Minggu, 09 September 2007
Hidup yang semakin absurd…
Kawan saya, Mas Panggalih, dosen di universitas paling top markotop di kota ini, sehari sebelum harga bensin dinaikkan menjadi Rp 4.500 bilang, “Hidup kita ini semakin lama kok semakin absurd ya…”
“Maksudnya?” tanya saya.
“Lha bayangkan saja, sekarang ini yang namanya duit sejuta itu nggak ada artinya. Dalam tempo sepekan, mak wusss… bablas. Bukan buat judi atau kegiatan bersenang-senang, tapi benar-benar buat kebutuhan hidup. Itu apa namanya bukan absurd… tidak masuk akal… mundur…” katanya.
“Oooo…” jawab saya, paham. Namanya juga pak dosen, maka dalam percakapan sehari-hari pun dia harus menggunakan istilah yang sedikit bedalah. Yang pasti, jika yang dia maksud adalah terjadinya kemunduran kualitas hidup yang terus menerus tidak masuk akal dari hari ke hari, itu benar adanya.
Maka, sesaat setelah pengumuman kenaikan BBM Mas Panggalih saya beritahu kalau harga bensin naik menjadi Rp 4.500 dia spontan berucap, “Kenthiiiir… kenthiiiir….” Katanya, pembuat keputusan itu benar-benar semena-mena, tak melihat kondisi riil di masyarakat yang sedang susah, tak mempunyai rasa empati terhadap penderitaan rakyat yang daya belinya kian merosot dan beragam keluh kesah lainnya.
Dia kemudian menggambarkan betapa kualitas kehidupannya sebagai seorang intelektual semakin menurun, akibat berbagai kebutuhan yang dia tanggung semakin tidak sebanding dengan pendapatan yang dia peroleh. Sebagai seorang dosen madya, bergaji sekitar Rp 2,5 juta dengan tiga orang anak yang mulai tumbuh besar, sementara isteri hanyalah seorang ibu rumah tangga, sungguh penghasilan sebesar itu jauh dari kata cukup untuk tidak menyebut sangat kurang. “Seringkali anak saya tiba-tiba menyodorkan surat edaran dari sekolah, Ayah, ini bayar les bahasa Inggris Rp 400 ribu…. Seperti saya katakan tadi, uang sejuta itu terkadang sudah habis dalam seminggu.”
Itu berarti, gaji Rp 2,5 juta sebulan sesungguhnya hanya cukup untuk “hidup” dua setengah pekan. Padahal dalam sebulan terdapat empat pekan. Bagaimana dengan biaya hidup pada satu setengah pekan ke depan? Itu gambaran seorang dosen, belum seorang pedagang yang pendapatannya sangat tidak pasti karena sangat tergantung pembeli, belum lagi seorang kuli bangunan, belum lagi seorang tukang becak yang kesulitan mencari penumpang.
Singkat kata, kesulitan memang kini sedang melanda pada semua lapisan, khusunya kalangan menengah hingga ke bawah yang merasakan bahwa kualitas kehidupan mereka dalam taraf kemunduran, absurd….
Hebatnya, sekalipun hidup penuh tekanan seperti itu, sebagian masyarakat kita tetap bersikap pasrah, ikhlas dan penuh permakluman. Jadi beruntunglah para pembuat kebijakan itu berhadapan dengan masyarakat yang sedemikian penuh dengan tepaselira, sehingga mereka seolah tanpa rasa, bagaikan “raja tega”, menaikkan harga BBM dua kali lipat dengan tutup mata.
***
Kawan saya, Mas Panggalih pun bertutur, betapa orang Indonesia itu luar biasa. Suatu ketika, dalam sebuah konferensi internasional membahas tentang kesejahteraan masyarakat dunia, seorang Indonesia bertanya kepada kawan di sampingnya yang kebetulan berasal dari Amerika. “Mister, gaji Anda di Amerika sana berapa?”
“O… gaji saya 2.000 dolar. Limaratus dolar saya cadangkan untuk kebutuhan rumah tangga, limaratus dolar untuk transportasi, dua ratus dolar untuk rekreasi, tigaratus dolar untuk tabungan,” kata kawan dari Amerika itu.
“Lha sisanya yang limartus dolar, untuk apa Mister…?” kata kawan kita yang dari Indonesia tadi.
“O… kalau itu urusan saya… Anda tidak perlu tahu, terserah saya uang itu akan saya gunakan untuk apa. Lha kalau Anda, gajinya berapa?” kata Mister asal Amerika itu balik bertanya.
“Gaji saya sebulan Rp 1 juta Mister. Limaratus ribu untuk cicilan rumah, tiga ratus ribu untuk bayar kredit sepeda motor, seratus ribu untuk beli bensin, dua ratus ribu untuk biaya sekolah anak-anak, tigaratus ribu untuk makan, seratus ribu un…”
“Sebentar… sebentar… Saudara. Yang Anda sebutkan itu kan sudah melebihi gaji Anda? Lha kekurangannya itu Anda dapat dari mana?”
“O… kalau itu urusan saya Mister… Anda tidak perlu tahu, terserah saya uang itu saya dapat dari mana,” kata kawan kita yang disambut senyum kecut Mister asal Amerika tadi.
Luar biasa memang, tetapi itu juga bagian dari absurditas bangsa kita. Bangsa yang dalam dasa warsa terakhir ini ibaratnya selalu dalam keadaan merugi. Karena kualitas kehidupan kemarin lebih buruk dari hari ini dan kualitas kehidupan hari ini tampaknya akan semakin buruk pada esok harinya.
Akan tetapi betapapun sengsaranya kita, betapapun celakanya kita, betapapun menderitanya kita, ternyata kita telah terbiasa dengan itu semua, kita hanya bisa pasrah. Simak saja syair lagu Koes Plus ini…Ja pada nelengsa//jamane jaman rekasa//urip pancen angel//kudune ra usah ngomel//urip kudu tentrem nyambut gawe karo ayem//ulat aja peteng yen dikongkon ya sing temen…
Absurd… memang…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar