta dalam kampanye seperti tercantum dalam Pasal 217 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang menyebutkan pejabat negara dilarang terlibat sebagai tim kampanye pasangan Capres-Cawapres.

Rabu, 10 Juni 2009

“Say No! to…”, “Say Yes! to…”

Dampak kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara gara-gara menulis keluh kesah atas pelayanan RS Omni Internasional melalui surat elektronik (email), kembali membuktikan betapa digdayanya kemajuan teknologi informatika.
Ruang maya publik alias Internet kini telah menjadi andalan sebagian masyarakat kita sebagai wahana untuk berbincang, bergosip, bersilaturahmi, berdiskusi bahkan sebagai tempat Curhat atau sekadar rasan-rasan serta mengungkapkan perasaan sehari-hari di dinding situs jejaring sosial semacam Facebook.
Internet sekaligus menunjukkan betapa besar dan ampuh pengaruhnya di dalam ranah kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya manusia masa kini. Lihatlah, betapa hebat dan cepat reaksi masyarakat ketika seorang Prita diperlakukan tidak adil oleh sistem hukum negeri ini.
Ratusan ribu pengguna Internet langsung menggalang “kekuatan” untuk mendukung Prita. Lebih dari 100.000 orang mendukung Prita lewat Internet. Sebagian lainnya bergegas membuat kelompok “penghujat” RS Omni Internasional dengan nama grup “Say No to RS Omni Internasional…” di Facebook. Sampai Minggu (7/6), jumlah anggotanya telah mencapai 33.000 lebih. Mereka yang bergabung dalam grup ini pun menumpahkan segala unek-unek, kejengkelan, kemarahan bahkan hujatannya kepada RS Omni Internasional.
Begitulah. Internet telah menjadikan pola komunikasi manusia di dunia ini melompat sangat jauh ke depan sekaligus memberi tingkat kepraktisan yang sangat tinggi. Dunia maya telah mengambil alih fungsi ruang publik konvensional seperti pasar, gedung parlemen, mal atau taman kota.

Agora
Kawan saya, Kang Yusran Pare, seorang wartawan senior kelompok penerbitan koran milik Kompas dalam blognya malah mengibaratkan dunia maya kini layaknya agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena. Internet, kata dia, tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai kebutuhan, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.
Perubahan pola komunikasi masyarakat kita itu sesuai benar dengan teori determinisme teknologi yang dipaparkan Marshall McLuhan. Dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), McLuhan secara umum menyebut bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri.
Dalam teori itu, McLuhan mengatakan teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik (Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007).
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa, "Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri."
Internet memang telah mengubah sebagian pola komunikasi kita. Dia juga memberikan dampak pada kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan bisa jadi menyentuh pula pada sisi perubahan budaya kita. Budaya tatap muka, suba-sita, ewuh-pekewuh, kegotong-royongan dalam bentuk pertemuan secara nyata mungkin secara berangsur hilang. Yang terjadi kemudian adalah hubungan asosial. Ini tentu akan mengkhawatirkan.
Mengutip Yusran Pare, Internet memang telah menjadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.
Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang sering kali tersumbat atau terkendala kesungkanan.
Karena itu pula, tak heran jika para politisi, calon anggota legislatif, Capres-Cawapres beserta tim suksesnya memanfaatkan kedigdayaan media alam maya ini untuk mencari simpati, berorasi, menggalang kekuatan serta ”menjatuhkan” lawan politik.
Sekalipun demikian, keterbukaan dan kebebasan alam maya yang bisa dimasuki siapa saja tersebut mestinya tetap memberi kesadaran moralitas, etika dan sopan santun bagi penggunanya. Setiap orang bisa membuat grup ”Say No to...” atau ”Say Yes to...” siapa dan apa saja di Facebook, yang penting koridor hukum, moral, etika, sopan santun, membangun sikap politik yang matang, jujur, jernih atau apapun namanya harus tetap dikedepankan.
Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah salah satu syarat utama demokrasi yang sehat. Sebab informasi yang jelas, jujur dan baik, pasti berasal dari kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong pada tindak anarkisme. q

Hukum untuk semua

Langkah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang melaporkan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tim kampanye SBY-Boediono ke Mabes Polri karena melakukan pelanggaran jadwal kampanye, semoga tidak berhenti sebatas retorika di media massa. Kita semua berharap, hukum berlaku untuk semua. Sehingga kasus itu bisa segera diselesaikan tuntas, hingga berkekuatan hukum tetap.
Seperti kita ketahui, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini melaporkan SBY dan tim kampanyenya pada Sabtu malam pekan lalu. SBY dilaporkan melakukan pelanggaran jadwal kampanye terkait acara Silaturahmi Nasional Koalisi Parpol SBY-Boediono di Pekan Raya Jakarta (PRJ), Sabtu (30/5) silam.
Dalam acara itu, SBY menyampaikan visi dan misi sebagai Capres. Acara disiarkan secara utuh oleh TVRI dan sebagian oleh MetroTV. "Tayangan siaran tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran pidana kampanye di luar jadwal, seperti yang diatur Pasal 213 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden," kata Nur Hidayat Sardini.
Mabes Polri sendiri telah memastikan penyidik mereka menindaklanjuti dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Capres SBY-Boediono tersebut. "Bila ada pelaporan yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan tiga pasangan calon dan memenuhi unsur berkaitan dengan UU Pilpres, maka penyidik akan menindaklanjuti," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira, di Mabes Polri, Jakarta, Senin awal pekan ini.
Sekali lagi, kami berharap bahwa proses hukum mengusutan kasus pelanggaran kampanye tersebut bisa segera diselesaikan. Terlebih lagi Pemilu Presiden kini tinggal menghitung hari. Sehingga jangan sampai ada ganjalan, persoalan terlebih lagi dampak yang muncul akibat ketidaksigapan aparat hukum dalam menuntaskan kasus itu. Semoga laporan Bawaslu bisa kelar sebelum Pemilu Pilpres.
Kita semua tentu memiliki keinginan agar pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun ini berjalan tertib, aman, lancar tidak ada satu pun hal yang menyebabkan timbulnya pertentangan, digugat keabsahannya akibat cacat hukum, misalnya. Karena jika itu terjadi, rakyatlah yang akan dirugikan baik secara moral maupun material, rugi tenaga, rugi waktu dan mungkin secara finansial.
Kita mestinya dapat belajar dari pengalaman beragam peristiwa penanganan hukum sebelumnya. Seperti kita ketahui, begitu banyak persoalan hukum yang berkait dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif silam yang hingga kini belum tuntas, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pelaksanakan pelaksanaan Pilpres.
Terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan kepada KPU di Kabupaten Nias Selatan, Sumatra Utara (Sumut) dan Kabupaten Yakuhimo, Papua, untuk menggelar pemungutan suara dan penghitungan ulang Pemilu legislatif. Persoalan seperti ini tentunya sedikit banyak akan mengganggu proses Pemilu secara keseluruhan.
Terkait dengan hal itulah, selain aparat hukum harus sigap, tangkas, cermat dan bertindak cepat hendaknya mereka juga berlaku adil dan tidak pandang bulu. Sekalipun yang dilaporkan adalah seorang Presiden, penegak hukum jangan ragu-ragu untuk menegakkan kebenaran demi kepentingan dan rasa keadilan masyarakat.
Seperti sering disampaikan sejumlah pakar, dalam menjalankan tugas para penegak hukum selayaknya menerapkan paradigma penegakan hukum yang progresif, seperti digagas Satjipto Rahardjo. Penegakan hukum yang progresif adalah penegakan hukum yang dibangun atas asumsi bahwa hukum dibuat bukanlah untuk hukum, tetapi hukum dibuat untuk masyarakat. Penegakan hukum progresif menempatkan keadilan dan kebenaran di atas peraturan atau undang-undang.

ShoutMix chat widget