Tragedi Situ Gintung, persoalan daftar pemilih tetap dan bantuan langsung tunai (BLT), penderitaan rakyat adalah objek yang seolah sangat relevan untuk dipolemikkan para calon negarawan di negeri ini dalam kampanye mereka. Tidak adakah kesadaran pada diri para pemimpin Parpol itu untuk mengemukakan hal-hal yang lebih rasional tentang program-program masa depan pembangunan di negeri ini, misalnya?
Kami tentu saja prihatin dengan isi pesan yang disampaikan para calon negarawan itu. Seolah, inilah saat yang tepat untuk saling ejek, saling menjatuhkan atau bahkan saling mencaci maki atas lawan-lawan politik mereka dengan bahasa kasar. Para politisi itu lupa bahwa mereka sesungguhnya sedang membangun citra agar bisa menarik simpati rakyat Indonesia secara keseluruhan, bukan sekadar orang-orang di sekeliling mereka, kelompoknya atau golongan mereka.
Namun yang mereka lakukan justru malah menebar kebencian rakyat terhadap orang lain dan bahkan pada diri mereka sendiri. Dengan kata-kata yang terlampau vulgar, tentunya masyarakat justru akan menilai seberapa besar kapasitas intelektual dan kapabilitas seorang pemimpin yang sebaiknya nanti hendak mereka pilih.
Akan lebih baik, tentunya, pidato politik yang mereka sampaikan penuh dengan tata krama, bahasa yang sopan dan santun, tidak menyerang pihak lain dengan kata-kata yang sarkasme. Tragedi, bencana, beragam persoalan yang sedang terjadi menjelang Pemilu atau bahkan program pemerintah yang sedang dijalankan untuk membantu rakyat mestinya tidak mereka politisasi sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan alat untuk ”membantai” lawan-lawan politik, atau sebaliknya hal yang demikian itu dibangga-banggakan sebagai sebuah ”prestasi” dengan maksud mencibir pihak lain. Singkat kata, janganlah memolitisasi penderitaan rakyat.
Negarawan dan juga para calon negarawan adalah orang-orang yang sedang dan akan memimpin negeri besar ini. Karenanya, mereka haruslah orang yang memiliki sikap terpuji, berdaya nalar cerdas, mempunyai rasa empati dan kepekaan tinggi terhadap permasalahan bangsanya. Mereka haruslah orang yang berani mengatakan kebenaran walaupun pahit dan risikonya tinggi hanya demi untuk kepentingan rakyat, bukan karena demi merebut kekuasaan.
Kita pernah memiliki tokoh seperti itu, misalnya M Natsir, Bung Hatta, Agus Salim, Umar Wirahadikusumah, Hoegeng Iman Santoso dan sebagainya. Kita juga berharap, sekarang dan pada masa yang akan datang, akan lahir negarawan-negarawan sejati seperti mereka. Menyampaikan kritik untuk membangun, bukan menjatuhkan lawan.
Kita bahkan bisa mencontoh sikap kenegarawanan Presiden AS Barrack Obama. Betapa dia menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang besar terhadap pendahulunya, George W Bush, di awal pidatonya dengan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pemimpin AS sebelumnya meskipun mereka dulu adalah musuh politiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar