Seiring dengan perubahan zaman, kebudayaan, tradisi serta norma-norma kehidupan masyarakat dalam bidang sosial dan politik pun berganti. Tak terkecuali bangsa ini. Satu hal yang mungkin paling dirasakan seluruh rakyat Indonesia adalah terjadinya perubahan struktur budaya dan norma dalam tata pemerintahan kita.
Jika dulu dikenal adanya dominasi eksekutif atas legislatif, maka kini hal itu sudah tak berlaku lagi. Legislatif adalah “lembaga sakti” yang mampu mengubah hitam-putihnya kiprah pembangunan di suatu wilayah.
Fenomena ini, awalnya, tentu saja menggembirakan kita. Mengapa? Karena sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat, mereka mampu mengontrol kiprah eksekutif yang sebelumnya begitu dominan. Hampir semua tindakan eksekutif, kala itu, seolah tak bisa tersentuh. Apa pun yang dilakukan eksekutif, legislatif seakan hanya bertindak sebagai lembaga stempel.
Namun seiring dengan perjalanan waktu pula, perubahan itu terus berlangsung dan dirasakan mulai tak terkontrol. Posisi kuat yang digenggam legislatif lambat tapi pasti, bertambah kokoh. Kedudukan eksekutif seolah hanya menjadi pecundang. Mereka harus tunduk dengan segala keinginan dewan yang mewakili rakyat. Keadaan ini, secara ekstrem, bahkan ada yang menyebut bahwa di Indonesia telah terjadi sebuah tirani minoritas.
Pendapat ini, tentu saja bisa kita maklumi. Karena suka atau tidak suka, telah begitu banyak produk yang ditetapkan oleh MPR, DPR hingga DPRD tak bisa digugat oleh siapapun. Mulai dari kasus pemecatan kepala bagian sebuah kantor di pemerintah kabupaten atau pemerintah kota, hingga pencopotan bupati, walikota bahkan pelengseran presiden sekalipun bisa dilaksanakan.
Yang mengkhawatirkan, akhir-akhir ini ada trend di lembaga itu untuk membuat ketetapan yang arahnya sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan rakyat sebagai konstituen negeri ini yang mereka wakili, kecuali demi kepentingan mereka sendiri.
Contoh paling mutakhir adalah ketika anggota DPRD Kota Solo mengusulkan dana asuransi bernilai ratusan juta rupiah bagi mereka sendiri, serta telah ditetapkannya dana purna bakti atau pensiun sebesar Rp 100 juta/anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah akhir pekan lalu.
Tindakan kedua lembaga legislatif itu, tentu saja mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak pihak menyebut anggota DPRD telah kehilangan hati nurani atau tak mempunyai sense of crisis terhadap kondisi bangsa yang masih terpuruk dihantam krisis multi dimensi selama bertahun-tahun ini.
Mereka, para wakil rakyat yang terhormat itu, seolah menutup mata dan telinga bahkan nurani, untuk memperoleh privilege serta keuntungan pribadi berujud jaminan finansial yang berlebihan. Mereka dianggap mengabaikan nasib rakyat yang untuk mencari sesuap nasi pun harus memeras keringat dan membanting tulang.
Dengan kenyataan seperti itu, tak heran jika akhir-akhir ini banyak kalangan yang berpendapat minor terhadap eksistensi anggota Dewan. Harapan bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat ke arah yang lebih baik lambat laun menjadi pudar. Rakyat kian apatis terhadap negeri ini.
Lantas, apa yang akan terjadi jika masyarakat telah masa bodoh terhadap negerinya? Kehancuranlah yang akan terjadi. Oleh karenanya, senyampang keadaan lebih buruk belum terjadi, masih ada sebagian rakyat yang menggantungkan harapannya kepada DPRD, alangkah bijaksananya jika para anggota Dewan menyadari kekeliruannya.
Mari membuka lebih lebar hati nurani. Mari lebih berempati kepada rakyat kita yang masih dalam keadaan terpuruk. Hidup dalam kesederhanaan lebih berarti daripada bergelimang harta namun selalu menjadi bahan pembicaraan bahkan cibiran masyarakat.
Jangan sampai para anggota Dewan malah hidup di menara gading yang jauh dari jangkauan rakyat akar rumput. Sebab, sekali lagi, mereka adalah wakil rakyat yang harus memahami situasi dan kondisi serta keadaan yang diwakilinya.
Senin, 08 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar