Senin, 20 April 2009

Akrobat politik minus rasa malu…

Denmas Suloyo sedang jadi lakon di kampung, minimal di komunitas jagongan News Cafe yang selama ini menjadi ajang dia dan kawan-kawannya membahas beragam isu sosial politik yang sedang menghangat hingga yang panas mongah-mongah seperti heboh soal koalisi partai dan kegagalannya menjadi wakil rakyat.
”Jan, mbelgedhes tenan kok. Tiwas nyumbang dana pembangunan jalan kampung, tetap saja saya tidak dipilih. Masak dari 300-an suara di TPS ini, saya hanya dapat empat… ” kata Denmas Suloyo dengan intonasi lumayan tinggi disertai nada anyel.
”Ya sudahlah Denmas, diikhlaskan saja. Saya kan dulu sudah bilang, bahwa Pemilu tahun 2009 ini beda dengan yang sebelum-sebelumnya. Masyarakat sangat leluasa memilih siapa yang dikehendaki menjadi wakilnya di Dewan. Kalau sampean hanya dapat dukungan empat suara, ya berarti sampean belum dipercaya… rasah nesu.. rasah ngamuk… ngisin-isini,” kata Mas Wartonegoro memberi nasihat.
”Wah, lha ya nggak bisa begitu Mas. Ini namanya pengkhianatan. Prediksi saya, seharusnya saya dapat 150-an suara di TPS ini… lha kok ming papat. Ini kan penghinaan ta, jan mbelgedhes tenan ki. Ini pasti ada yang nggak beres… saya mau usut, saya akan ajak kawan-kawan yang kalah untuk gabung mencari ketidakberesan ini,” papar Denmas Suloyo makantar-kantar.
Halah-halah… sampun ta Denmas, nyebut. Namanya sudah kalah mbok ya sudah, tidak usah bikin manuver yang aneh-aneh. Apa panjenengan tidak malu. Tidak usah ikut-ikutan berakrobat seperti para elite politik yang di sana itu,” tambah Mas Wartonegoro sambil telunjuknya nuding-nuding ke arah barat.

Akrobat politik
Ya… di Indonesia bagian ”barat” sana, yang merupakan episentrum gempa politik nasional pascapemilu, para aktor utama politisi di negeri ini sedang berakrobat dengan berbagai cara seolah mengabaikan rasa malu, etika bahkan rasionalitas daya nalar demi mencari sebuah eksistensi atau mungkin ”kewibawaan” di mata rakyatnya.
Ketika di satu sisi sebagian di antara para aktor itu tidak mempercayai model hitungan cepat yang dilakukan lembaga survei nasional, di satu sisi lainnya mereka buru-buru menggalang sebuah persekutuan, persekongkolan, membangun koalisi atau apapun namanya, untuk menyikapi ”kekalahan” yang diumumkan lembaga survei tersebut.
Mereka secara bersama-sama menentang, menggugat, bahkan melakukan perlawanan, terhadap penyelenggara Pemilu. Mereka, secara bersama-sama pula hendak menjadikan ”pemenang” Pemilu beserta sekutunya sebagai ”musuh” bersama, lawan politik yang harus dihadapi pada posisi yang berlawanan (oposisi). Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa memang harus demikian tradisi dalam dunia politik? Sekalipun kalah, harus terlihat bermartabat, tampak paling hebat agar rakyat meyakini bahwa merekalah kelompok yang paling layak memimpin negeri ini? Atau jangan-jangan mereka malah tidak peduli dan mengabaikan suara rakyat...
Akrobat politik yang sedemikian vulgar seperti itulah yang kian memberi kesan kuat kepada publik bahwa dalam dunia politik sesungguhnya memang tidak pernah ada kawan atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi untuk meraih kekuasaan. Dulu musuh bebuyutan, demi meraih kekuasaan sekarang tiba-tiba menjadi kawan seperjuangan. Citra politik seperti itulah yang memberi kesan bahwa politik memang kotor, tidak pernah ada konsistensi di dalamnya dan nyaris tanpa ada kejujuran...
Coba kita buka lagi lembar sejarah Pemilu 1999 silam. Saat pemilihan presiden masih dilakukan MPR, muncul fraksi yang dengan amat militan menggalang koalisi untuk mengganjal Megawati, sang ketua partai pemenang Pemilu masa itu, untuk menaikkan Gus Dur sebagai presiden. Mereka berhasil dengan ”gemilang” meruntuhkan partai pemenang Pemilu menduduki puncak kepemimpinan pemerintahan. Tapi apa yang terjadi kemudian, tak berselang dalam hitungan tahun... koalisi itu pula yang menggulingkan sang Kiai Ciganjur ini dari istana.
Demikian halnya pada Pemilu 2004. Pemimpin partai besar berangkulan dalam Koalisi Kebangsaan untuk menghadang laju SBY pada pemilihan presiden. Toh, persekutuan ini buyar 45 hari kemudian, ketika aktor dari PPP tiba-tiba melakukan improvisasi politik persis pada saat yang menentukan siapa yang akan memimpin parlemen.
Kang Yusran Pare, seorang pemimpin redaksi sebuah koran di luar Jawa, guru sekaligus kawan saya, di blog-nya menulis tentang betapa rasa malu itu telah luntur pada diri para aktor politik di negeri ini. Dia menulis, ”Aktor besar politik selalu menunjukkan kapasitas dan kepiawaiannya berakting manakala kepentingan mereka mulai terancam, memperlihatkan keahlian mereka mempraktikkan jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.”
Dan... itu berbeda dengan apa yang harus dijalani para politisi pemula di berbagai pelosok negeri ini yang harus menanggung sendiri segala konsekuensi akibat kekalahannya. Di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, Sri Hayati, 23, misalnya, Caleg yang sedang hamil ini ditemukan tewas tergantung di sebuah gubuk di tengah sawah. Banyak yang meyakini, Sri memilih bunuh diri daripada harus menanggung malu karena tidak terpilih sebagai anggota DPRD. Ia memilih meninggalkan suami dan keluarga serta kerabatnya, daripada harus menghadapi kenyataan bahwa rakyat yang dia ingin wakili ternyata tak memilihnya.
Politisi pemula seperti Sri Hayati dari Dusun Langkaplancar, Ciamis, Jawa Barat itu kata Kang Yusran, tak punya keterampilan akting maupun jurus ampuh untuk melakukan akrobat politik manakala menyikapi kekalahannya. Ia merasa tak berharga ketika warga tidak percaya kepadanya. Ia tak punya kemampuan retoris untuk menjelaskan kegagalan itu kepada suami, orangtua, saudara dan tetangga. Ia malu karena ternyata tidak terpilih. Langkah Sri jelas keliru, tapi ”rasa malu”... itulah yang sebenarnya membedakan Sri dengan para aktor politik tingkat tinggi. q

Kamis, 09 April 2009

Jangan salah pilih… Caleg juga manusia

“Mas… jangan salah pilih ya nanti tanggal 9 April,” begitu pesan Denmas Suloyo kepada teman-temannya di News CafĂ© tempat biasa kami ngudarasa beragam problem sosial politik yang sedang ramai diperbincangkan di negeri ini.
“Jangan salah pilih siapa ta Denmas maksudnya?” jawab Mas Wartonegoro, pura-pura tidak tahu.
“Lhah… lha yo saya to? Saya ini kan Caleg, sampeyan sudah mengenal saya malah teman dekat. Jadi siapa lagi yang akan panjenengan pilih, kecuali saya,” jawab Denmas Suloyo, seperti biasa… makantar-kantar dan sok yakin.
”Wah… lha nyuwun sewu. Saya belum tentu nyontreng panjenengan. Justru dengan saya mengenal dekat sampeyan inilah yang membuat saya jadi ragu-ragu. Sekarang peluang untuk memilih wakil rakyat dengan kualitas yang lebih baik kan lebih terbuka, lebih berpeluang. Yakinlah saya nanti tidak akan salah pilih Denmas… tapi ya itu tadi belum tentu sampeyan,” tambah Mas Wartonegoro yang disambut tawa kawan-kawannya dan raut mbesengut Denmas Suloyo.
Begitulah. Pemilu tahun 2009 ini boleh jadi merupakan Pemilu paling bersejarah sepanjang perjalanan bangsa Indonesia. Selain akan diikuti oleh lebih dari 171 juta pemilih (kalau mereka menggunakan hak pilihnya), Pemilu ini juga diikuti oleh 38 partai nasional dan enam partai lokal di Aceh. Ada 11.301 Caleg DPR, 1.116 Caleg DPD, puluhan ribu Caleg DPRD provinsi, dan ratusan ribu Caleg DPRD kabupaten/kota yang bertanding meraih lebih dari 18.400 kursi. Tentu saja ini akan berakibat pada biaya penyelenggaraan Pemilu yang luar biasa pula.
Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis total biaya semua tahapan Pemilu 2009 melalui dua tahun anggaran (tahun 2008 dan tahun 2009) mencapai Rp 21,93 triliun atau setara dengan Rp 128.000/pemilih atau US$13,64, ini hampir tiga kali lipat dari anggaran Pemilu 2004 sebesar Rp 45.000/pemilih. “Biaya itu sangat besar dibanding negara yang mempergunakan sistem multi-partai yang hanya sekitar US$1 hingga US$3,” kata Sekretaris Fitra, Arif Nur Alam pada acara sosialisasi Pemilu di Jakarta, Kamis (2/4) (Kominfonewsroom).
Caleg juga manusia
Terlepas dari kualitas para Caleg yang ada sekarang ini, tentu sayang jika rakyat Indonesia tidak memanfaatkan hak pilih mereka pada Pemilu 2009 yang begitu besar menyedot biaya itu. Lantas bagaimana semestinya sebagai warga negara yang baik harus bersikap dalam menentukan nasib bangsa kita lewat pesta demokrasi tahun ini?
Tentu saja setiap warga mempunyai hak untuk memilih atau tidak memilih. Apalagi dalam Pemilu tahun ini pula kita diberi peluang sebesar-besarnya untuk menentukan secara langsung siapa orang yang kita anggap layak untuk mewakili di kursi dewan.
Tidak ada salahnya, barangkali, kalau kita simak lagi fatwa MUI tentang Pemilu yang sempat mengundang kontroversi beberapa waktu lalu dengan lebih jernih. Pada butir ke-4 Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah MUI di Padang kala itu memfatwakan bahwa “Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat hukumnya adalah wajib”
Pertanyaan berikutnya adalah, adakah kriteria di atas yang bisa dipenuhi oleh para Caleg kita sekarang ini? Dalam butir kelima fatwa MUI kemudian menjelaskan bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat tadi hukumnya haram dan begitu juga sebaliknya. Lantas bagaimana kita bisa tahu kualitas Caleg yang hendak kita pilih itu? Padahal selama ini kita hanya tahu wajah mereka tersenyum di pohon-pohon, spanduk, poster, baliho, koran atau televisi.
“Nah itulah Mas, kenapa saya menyarankan pilih saja saya. Sampeyan kan sudah tahu njaba-njero saya, jadi sudah jelas kan bagaimana kemampuan saya,” kata Denmas Suloyo memotong diskusi yang sedang berlangsung gayeng itu.
“Justru karena saya tahu luar dalam sampeyan itulah saya jadi berfikir ulang. Akan memilih sampeyan karena pertemanan atau karena kualitas panjenengan. Tiwas tak pilih, ternyata Denmas nanti lupa kalau sudah nikmat duduk di kursi dewan. Lha sampeyan dan para Caleg lainnya itu kan juga manusia ta Denmas… tempat salah dan lupa bahkan sering sengaja berbuat salah dan pura-pura lupa,” timpal Mas Wartonegoro.
Ya... Caleg juga manusia. Saya jadi teringat dengan salah satu artikel tulisan KH M Kholil Bisri di buku Menuju Ketenangan Batin yang berisi uneg-uneg sang kyai soal para pemimpin kita masa kini. Kata Kyai Kholil, para pemimpin negeri ini masih ”berjudul” manusia. Yaitu mahluk Tuhan yang mempunyai karakter di tengah-tengah antara mahluk yang bernama malaikat dan iblis. ”Malaikat adalah mahluk yang segala tindakannya pasti benar, tidak pernah salah sedang iblis adalah mahluk yang tidak pernah benar dan pasti salah melulu...”
Sementara manusia, kata KH Kholil, adalah mahluk Gusti Allah yang tidak selalu benar dan tidak pula selalu salah. Salah dan benar silih berganti merasuki jiwa manusia, malaikat dan iblis seolah berebut memasuki keinsaniahan manusia. ”Jika tidak dibantu dari dalam, malaikat dan iblis berpeluang sama mempengaruhi manusia. Nah yang dari dalam diri ini adalah ’virus’ yang dibawa oleh makanan.”
Simpel benar. ”Ya... makanan yang pada gilirannya terolah menjadi daging, darah, nutfah. Darah dari makanan mengaliri urat-syaraf-hati manusia menciptakan kondisi dan peluang pada malaikat dan iblis dalam hal Tuham berkenan mengilhami manusia dengan kebaikan atau dengan kekurangajaran... ” kata Kyai Kholil.
Jadi... jangan salah pilih saat di tempat pemungutan suara 9 April mendatang. Pilihlah Caleg yang benar-benar Anda ketahui jujur, terpercaya, aktif, aspiratif dan berkualitas bahkan jika perlu telusuri soal apa yang mereka makan serta dari mana mereka memperolehnya... karena Caleg juga (masih) manusia.

Rabu, 01 April 2009

Jadilah negarawan yang baik… (tajuk)

Orasi sejumlah pemimpin partai politik (Parpol) yang tengah berjuang merebut simpati rakyat di ajang kampanye, akhir-akhir ini, kian terasa satire, dengan bahasa cenderung sarkastis. Komunikasi politik yang mereka pertontonkan di hadapan publik tidak membuat masyarakat menjadi cerdas, melek politik tapi justru sering membingungkan rakyat.
Tragedi Situ Gintung, persoalan daftar pemilih tetap dan bantuan langsung tunai (BLT), penderitaan rakyat adalah objek yang seolah sangat relevan untuk dipolemikkan para calon negarawan di negeri ini dalam kampanye mereka. Tidak adakah kesadaran pada diri para pemimpin Parpol itu untuk mengemukakan hal-hal yang lebih rasional tentang program-program masa depan pembangunan di negeri ini, misalnya?
Kami tentu saja prihatin dengan isi pesan yang disampaikan para calon negarawan itu. Seolah, inilah saat yang tepat untuk saling ejek, saling menjatuhkan atau bahkan saling mencaci maki atas lawan-lawan politik mereka dengan bahasa kasar. Para politisi itu lupa bahwa mereka sesungguhnya sedang membangun citra agar bisa menarik simpati rakyat Indonesia secara keseluruhan, bukan sekadar orang-orang di sekeliling mereka, kelompoknya atau golongan mereka.
Namun yang mereka lakukan justru malah menebar kebencian rakyat terhadap orang lain dan bahkan pada diri mereka sendiri. Dengan kata-kata yang terlampau vulgar, tentunya masyarakat justru akan menilai seberapa besar kapasitas intelektual dan kapabilitas seorang pemimpin yang sebaiknya nanti hendak mereka pilih.
Akan lebih baik, tentunya, pidato politik yang mereka sampaikan penuh dengan tata krama, bahasa yang sopan dan santun, tidak menyerang pihak lain dengan kata-kata yang sarkasme. Tragedi, bencana, beragam persoalan yang sedang terjadi menjelang Pemilu atau bahkan program pemerintah yang sedang dijalankan untuk membantu rakyat mestinya tidak mereka politisasi sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan alat untuk ”membantai” lawan-lawan politik, atau sebaliknya hal yang demikian itu dibangga-banggakan sebagai sebuah ”prestasi” dengan maksud mencibir pihak lain. Singkat kata, janganlah memolitisasi penderitaan rakyat.
Negarawan dan juga para calon negarawan adalah orang-orang yang sedang dan akan memimpin negeri besar ini. Karenanya, mereka haruslah orang yang memiliki sikap terpuji, berdaya nalar cerdas, mempunyai rasa empati dan kepekaan tinggi terhadap permasalahan bangsanya. Mereka haruslah orang yang berani mengatakan kebenaran walaupun pahit dan risikonya tinggi hanya demi untuk kepentingan rakyat, bukan karena demi merebut kekuasaan.
Kita pernah memiliki tokoh seperti itu, misalnya M Natsir, Bung Hatta, Agus Salim, Umar Wirahadikusumah, Hoegeng Iman Santoso dan sebagainya. Kita juga berharap, sekarang dan pada masa yang akan datang, akan lahir negarawan-negarawan sejati seperti mereka. Menyampaikan kritik untuk membangun, bukan menjatuhkan lawan.
Kita bahkan bisa mencontoh sikap kenegarawanan Presiden AS Barrack Obama. Betapa dia menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang besar terhadap pendahulunya, George W Bush, di awal pidatonya dengan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pemimpin AS sebelumnya meskipun mereka dulu adalah musuh politiknya. q

ShoutMix chat widget