Mas Wartonegoro semakin terhenyak saat tahu yang datang adalah seorang perempuan dengan raut wajah kusut masai. Apalagi dia ternyata bukan orang asing yang baru hari itu dia kenal. Wanita itu adalah Mbak Cempluk, kawan lamanya, yang sudah belasan tahun dia kenal. “Maaf, saya mengganggu. Saya cuma mau minta tolong, apa sampeyan bisa memintakan keringanan pembayaran di rumah sakit sebelah itu,” kata Mbak Cempluk sambil menitikkan air mata.
“Sik… sik… Mbak. Ada apa ta, kok datang-datang menangis,” jawab Mas Wartonegoro dengan perasaan berkecamuk.
“Anak saya. Sudah dua hari ini dirawat di rumah sakit situ. Tapi baru dua hari biayanya sudah mencapai Rp 2 juta. Lha saya dapet duit dari mana. Bapaknya sudah tidak ada. Pekerjaan saya cuman berdagang makanan, keliling perumahan ini. Sahari belum tentu dapat duit lima ribu rupiah,” katanya terbata-bata, air matanya tak lagi bisa dibendung.
Mas Wartonegoro pun hanya terhenyak. Hati dan pikirannya berkecamuk hebat. Mbak Cempluk adalah kawan akrabnya, walaupun tidak bisa disebut kaya, tapi hidupnya dulu berkecukupan. Namun kini nasibnya berubah seratus delapanpuluh derajat. Dia telah jatuh miskin. Dan jatuh miskin, sesungguhnya bukan hanya dialami Mbak Cempluk. Begitu banyak orang di sekitar Mas Wartonegoro hidup dalam kesulitan ekonomi.
Untuk makan sehari-hari saja, sebagian di antara mereka harus memeras keringat membanting tulang. Belum lagi untuk kebutuhan berobat ketika salah seorang anggota keluarganya sakit, seperti yang dialami Mbak Cempluk. Atau, membiayai sekolah anak-anak mereka. Bukan sekadar uang SPP, tapi ada komponen uang saku, uang transport, uang buku, uang fotokopi dan lain-lainnya.
Singkat kata, menjadi miskin di negeri ini, sama saja dengan tertimpa musibah terjatuh ke jurang yang sangat dalam tanpa ada penolong. Terminologi orang miskin dilarang sakit, orang miskin dilarang sekolah, adalah realita yang memang harus dihindari. Karena seperti ditulis Sixtus Tanje seorang guru Yayasan Pendidikan Diannanda Persekolahan St Kristoforus, Jakarta Barat di Harian Kompas beberapa waktu lalu bahwa dari hari ke hari kaum miskin di negeri ini makin kehilangan hak-haknya.
Hak mereka telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Kian hari jumlah orang miskin kian bertambah, sedangkan kekuasaan makin menjauh dari mereka. Semenjak neoliberalisme menjadi program utama yang dianut bangsa ini, sejak itu juga orang miskin semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai, dan pekerjaan yang layak. Neoliberalisme sebagai ideologi dunia seolah telah sukses meluluhlantakkan pertahanan hidup orang miskin untuk berpendidikan.
Maka begitu relevan kondisi pendidikan di negeri ini yang seolah meminggirkan masyarakat miskin dalam pendidikan seperti ditulis Eko Prasetyo, seorang pengamat sosial, penulis buku bertajuk Orang Miskin Dilarang Sekolah! Walau judulnya sangat terkesan provokatif buku ini tak lantas lebur ke dalam gagasan abstrak semata mengenai cita-cita pendidikan. Dalam buku setebal 255 halaman ini Eko membeberkan berbagai realitas sosial lewat riset dan investigasi yang mendalam.
Dia misalnya mengungkap seorang ”marketing” sekolah yang bekerja selama 18 jam persis tenaga salesman dalam “memasok” siswanya. Kegiatannya adalah mengidentifikasi nama-nama SMA di berbagai kabupaten untuk diiming-imingi agar mau sekolah di tempatnya. Bujukan itu dilakukan dengan dua langkah, yaitu mengirimkan surat kemudian didatangi sekolahnya. Dengan menggunakan mobil milik sekolah yang kadang milik rektor atau kepala sekolahnya, dikelilinginya sekolah tertentu untuk diberitahu tentang ‘masa depan’.
Lucunya isi surat itu tak sekadar “surat penawaran’, melainkan surat pemberitahuan bahwa seorang siswa di SMA yang dikunjunginya sudah diterima. Dengan memanfaatkan taktik ini secara agresif, siswa lalu diberitahu telah mendapatkan beasiswa separuh sedangkan separuhnya harus dibayar setelah lulus SMA, mirip yang dilakukan penyebar pemberitahuan kepada seseorang ‘telah memenangkan hadiah’, sisanya sebagai pelunasan ‘hak milik hadiah’ bisa dibayar belakangan. Sekolah, benar-benar telah menjadi obyek kapitalisme yang sangat kasar. Komersialisasi sekolah kini bukan lagi sesuatu yang tabu, termasuk di sekolah negeri.
Lantas siapa yang bersalah? Tentu saja tak bisa terlepas dari peran besar pemerintah yang memang telah membuka keran fungsi lembaga pendidikan sebagai sebuah pasar bebas, mesin produksi untuk meraup keuntungan. Jika sudah demikian, maka entah apa yang akan terjadi di negeri ini pada masa mendatang. Tak ada lagi kesempatan orang miskin untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak… mereka benar-benar dilarang sekolah dan dilarang sakit… jika tak ingin bertambah miskin…