Ya, 61 tahun silam bangsa yang sangat besar ini memang telah menyatakan komitmennya untuk terlepas dari belenggu penjajahan dan hendak membawa rakyatnya menuju ke pintu gerbang kebebsan, menuju keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan agar terwujud sebuah masyarakat yang adil, makmur, damai dan sejahtera.
Pertanyaannya adalah, setelah 61 tahun berlalu dan besok kita memasuki kembali bulan Agustus, sudahkah rakyat di negeri ini meraih kedamaian dan kesejahteraan? Jawabannya tentu saja bisa sudah bisa belum. Mungkin, ada yang mengatakan, “Ya… saya sudah merasa aman, damai dan sejahtera…” Tetapi, itu pasti dari golongan minoritas. Saya yakin, sebagian besar saudara kita menyatakan, “Siapa bilang kita sudah aman, damai apalagi sejahtera…”
Maka, kita akan mahfum jika mayoritas rakyat kita mengatakan bahwa bangsa kita kini masih dalam situasi yang sangat paradoksal, jauh dari cita-cita yang diimpikan founding fathers kita. Tingkat kesejahteraan kian memburuk, tingkat pengangguran masih tinggi, perekonomian secara makro kian terpuruk ditambah bencana yang tak juga ada tanda-tanda berakhir. Mengapa bisa begitu? Banyak sekali argumen tentang mengapa negeri tercinta kita bisa salah urus seperti ini.
Edy Prasetyono, Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS, Jakarta, baru-baru ini menulis di Harian Kompas bahwa perkembangan bangunan negara-bangsa Indonesia sekarang ini dalam kategori mebahayakan. Masyarakat, katanya, gampang bereaksi atas RUU, isu, atau hal-hal yang lain. Beberapa kelompok masyarakat saling berhadapan. Semua menunjuk pada gejala yang sama, “negara tidak hadir”.
Padahal, menurut Edy Prasetyono salah satu alasan dibentuknya negara adalah keamanan. Ini merupakan barang publik (public goods) yang harus diberikan negara kepada masyarakat. Negara dapat menggunakan alat kekerasan secara sah melalui proses demokratis untuk memberi keamanan kepada masyarakat. Tugas dan kewenangan negara ini diberikan oleh rakyat melalui proses politik. Karena itu, sikap diam negara dan alat penegak hukum dalam menyikapi benturan antarkelompok masyarakat dengan fungsi dan atribut yang seharusnya hanya dimiliki negara akan mengancam eksistensi negara itu sendiri. Orang akan mempertanyakan di mana negara saat ini. Mengapa negara seolah membiarkan kekerasan yang dilakukan entitas non-state terhadap kelompok dan individu warga negara lain?
Kedua, ada persoalan lebih besar terkait dengan perubahan watak bangsa kita, menyangkut pembangunan karakter (character building) bangsa yang telah berhenti. Negara (baca: pemerintah) telah salah melangkah dengan mengedepankan terbentuknya generasi cerdas dan pintar, tanpa menghiraukan terbentuknya generasi yang berkarakter, berwatak. Mochtar Buchori, seorang ahli perencanaan pendidikan di negeri ini bahkan mengatakan istilah character building kini sudah klise, kosong, nyaris tidak bermakna. Ketika kalimat itu diucapkan para politisi, birokrat pendidikan, pemimpin organisasi pendidikan sekalipun ungkapan itu tidak lagi meninggalkan bekas apa-apa. “Ketika ungkapan ini diucapkan Bung Karno dulu, oleh Mohamad Said dari Taman Siswa, oleh St Takdir, oleh Soedjatmoko, ungkapan ini meninggalkan bekas yang mendalam di hati saya. Ungkapan ini menghidupkan harapan besar dalam hati saya,” tulis Mochtar di Harian Kompas pekan lalu.
Kini, lanjut Mochtar, kalau dia mendengar orang mengucapkan kata-kata ”character building”, kalimat itu berlalu begitu saja, “Tidak mampir di otak atau hati saya. Apakah character building atau pembinaan watak kini sudah bukan masalah lagi di Indonesia? Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalam konteks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harus dibangun. Ketika disampaikan Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Said, konteksnya adalah pedagogik. Yang dimaksudkan ialah pendidikan watak untuk para siswa, satu demi satu. Bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain menjadi pintar juga menjadi manusia berwatak.” Meminjam istilah Ary Ginanjar Agustian, pencetus metode pelatihan emotional spiritual quotient bahwa sistem pendidikan yang dianut di Indonesia sejak tiga dasa warsa terakhir ini hanya mementingkan tingkat kecerdasan seseorang, menekankan pentingnya IQ. Padahal, sumbangsih IQ atas keberhasilan seseorang dalam berbagai aspek sesungguhnya hanya 6 persen atau maksimal 20 persen.
Hal itu tentu sejajar dengan apa yang katakan Edy Prasetyono maupun Mochtar Buchori bahwa sistem pendidikan kita yang seperti itu telah membentuk karakter bangsa yang kian lemah. Seperti kata Mochtar Buchori, masalah character building di Indonesia adalah isu besar, bahkan amat besar. Semua kebobrokan yang kita rasakan kini lahir dari tidak adanya watak yang cukup kokoh pada diri kita bersama. Watak bangsa rapuh dan watak manusia Indonesia mudah goyah.
Jadi, seperti kata Mochtar Buchori, kita rupanya harus mulai kembali membangun watak bangsa dari tataran paling rendah. Dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi ialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ini trilogi klasik pendidikan yang oleh Ki Hajar diterjemahkan dengan kata-kata cipta, rasa, karsa atau oleh Ary Ginanjar pembangunan watak itu dimulai dari kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan baru kecerdasan intelektual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar