Senin, 01 Desember 2008
Inikah zaman kalabendhu…
Iki sing dadi tandane zaman kalabendhu
Lindhu ping pitu sedina
Lemah bengkah.
Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara Pagebluk rupa-rupa.
Mung setitik sing mari, akeh-akehe pada mati…
(Inilah yang menjadi tanda zaman kehancuran
Gempa bumi tujuh kali sehari
Tanah pecah merekah
Manusia berguguran, banyak yang ditimpa sakit
Beragam bencana terus menimpa
Hanya sedikit yang sembuh, kebanyakan meninggal…)
Sepekan sudah kita menapaki Tahun 2006. Namun dalam sepekan itu pula, negeri kita seolah tak henti-hentinya dirundung kemalangan. Bencana dan tragedi datang silih berganti. Inikah tanda-tanda menuju zaman kehancuran, inikah dimulainya zaman kalabendhu, seperti yang diramalkan pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Ronggowarsito?
Dalam syair Jangka Joyoboyo, yang penggalannya dicuplik di awal tulisan ini, Ronggowarsito menggambarkan bahwa zaman kehancuran itu ditandai dengan munculnya kereta yang berjalan tanpa kuda, tanah jawa berkalung besi, ada perahu berjalan di atas awan melayang layang, sungai kehilangan danau, pasar sudah tidak ramai lagi, manusia menemukan beragam fenomena yang terbolak-balik, kuda suka makan sambal, perempuan memakai busana laki-laki.
Itulah ramalan Ronggowarsito yang oleh sebagian orang sering disebut sebagai Nostrodamous van Java. Entah ramalan itu terbukti atau tidak, yang pasti apa yang dipaparkan Ronggowarsito ratusan tahun lalu, seolah relevan dengan situasi dan kondisi yang sedang kita alami sekarang ini, zaman yang seolah menjadi puncak kenikmatan dunia karena segala macam kesenenang begitu mudah diraih. Namun di sisi lain, kerusakan telah terjadi di mana-mana.
“Zaman kalabendhu iku kaya-kaya zaman kasukan, zaman kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman ajur lan bubrahing donya...”. (Zaman kalabendu itu seperti zaman yang menyenangkan, zaman kenikmatan dunia, tetapi zaman itu sesungguhnya adalah zaman menuju kehancuran…).
Begitulah. Kita kini sedang menyaksikan zaman penuh keprihatinan. Bencana longsor yang beruntun di Jember dan Banjarnegara dengan korban ratusan jiwa. Kita kini sedang ketakutan terhadap beberapa jenis makanan karena mengandung formalin, zat yang biasa dipakai untuk mengawetkan jenazah atau karena diberi zat pewarna yang biasa digunakan mewarnai kain. Belum lagi berbagai kebutuhan pokok yang terus melambung, BBM, beras, gula, kerupuk dan entah apa lagi. Semua orang bilang, tidak ada yang murah sekarang ini. Gambaran Indonesia sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi, hanyalah slogan.
Di sisi lain, etika dan moralitas bangsa kini dirasakan terus terdegradasi. Berita mengenai betapa absurdnya kehidupan bangsa kita, setiap hari terekspos di media massa. Betapa kita hanya bisa mengelus dada ketika tiga bocah, satu di Cilincing (Jakarta Utara) dan dua di Serpong (Kabupaten Tangerang), menorehkan catatan hitam bagi dunia anak Indonesia pada awal 2006.
Eka Suryana, 7, dibunuh di Cilincing, sementara Indah Sari, 3,5 dan Lintang Syaputra, 11 bulan, dibakar hidup-hidup di Serpong. Semuanya terjadi di rumah sendiri, pelakunya ibu dan kerabat sendiri. Semua hal yang dahulu seolah tidak masuk akal, kini menjadi peristiwa nyata. Seprti ramalan Ronggowarsito tentang perahu yang berjalan di atas awan melayang layang.
Jika saja Ronggowarsito tahu bahwa kini ada pesawat terbang, dia pasti akan terheran-heran. Barangkali sama herannya kita ketika menyaksikan ada seorang ibu yang tega membakar dua anak kandungnya. Indah Sari dan Lintang Syaputra tidak mengerti ketika ibunya, Yeni, 22, menyiramkan minyak tanah ke tubuh mereka. Belum sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, tubuh mereka sudah disulut korek api oleh ibu kandung sendiri hingga keduanya kritis karena luka bakar hebat yang mereka alami.
Lantas apa yang harus kita lakukan menyaksikan kondisi yang sedmikian absurd, membingungkan, terbolak-balik dan semakin gila itu? Zaman yang oleh Ronggowarsito disebut sebagai masa ketika orang yang benar cuma bisa bengong, orang yang melakukan kesalahan berpesta pora, orang baik malah disingkirkan dan orang bejat malah naik pangkat.
Nasihat Ronggowarsito adalah; seberat apapun jangan sampai ikut larut dalam warna-warni zaman kalabendhu. Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti dengan zaman ratu adil, zaman kemuliaan, karena itu tegarlah, tabah, kokoh dan jangan ikut serta melakukan kebodohan-kebodohan. Kita diminta menunggu zaman kemulyaan, zaman ketika ratu adil muncul. Tapi kapan? Entahlah, wallahu a'lam bisawab… hanya Tuhan yang tahu. Karena itu, sudah semstinya kita melaksanakan segala apa yang Dia perintahkan kepada kita untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar