Kamis, 18 Juni 2009

Antiklimaks Gubernur Jateng

Keputusan Gubernur Jateng Bibit Waluyo yang akhirnya akan ikut berkampanye untuk pasangan Capres-Cawapres Megawati-Prabowo, menjadi antiklimak dari sebuah harapan sejumlah masyarakat Jateng yang merindukan keteguhan idealisme seorang pejabat publik.
Kami juga merasa sedikit jengah atas langkah itu, mengingat sebelumnya kami menggebu-gebu mendorong ketetapan hati Pak Bibit untuk tidak ikut serta dalam kampanye legislatif maupun presiden karena dia kini telah menjadi seorang pejabat publik.
Sebab kami berpandangan bahwa ketika seseorang telah menjadi pejabat publik, maka segala atribut yang dia miliki otomatis luruh. Prinsip etika jabatan publik adalah alat untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan penciptaan kepentingan publik yang sudah menjadi tuntutan dan risiko dari peran yang lahir dari suatu jabatan publik tertentu. Sehingga seluruh kepentingan yang bersifat pribadi, kelompok maupun golongan sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.
Waktu itu, kami menganggap apa yang dilakukan Gubernur Jateng Bibit Waluyo untuk tidak ikut berkampanye secara etika dan moral adalah lebih baik di mata publik. Tentunya bagi partai yang menaungi dia, yang mengusung Bibit menjadi Gubernur adalah langkah yang menjengkelkan. Namun begitulah seharusnya seorang negarawan. Ketika dia sudah ditahbiskan sebagai pejabat publik, maka mestinya dia sudah tidak lagi hanya ”berpihak” pada satu golongan atau kelompok tertentu.
Apa mau boleh buat, Pak Bibit ternyata telah berubah pandangan. Terlepas dari apakah perubahan sikap itu akibat tekanan dari internal partai yang dulu mengusung dia sehingga menjadi Gubernur atau bahkan petinggi partai yang sempat meminta ID card Pak Bibit sebagai Gubernur Jateng beberapa waktu lalu, namun kami menyesalkan keputusan Gubernur Jateng yang tampak sebagai sebuah ketidakberdayaan itu.
Sebab, kami berharap apa yang dilakukan Gubernur Jateng untuk tidak ikut serta dalam kampanye setelah menjadi pejabat publik tersebut adalah langkah positif dan akhirnya bisa menular dan menumbuhkan kesadaran kolektif para pejabat publik lainnya di negeri ini untuk lebih berfikir arif dan bijaksana menyikapi Pemilu.
Kami bahkan berharap, langkah Gubernur Jateng kala itu bisa menjadi inspirasi untuk mengubah UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang di antara pasalnya menyebutkan bahwa kampanye yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan di antaranya menjalani cuti kampanye.
Jika perlu, undang-undang yang jelas produk dari para politisi itu diubah agar pejabat publik dilarang ikut kampanye. Mengapa? Karena sudah berulangkali disampaikan para pakar, pengamat politik dan masyarakat bahwa seorang pejabat publik yang ikut serta dalam sebuah kampanye untuk memperjuangkan kelompoknya, partainya pasti akan sangat rentan dengan konflik kepentingan.
Sangat sulit rasanya memilah-milah sesosok pejabat ke dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan, apalagi bagi masyarakat awam. Siapa pun akan sulit mengidentifikasi atau membedakan apakah seorang Gubernur A, Walikota B atau Bupati C itu tengah bertindak sebagai juru kampanye atau jabatan publik yang melekat pada diri mereka.
Lantas apa bedanya perlakuan pejabat publik dengan pejabat BUMN yang dilarang ikut serta dalam kampanye seperti tercantum dalam Pasal 217 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang menyebutkan pejabat negara dilarang terlibat sebagai tim kampanye pasangan Capres-Cawapres.

Rabu, 10 Juni 2009

“Say No! to…”, “Say Yes! to…”

Dampak kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara gara-gara menulis keluh kesah atas pelayanan RS Omni Internasional melalui surat elektronik (email), kembali membuktikan betapa digdayanya kemajuan teknologi informatika.
Ruang maya publik alias Internet kini telah menjadi andalan sebagian masyarakat kita sebagai wahana untuk berbincang, bergosip, bersilaturahmi, berdiskusi bahkan sebagai tempat Curhat atau sekadar rasan-rasan serta mengungkapkan perasaan sehari-hari di dinding situs jejaring sosial semacam Facebook.
Internet sekaligus menunjukkan betapa besar dan ampuh pengaruhnya di dalam ranah kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya manusia masa kini. Lihatlah, betapa hebat dan cepat reaksi masyarakat ketika seorang Prita diperlakukan tidak adil oleh sistem hukum negeri ini.
Ratusan ribu pengguna Internet langsung menggalang “kekuatan” untuk mendukung Prita. Lebih dari 100.000 orang mendukung Prita lewat Internet. Sebagian lainnya bergegas membuat kelompok “penghujat” RS Omni Internasional dengan nama grup “Say No to RS Omni Internasional…” di Facebook. Sampai Minggu (7/6), jumlah anggotanya telah mencapai 33.000 lebih. Mereka yang bergabung dalam grup ini pun menumpahkan segala unek-unek, kejengkelan, kemarahan bahkan hujatannya kepada RS Omni Internasional.
Begitulah. Internet telah menjadikan pola komunikasi manusia di dunia ini melompat sangat jauh ke depan sekaligus memberi tingkat kepraktisan yang sangat tinggi. Dunia maya telah mengambil alih fungsi ruang publik konvensional seperti pasar, gedung parlemen, mal atau taman kota.

Agora
Kawan saya, Kang Yusran Pare, seorang wartawan senior kelompok penerbitan koran milik Kompas dalam blognya malah mengibaratkan dunia maya kini layaknya agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena. Internet, kata dia, tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai kebutuhan, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.
Perubahan pola komunikasi masyarakat kita itu sesuai benar dengan teori determinisme teknologi yang dipaparkan Marshall McLuhan. Dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), McLuhan secara umum menyebut bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri.
Dalam teori itu, McLuhan mengatakan teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik (Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007).
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa, "Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri."
Internet memang telah mengubah sebagian pola komunikasi kita. Dia juga memberikan dampak pada kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan bisa jadi menyentuh pula pada sisi perubahan budaya kita. Budaya tatap muka, suba-sita, ewuh-pekewuh, kegotong-royongan dalam bentuk pertemuan secara nyata mungkin secara berangsur hilang. Yang terjadi kemudian adalah hubungan asosial. Ini tentu akan mengkhawatirkan.
Mengutip Yusran Pare, Internet memang telah menjadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.
Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang sering kali tersumbat atau terkendala kesungkanan.
Karena itu pula, tak heran jika para politisi, calon anggota legislatif, Capres-Cawapres beserta tim suksesnya memanfaatkan kedigdayaan media alam maya ini untuk mencari simpati, berorasi, menggalang kekuatan serta ”menjatuhkan” lawan politik.
Sekalipun demikian, keterbukaan dan kebebasan alam maya yang bisa dimasuki siapa saja tersebut mestinya tetap memberi kesadaran moralitas, etika dan sopan santun bagi penggunanya. Setiap orang bisa membuat grup ”Say No to...” atau ”Say Yes to...” siapa dan apa saja di Facebook, yang penting koridor hukum, moral, etika, sopan santun, membangun sikap politik yang matang, jujur, jernih atau apapun namanya harus tetap dikedepankan.
Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah salah satu syarat utama demokrasi yang sehat. Sebab informasi yang jelas, jujur dan baik, pasti berasal dari kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong pada tindak anarkisme. q

Hukum untuk semua

Langkah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang melaporkan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tim kampanye SBY-Boediono ke Mabes Polri karena melakukan pelanggaran jadwal kampanye, semoga tidak berhenti sebatas retorika di media massa. Kita semua berharap, hukum berlaku untuk semua. Sehingga kasus itu bisa segera diselesaikan tuntas, hingga berkekuatan hukum tetap.
Seperti kita ketahui, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini melaporkan SBY dan tim kampanyenya pada Sabtu malam pekan lalu. SBY dilaporkan melakukan pelanggaran jadwal kampanye terkait acara Silaturahmi Nasional Koalisi Parpol SBY-Boediono di Pekan Raya Jakarta (PRJ), Sabtu (30/5) silam.
Dalam acara itu, SBY menyampaikan visi dan misi sebagai Capres. Acara disiarkan secara utuh oleh TVRI dan sebagian oleh MetroTV. "Tayangan siaran tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran pidana kampanye di luar jadwal, seperti yang diatur Pasal 213 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden," kata Nur Hidayat Sardini.
Mabes Polri sendiri telah memastikan penyidik mereka menindaklanjuti dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Capres SBY-Boediono tersebut. "Bila ada pelaporan yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan tiga pasangan calon dan memenuhi unsur berkaitan dengan UU Pilpres, maka penyidik akan menindaklanjuti," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira, di Mabes Polri, Jakarta, Senin awal pekan ini.
Sekali lagi, kami berharap bahwa proses hukum mengusutan kasus pelanggaran kampanye tersebut bisa segera diselesaikan. Terlebih lagi Pemilu Presiden kini tinggal menghitung hari. Sehingga jangan sampai ada ganjalan, persoalan terlebih lagi dampak yang muncul akibat ketidaksigapan aparat hukum dalam menuntaskan kasus itu. Semoga laporan Bawaslu bisa kelar sebelum Pemilu Pilpres.
Kita semua tentu memiliki keinginan agar pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun ini berjalan tertib, aman, lancar tidak ada satu pun hal yang menyebabkan timbulnya pertentangan, digugat keabsahannya akibat cacat hukum, misalnya. Karena jika itu terjadi, rakyatlah yang akan dirugikan baik secara moral maupun material, rugi tenaga, rugi waktu dan mungkin secara finansial.
Kita mestinya dapat belajar dari pengalaman beragam peristiwa penanganan hukum sebelumnya. Seperti kita ketahui, begitu banyak persoalan hukum yang berkait dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif silam yang hingga kini belum tuntas, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pelaksanakan pelaksanaan Pilpres.
Terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan kepada KPU di Kabupaten Nias Selatan, Sumatra Utara (Sumut) dan Kabupaten Yakuhimo, Papua, untuk menggelar pemungutan suara dan penghitungan ulang Pemilu legislatif. Persoalan seperti ini tentunya sedikit banyak akan mengganggu proses Pemilu secara keseluruhan.
Terkait dengan hal itulah, selain aparat hukum harus sigap, tangkas, cermat dan bertindak cepat hendaknya mereka juga berlaku adil dan tidak pandang bulu. Sekalipun yang dilaporkan adalah seorang Presiden, penegak hukum jangan ragu-ragu untuk menegakkan kebenaran demi kepentingan dan rasa keadilan masyarakat.
Seperti sering disampaikan sejumlah pakar, dalam menjalankan tugas para penegak hukum selayaknya menerapkan paradigma penegakan hukum yang progresif, seperti digagas Satjipto Rahardjo. Penegakan hukum yang progresif adalah penegakan hukum yang dibangun atas asumsi bahwa hukum dibuat bukanlah untuk hukum, tetapi hukum dibuat untuk masyarakat. Penegakan hukum progresif menempatkan keadilan dan kebenaran di atas peraturan atau undang-undang.

Prita & kebebasan berpendapat

Prita Mulyasari, ibu dua anak yang diperkarakan Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang kini muncul sebagai tumbal sekaligus pahlawan bagi pendewasaan dalam kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia. Ya, dia layak mendapat predikat itu.
Dengan tindakannya berkeluh kesah melalui dunia maya, ketabahannya menghadapi tuntutan hukum rumah sakit serta penderitaannya selama dipenjara telah menggugah semangat solidaritas serta pencakrawalaan wacana rakyat Indonesia tentang apa itu kebebasan berpendapat yang sebenarnya adalah hak setiap warga negara.
Pernyataannya yang ikhlas, pasrah atas persoalan yang menimpa dia demi kepentingan khalayak luas sungguh telah menggugah empati jutaan orang. ”Semoga apa yang saya alami ini tidak terjadi lagi kepada orang lain, cukup saya saja. Karena itu saya meminta pihak hukum (aparat yang berwenang, red) memperhatikan aspirasi masyarakat,” kata dia dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi di Jakarta, sesaat setelah dia dibebaskan.
Apa yang disampaikan Prita harus menjadi catatan penting bagi para penegak hukum di negeri ini. Bahwa hukum sesungguhnya bukanlah sekadar pasal-pasal, pembuktian-pembuktian normatif, namun lebih jauh lagi yaitu mengenai rasa keadilan di masyarakat. Ini perlu digarisbawahi karena Prita jelas telah diperlakukan tidak adil, dizalimi dan diperlakukan secara sewenang-wenang atas nama hukum dan kekuasaan.
Prita, ibu rumah tangga berusia 32 tahun itu ditahan karena menulis keluhan di Internet. Keluhannya yang bersifat pribadi dan bahkan semula hanya disampaikan kepada teman-temannya lalu menyebar ke dunia maya. Pengacara Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang menilai apa yang dilakukan Prita merusak nama baik kliennya. Dasar penahanan Prita adalah karena ia dianggap melanggar Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Apa yang dialami Prita itu jelas sebuah penerapan hukum yang tidak memperhatikan hal-hal yang berkait dengan rasa keadilan masyarakat. Prita dianggap ”penjahat”. Ibu dua orang anak yang masih Balita itu dinilai telah merampas keuntungan finansial rumah sakit. Karena akibat tulisan Prita, katanya, rumah sakit telah kehilangan kepercayaan dan itu mengurangi pemasukan.
Kami sungguh prihatin dengan langkah yang dilakukan RS Omni, kepolisian dan kejaksaan. Kebebasan berpendapat mestinya telah menjadi ranah publik yang tidak bisa serta-merta dijerat dengan hukum positif. Berpendapat adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia. Keluhan, mestinya dijawab dengan penjelasan simpatik. Kecuali jika memang ada unsur kesengajaan untuk menjatuhkan seseorang atau lembaga tanpa argumen jelas.
Seharusnya RS sebagai lembaga pelayanan publik lebih bersifat proaktif untuk melayani segala macam keluhan pasien. Hal lain adalah mengeluh atas sebuah layanan yang diberikan oleh produsen seharusnya diselesaikan terlebih dahulu secara arif dan bijaksana. Tidak lantas sapa sira sapa ingsun, merasa mempunyai kuasa lantas bertindak sewenang-wenang.
Dalam teori kehumasan, pendekatan secara kemanusiaan adalah hal utama dalam upaya menjaga citra. Namun ketika kekuasaan yang berbicara, beginilah akibatnya, RS Omni pasti kehilangan simpati dari masyarakat bahkan kini menjadi pihak yang terhujat. q

Hidup tanpa minyak tanah bersubsidi…

Minyak tanah nonsubsidi dengan harga keekonomian mulai didistribusikan di sejumlah pangkalan minyak di wilayah Soloraya awal bulan ini. Minyak berwarna ungu tersebut disalurkan dari agen-agen ke sejumlah pangkalan minyak dengan harga Rp 7.500/liter. Diperkirakan, harga jual ke konsumen bisa antara Rp 8.000 sampai Rp 9.000, harga yang sebelumnya pasti tak pernah dibayangkan masyarakat.
Setelah puluhan tahun kita begitu tergantung kepada minyak tanah untuk memasak, pelan tapi pasti, mau tidak mau, senang atau tidak senang, mulai sekarang kita harus bisa hidup tanpa minyak tanah bersubsidi. Masyarakat awam khususnya, takkan pernah menyangka harga minyak tanah jauh di atas bensin.
Itulah kebijakan. Tentu semua pihak harus memahami bahwa langkah konversi minyak tanah ke gas adalah tindakan yang telah dipikirkan masak-masak dan tentu saja bertujuan sangat baik. Seperti disampaikan Pemerintah bahwa konversi itu sangat terkait dengan penghematan energi.
Wapres Jusuf Kalla dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan bahwa bila kita berhasil dalam konversi minyak tanah, lalu dilanjutkan penghematan listrik, permasalahan energi di negeri ini akan selesai. ”Siapapun pemerintahnya, tahun 2010 akan aman, karena subsidi total (untuk energi) paling banyak hanya 20 persen dari anggaran," kata Kalla, medio 2008.
Penghematan energi dengan cara konversi minyak ke elpiji itu penting dilakukan karena subsidi minyak tanah selama ini sebenarnya adalah Rp 6.000/liter, sedangkan elpiji hanya Rp 900/kg. Jadi, konversi minyak tanah memang harus berhasil, karena subsidi yang besar itu membuat keborosan anggaran negara luar biasa. Subsidi minyak tanah mencapai Rp 43 triliun, sama dengan anggaran pendidikan.
Keputusan sudah ditetapkan. Langkah sosialisasi konversi, meskipun dengan segala kontroversi dan berbagai hambatan telah berjalan. Bagi sebagian kalangan, bisa jadi ini akan sangat menyulitkan. Namun kita pantang berjalan mundur. Yang perlu dilakukan sekarang adalah konsistensi serta kesinambungan kebijakan itu dengan menanggung segala konsekuensinya.
Akan sangat naif jika sebuah kebijakan justru menyengsarakan rakyat. Apalagi kalau langkah itu justru membuat kita harus kembali ke masa lalu. Misalnya, penduduk negeri ini ketika memasak harus menggunakan kayu bakar atau arang. Yang lebih celaka, jika penggunaan kayu bakar tersebut kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.
Karena itu, konversi yang sudah dicanangkan sejak dua tahun silam harus terus dikawal. Tidak lantas berhenti ketika subsidi atas minyak tanah itu akhirnya diterapkan. Kami melihat, penduduk negeri ini masih banyak yang sebelumnya sangat bergantung kepada minyak tanah.
Sosialisasi, pengawasan berkesinambungan harus terus dilaksanakan hingga benar-benar tidak ada lagi keluhan atas kebijakan itu. Hingga tidak ada lagi perusakan lingkungan akibat penebangan pohon hanya untuk keperluan bahan bakar. Pemerintah hendaknya juga mencari solusi lain sebagai bahan sumber energi alternatif.
Misalnya memanfaatkan minyak dari jarak, briket grajen untuk bahan bakar yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Kreativitas masyarakat untuk mencari sumber energi alternatif seperti itulah yang juga perlu terus kita dorong. q

Senin, 01 Juni 2009

Konflik kepentingan, menteri & kampanye

Mulai 2 Juni hari ini, kampanye calon presiden dan wakil presiden RI secara resmi dimulai. Secara tak resmi, para Capres-Cawapres sebenarnya telah melakukan kegiatan itu secara terang-terangan sejak mereka menetapkan pasangan masing-masing sebulan lalu.
Kami berharap, pada masa kampanye ini para kandidat presiden dan wakil presiden beserta tim sukses mereka benar-benar menjunjung tinggi etika, moral, sopan santun atau apa pun namanya sehingga selama masa kampanye situasi dan kondisi negeri ini tetap kondusif, pemerintahan tetap berjalan sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Salah satu hal yang patut menjadi perhatian para kandidat Capres-Cawapres beserta para tim sukses mereka adalah soal keikutsertaan para menteri yang akan menjadi juru kampanye. Sebab, dalam kampanye Capres-Cawapres kali ini akan banyak Menteri Kabinet Indonesia Bersatu akan terlibat.
Berbagai kritik dan saran telah dilontarkan sejumlah pihak agar para menteri tidak ikut serta menjadi tim sukses salah satu pasangan Capres-Cawapres. Alasan paling kuat mengapa sebaiknya para menteri itu tidak terlibat dalam kampanye Capres-Cawapres, tak lain karena hal itu akan sangat rentan dengan konflik kepentingan.
Betul memang, di dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres tidak ada larangan mengenai keikutsertaan menteri sebagai tim sukses atau juru kampanye Capres-Cawapres. Terlebih lagi jabatan menteri adalah jabatan politis bukan karir, sehingga keterlibatan mereka di dalam tim sukses kampanye Capres-Cawapres menjadi sangat wajar.
Namun perlu diingat, terlepas dari apakah jabatan itu politis atau tidak seorang menteri adalah pejabat publik. Mereka harus sadar sesadar-sadarnya ketika seseorang telah menjadi ”pejabat publik” maka secara etika dan moral dia sesungguhnya sudah menjadi ”milik” publik bukan lagi milik golongan tertentu, atau anggota partai tertentu.
Sangat sulit rasanya memilah-milah sesosok pejabat ke dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda, apalagi masyarakat awam. Sekalipun perlakuan secara undang-undang berbeda bagi incumbent Presiden dan Wakil Presiden dalam masa kampanye kali ini, namun sebenarnya kita sulit membedakan SBY sebagai seorang Presiden atau Calon Presiden. Hal yang sama terjadi kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla saat kunjungan kerja ke berbagai daerah. Sedang jadi Wapres kah dia? Atau sedang berkampanye sebagai Capres.
Tentunya akan lebih sulit lagi bagi kita untuk membeda-bedakan keikutsertaan menteri dalam sebuah kampanye Capres-Cawapres. Karena akan sangat rawan dengan penyalahgunaan otoritas, wewenang bahkan mandat. Belum lagi penyalahgunaan fasilitas pemerintah, ketika seorang menteri melaksanakan kampanye. Singkatnya, menteri ikut berkampanye Pilpres sungguh rawan memunculkan konflik kepentingan.
Kami menganggap apa yang dilakukan Gubernur Jateng Bibit Waluyo untuk tidak ikut berkampanye mendukung salah satu pasangan Capres-Cawapres secara etika dan moral adalah lebih baik di mata publik. Tentunya bagi partai yang menaungi dia, yang mengusung Bibit menjadi Gubernur adalah langkah yang menjengkelkan. Namun begitulah seharusnya seorang negarawan. Ketika dia sudah ditahbiskan sebagai pejabat publik, maka mestinya dia sudah tidak lagi hanya ”berpihak” pada satu golongan atau kelompok tertentu.

ShoutMix chat widget