“Jadi, apa benar iklan sekarang sudah tidak penting... nggak bakal ngefek apa pun,” pertanyaan itu mendadak dilontarkan Radenmas Suloyo kepada karibnya Mas Wartonegoro.
“Halah, sampeyan menyimpulkan teori seperti itu atas informasi dari siapa?” jawab Mas Wartonegoro agak terheran-heran mendapati sahabatnya memperoleh referensi bacaan fenomenal tadi.
“Kan mantan pak dosen jenengan juga yang berceritera. Kata beliau sekarang ini tak penting beriklan, karena kata beliau, era beriklan (di media massa) sudah berakhir. Iklan sudah mati, sudah jatuh pamor. Yang penting sekarang adalah ke-public relation-an. Itu dikatakan pak dosen sampeyan sambil menunjukkan buku ini ketika saya mau pasang iklan di koran,” papar Denmas Suloyo, seperti biasa, berapi-api.
Rupanya, Denmas Suloyo hendak membranding dirinya ke khalayak setelah namanya secara resmi tercantum ke dalam daftar calon tetap anggota legislatif. “Saya kasih tahu ya Denmas, di Indonesia iklan belum mati, iklan belum berakhir. Masyarakat kita masih terpesona dengan iklan. Mau bukti, itu para tokoh partai masih berlomba-lomba mengiklankan dirinya di berbagai media massa,” kata Mas Wartonegoro.
Begitulah. Di negeri kita tercinta, teori tentang “iklan sudah mati” seperti yang dipaparkan Al Ries dan Laura Ries ternyata tidak sepenuhnya benar. Termasuk untuk iklan politik. Survei yang dilakukan berbagai lembaga independen di negeri ini membuktikan bahwa tokoh-tokoh maupun Parpol di Indonesia masih gencar beriklan untuk membujuk para calon pemilihnya. Dalam buku Iklan dan Politik tulisan Budi Setiyono (2008) menyebut data ACNielsen pada Pemilu 1999 dana belanja iklan 41 partai politik mencapai Rp 35,6 miliar. Partai Golkar mengalokasikan dana paling besar yakni Rp 13,3 miliar, disusul PDI-P (Rp 7,5 miliar), dan Partai Republik dengan pengeluaran Rp 3,4 miliar.
Pada Pemilu Legislatif 2004, pengeluaran iklan partai-partai politik melonjak menjadi Rp 112,2 miliar untuk periode Maret 2004. PDI-P mengeluarkan dana terbesar, yakni Rp 39,25 miliar. Partai Golkar di urutan kedua dengan pengeluaran Rp 21,7 miliar. Sementara untuk pemilihan presiden, dana belanja iklan politik mencapai Rp 180 miliar (Hal 328). Untuk Pemilu 2009 mendatang, bisa kita saksikan betapa besarnya belanja iklan Parpol dan calon presiden ditandai dengan gencarnya iklan mereka di media massa.
Hasil dari iklan itu, nyatanya juga tidak mengecewakan. Survei paling mutakhir berbagai lembaga penelitian memperlihatkan bahwa popularitas mereka yang beriklan, seperti Prabowo, Sutrisno Bachir dan lainnya melonjak lumayan signifikan. Jadi, iklan memang belum mati di Indonesia. Bahkan, nyatanya di Amerika pun belanja iklan Barack Obama menghabiskan dana senilai US$4 juta (Rp 42,4 miliar) hanya untuk kampanye penutupan dalam iklan politik eksklusif di televisi (SOLOPOS, 31/10) .
Tentu saja lain Amerika lain Indonesia. Apalagi jika diperbandingkan antara Mr Obama dengan Denmas Suloyo, jelas kelasnya jauh berbeda. Iklan di media, tentu bukan satu-satunya yang dilakukan Obama. Dalam “memasarkan” dirinya, Presiden ke-44 AS ini tentu memiliki kualitas prima dan telah dirintis sejak lama. Branding yang dilakukannya benar-benar lewat beragam cara, integrated marketing communications. Tim public relations (PR) yang hebat, dibarengi kualitas orang yang hendak dijual juga hebat.
“Nah, kalau di sini Denmas... saya kira sampeyan kerep beriklan di koran saja, Insya Allah panjenengan bisa terkenal dan nanti laku di bursa politik,” kata Mas Wartonegoro ngeyem-yemi karibnya yang nyalon sebagai Caleg No 15, PDLY alias Partai Demokrasi Lah Yauw itu.
Dalam The Fall of Advertising and The Rise of PR karya Ries dijelaskan bahwa sukses pemopuleran sebuah merk (branding), akan lebih mudah dibangun melalui pendekatan PR, bukan periklanan (advertising ). Argumentasinya yang dilakukan iklan selama ini, tak lebih dari sekadar cara untuk mengungkapkan segala sesuatu yang baik semata (dalam istilah Ries, “ … advertising can only defend brand ..”).
Sementara, PR merupakan skenario terpadu untuk membangun sebuah pemahaman, atau bahkan mengubah persepsi.
Periklan menurut Ries menuju kekeruntuhan karena dalam pemasaran periklanan miskin kredibilitas, suatu unsur yang maha dahsyat pentingnya untuk dapat membangun kepercayaan konsumen atau publik pada umumnya terhadap suatu merk, sedangkan strategi PR dapat menciptakan kredibilitas itu.
Namun, bagi Indonesia, teristimewa bagi para calon pemimpin kita yang sedang membranding dirinya, termasuk Denmas Suloyo salah satunya, tak perlu pusing dengan soal kredibilitas, kualitas maupun kapasitasnya. Yang penting sering muncul di televisi atau koran dengan wajah tampan, senyum meyakinkan, menebarkan pesona, hidup mapan maka peluang menjadi pemimpin hanya melalui iklan bukan sebuah keniscayaan...
Tentu saja, inilah yang sesungguhnya menjadi soal. Ketika para calon pemimpin hanya mengandalkan iklan sebagai alat untuk menarik massa, memopulerkan diri sementara kapasitas, kredibilitas atau akuntabilitas mereka tidak jelas maka akan rugilah masyarakat pemilih. Mereka akan merasa tertipu karena iklan yang sering kali menampilkan opini subyektif atau kalau pun fakta, fakta yang telah dimanipulasi.
Lantas bagaimana menyikapi fenomena menjadi pemimpin lewat iklan ini? Rakyat pemilih sendirilah yang harus jeli, masyarakat harus cerdas, jangan sampai salah pilih hanya gara-gara terpikat oleh kemasan yang indah dan mengkilat padahal produk yang mereka pilih ternyata tidak berkualitas. Di sisi lain, calon pemimpin yang beriklan hendaknya juga menyadari tentang tingkat kecerdasan mayoritas masyarakat sehingga ketika mempromosikan dirinya masih rasional, tidak manipulatif, tidak menipu dan masih dalam batasan etika. Jika tidak, maka celakalah negeri ini... dipimpin oleh pejabat yang populer karena iklan bukan karena kredibilitas, kualitas dan komitmen yang sesungguhnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar