Rabu, 10 Juni 2009

Hidup tanpa minyak tanah bersubsidi…

Minyak tanah nonsubsidi dengan harga keekonomian mulai didistribusikan di sejumlah pangkalan minyak di wilayah Soloraya awal bulan ini. Minyak berwarna ungu tersebut disalurkan dari agen-agen ke sejumlah pangkalan minyak dengan harga Rp 7.500/liter. Diperkirakan, harga jual ke konsumen bisa antara Rp 8.000 sampai Rp 9.000, harga yang sebelumnya pasti tak pernah dibayangkan masyarakat.
Setelah puluhan tahun kita begitu tergantung kepada minyak tanah untuk memasak, pelan tapi pasti, mau tidak mau, senang atau tidak senang, mulai sekarang kita harus bisa hidup tanpa minyak tanah bersubsidi. Masyarakat awam khususnya, takkan pernah menyangka harga minyak tanah jauh di atas bensin.
Itulah kebijakan. Tentu semua pihak harus memahami bahwa langkah konversi minyak tanah ke gas adalah tindakan yang telah dipikirkan masak-masak dan tentu saja bertujuan sangat baik. Seperti disampaikan Pemerintah bahwa konversi itu sangat terkait dengan penghematan energi.
Wapres Jusuf Kalla dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan bahwa bila kita berhasil dalam konversi minyak tanah, lalu dilanjutkan penghematan listrik, permasalahan energi di negeri ini akan selesai. ”Siapapun pemerintahnya, tahun 2010 akan aman, karena subsidi total (untuk energi) paling banyak hanya 20 persen dari anggaran," kata Kalla, medio 2008.
Penghematan energi dengan cara konversi minyak ke elpiji itu penting dilakukan karena subsidi minyak tanah selama ini sebenarnya adalah Rp 6.000/liter, sedangkan elpiji hanya Rp 900/kg. Jadi, konversi minyak tanah memang harus berhasil, karena subsidi yang besar itu membuat keborosan anggaran negara luar biasa. Subsidi minyak tanah mencapai Rp 43 triliun, sama dengan anggaran pendidikan.
Keputusan sudah ditetapkan. Langkah sosialisasi konversi, meskipun dengan segala kontroversi dan berbagai hambatan telah berjalan. Bagi sebagian kalangan, bisa jadi ini akan sangat menyulitkan. Namun kita pantang berjalan mundur. Yang perlu dilakukan sekarang adalah konsistensi serta kesinambungan kebijakan itu dengan menanggung segala konsekuensinya.
Akan sangat naif jika sebuah kebijakan justru menyengsarakan rakyat. Apalagi kalau langkah itu justru membuat kita harus kembali ke masa lalu. Misalnya, penduduk negeri ini ketika memasak harus menggunakan kayu bakar atau arang. Yang lebih celaka, jika penggunaan kayu bakar tersebut kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.
Karena itu, konversi yang sudah dicanangkan sejak dua tahun silam harus terus dikawal. Tidak lantas berhenti ketika subsidi atas minyak tanah itu akhirnya diterapkan. Kami melihat, penduduk negeri ini masih banyak yang sebelumnya sangat bergantung kepada minyak tanah.
Sosialisasi, pengawasan berkesinambungan harus terus dilaksanakan hingga benar-benar tidak ada lagi keluhan atas kebijakan itu. Hingga tidak ada lagi perusakan lingkungan akibat penebangan pohon hanya untuk keperluan bahan bakar. Pemerintah hendaknya juga mencari solusi lain sebagai bahan sumber energi alternatif.
Misalnya memanfaatkan minyak dari jarak, briket grajen untuk bahan bakar yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Kreativitas masyarakat untuk mencari sumber energi alternatif seperti itulah yang juga perlu terus kita dorong. q

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget