Selasa, 13 Januari 2009

Kapan wong cilik bakal gumuyu…?


Mas Wartonegoro kedatangan tamu, kawan lamanya, Dhimas Kanjeng Yasasusastra. Bagi dia, kedatangan Dhimas Kanjeng itu katanya sangat istimewa, karena sudah sekian lama keduanya tak berjumpa. Lebih istimewa lagi, Dhimas Kanjeng hari itu membawa oleh-oleh spesial. “Ini buku-buku hasil karya saya, semoga menjadi bacaan yang bermanfaat buat Mas Wartonegoro,” kata dia sembari menyerahkan empat buah buku tebal-tebal dengan cover mewah dan tentu saja diterbitkan oleh penerbitan yang sudah mempunyai nama.
Wek e e e… elok tenan. Dhimas sekarang sudah menjadi pengarang besar rupanya,” kata Mas Wartonegoro memuji temannya yang kini telah menjadi seorang penulis buku, karena sebelumnya dia adalah kawan seperjuangan ketika bersama-sama menjadi juru warta.
“Ya karena ini mungkin sudah menjadi jalan saya Mas,” kata Dhimas Kanjeng kepada Mas Wartonegoro yang saat itu ditemani sahabatnya, Denmas Suloyo termasuk saya yang ikut nimbrung di kediaman Mas Wartonegoro.
Salah satu buku yang diberikan Dhimas Kanjeng Yasasusastra dan menarik perhatian Mas Wartonegora, Denmas Suloyo dan juga saya adalah buku berjudul Ranggawarsita Menjawab Takdir. Sebuah buku yang tentunya akan mengupas tuntas tentang perjalanan hidup pujangga besar nan legendaris dari Kota Solo itu. Benar saja, ketika lembar demi lembar kami buka, buku itu ternyata memang ingin membeber kebesaran seorang Ranggawarsita sejak kecil hingga dia menjadi pujangga besar pada abad ke-19. Gaya penulisan Dhimas Kanjeng Yasasusastra memang sangat menarik, layaknya sebuah novel, sehingga lumayan asyik kami menyimak dan lantas mendiskusikannya dengan perspektif kondisi masa kini.
Buku tentang Ranggawarsita itu menjadi bahan perbincangan yang menyenangkan bagi kami apalagi itu menjelang pergantian tahun baru. Sebab ide-ide atau kami sebut sebagai buah pikir sang pujangga tersebut begitu relevan jika dikaitkan dengan waktu, perubahan waktu, sekalipun rentang masa gagasan itu telah diungkapkan sekitar 200 tahun silam.
Dhimas Kanjeng Yasasusastra di buku itu menguak pemikiran Ranggawarsita yang telah melesat jauh ke depan melampau batas-batas waktu dan penalaran manusia pada masanya tentang bagaimana bangsa ini harus bersikap, berbuat dan bertindak menghadapi sebuah zaman sulit seperti sekarang ini sehingga akhirnya akan menemukan masa gilang gemilang, di mana rakyat jelata akan bisa tertawa senang atau dalam istilah Ranggawarsita wong cilik pada isa gumuyu.
Di dalam buku itupun diungkapkan betapa kekaguman Presiden Soekarno kepada sang pujangga. Dia pun memuji kebesarannya ketika hendak meresmikan patung Ranggawarsita di depan Museum Radyapustaka kompleks Taman Sriwedari 11 November 1953. Buah pikiran, gagasan dan ide-ide yang dilontarkan Ranggawarsita pada tahun 1800-an itu seolah tak lekang ditelan waktu.
Seperti dikutip Dhimas Kanjeng Yasasusastra, Bung Karno pada kesempatan persemian patung Ranggawarsita itu mengatakan bahwa kepercayaan masyarakat, Jawa khususnya, terhadap tulisan-tulisan sang pujangga besar itu tidak bisa disangsikan lagi. Bahwa pada masanya, negeri ini akan megalami masa yang gilang gemilang…”Wong cilik bakal gumuyu,… Bahwa sampai pada saatnya rakyat akan bisa tertawa” kata Bung Karno.
Tapi Bung Karno mengingatkan bahwa untuk mencapai zaman yang gilang gemilang itu tidak bisa dengan menunggu nasib atau berpangku tangan. “… jikalau bangsa Indonesia tidak berjuang sekuat tenaga, tidak mau berkorban, apa yang kita miliki sekarang ini tidak akan terwujud dan apa yang dikatakan oleh Ranggawarsita bahwa akan datang zaman yang gilang gemilang itupun tidak akan terwujud,” kata Bung Karno seperti dikutip Dhimas Kanjeng Yasasusastra dalam bukunya setebal lebih dari 500 halaman itu.
“Nah inilah yang saya rasa relevan dengan keadaan bangsa kita sekarang ini. Selama puluhan tahun kita sudah merdeka, bahkan hampir dua ratus tahun diramalkan Ki Ranggawarsita kita bakal makmur sejahtera, ternyata wong cilik belum juga bisa gumuyu. Rakyat kecil masih banyak yang menderita, sengsara. Padahal negara kita adalah negeri yang kaya raya. Ini semua karena banyak dari anak bangsa ini yang belum berjuang sekuat tenaga, banyak penguasa yang tidak mau berkorban, malah mereka mementingkan diri sendiri,” papar Denmas Suloyo membuka suara.
”Betul kok Denmas, negeri kita ini memang kayaknya salah urus... persis seperti yang tersirat dalam Serat Kalatida karya Ki Ranggawarsita di buku Dhimas Yasasusatra ini,” timpal Mas Wartanegoro.
Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunya ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kel, kalulun Kalatida, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda.
Ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja anekare becik-becik, paranedene tan dadi, paliyasing Kala Bendu, mandar mangkin andadra, beda-beda ardaning wong sak negara...

Dua bait isi Serat Kalatida itu oleh Dhimas Kanjeng Yasasusatra diterjemahkan:
Keadaan negara pada waktu sekarang, sudah semakin merosot. Situasinya telah rusak, karena sudah tidak ada yang dapat diteladani. Sudah banyak yang meninggalkan petuah dan aturan luhur. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kalatida (zaman yang penuh keragu-raguan). Suasana mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.
Sebenarnya rajanya baik, patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan. Oleh karena energi Kala Bendu. Bahkan persolan semakin menjadi-jadi tak terkendali. Lain orang, lain pikiran dan maksudnya.
Begitulah. Ruang diskusi di kediaman Mas Wartonegoro pun kian gayeng saat membahas keadaan negara yang belum juga menentu ini dikaitkan dengan buah pikiran Ranggawarsita. Tahun 2009 baru setapak kita lalui, namun bayang-bayang kesulitan ekonomi masih menggelayut, ancaman pemutusan hubungan kerja kian nyata, mencari bahan bakar untuk memasak saja susahnya luar biasa, rakyat terombang-ambing dalam percaturan politik yang membingungkan... itu bermakna bahwa wong cilik belum akan bisa tersenyum, durung bisa gumuyu dalam waktu dekat ini...
[]

ShoutMix chat widget