Kamis, 18 Juni 2009

Antiklimaks Gubernur Jateng

Keputusan Gubernur Jateng Bibit Waluyo yang akhirnya akan ikut berkampanye untuk pasangan Capres-Cawapres Megawati-Prabowo, menjadi antiklimak dari sebuah harapan sejumlah masyarakat Jateng yang merindukan keteguhan idealisme seorang pejabat publik.
Kami juga merasa sedikit jengah atas langkah itu, mengingat sebelumnya kami menggebu-gebu mendorong ketetapan hati Pak Bibit untuk tidak ikut serta dalam kampanye legislatif maupun presiden karena dia kini telah menjadi seorang pejabat publik.
Sebab kami berpandangan bahwa ketika seseorang telah menjadi pejabat publik, maka segala atribut yang dia miliki otomatis luruh. Prinsip etika jabatan publik adalah alat untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan penciptaan kepentingan publik yang sudah menjadi tuntutan dan risiko dari peran yang lahir dari suatu jabatan publik tertentu. Sehingga seluruh kepentingan yang bersifat pribadi, kelompok maupun golongan sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.
Waktu itu, kami menganggap apa yang dilakukan Gubernur Jateng Bibit Waluyo untuk tidak ikut berkampanye secara etika dan moral adalah lebih baik di mata publik. Tentunya bagi partai yang menaungi dia, yang mengusung Bibit menjadi Gubernur adalah langkah yang menjengkelkan. Namun begitulah seharusnya seorang negarawan. Ketika dia sudah ditahbiskan sebagai pejabat publik, maka mestinya dia sudah tidak lagi hanya ”berpihak” pada satu golongan atau kelompok tertentu.
Apa mau boleh buat, Pak Bibit ternyata telah berubah pandangan. Terlepas dari apakah perubahan sikap itu akibat tekanan dari internal partai yang dulu mengusung dia sehingga menjadi Gubernur atau bahkan petinggi partai yang sempat meminta ID card Pak Bibit sebagai Gubernur Jateng beberapa waktu lalu, namun kami menyesalkan keputusan Gubernur Jateng yang tampak sebagai sebuah ketidakberdayaan itu.
Sebab, kami berharap apa yang dilakukan Gubernur Jateng untuk tidak ikut serta dalam kampanye setelah menjadi pejabat publik tersebut adalah langkah positif dan akhirnya bisa menular dan menumbuhkan kesadaran kolektif para pejabat publik lainnya di negeri ini untuk lebih berfikir arif dan bijaksana menyikapi Pemilu.
Kami bahkan berharap, langkah Gubernur Jateng kala itu bisa menjadi inspirasi untuk mengubah UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang di antara pasalnya menyebutkan bahwa kampanye yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan di antaranya menjalani cuti kampanye.
Jika perlu, undang-undang yang jelas produk dari para politisi itu diubah agar pejabat publik dilarang ikut kampanye. Mengapa? Karena sudah berulangkali disampaikan para pakar, pengamat politik dan masyarakat bahwa seorang pejabat publik yang ikut serta dalam sebuah kampanye untuk memperjuangkan kelompoknya, partainya pasti akan sangat rentan dengan konflik kepentingan.
Sangat sulit rasanya memilah-milah sesosok pejabat ke dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan, apalagi bagi masyarakat awam. Siapa pun akan sulit mengidentifikasi atau membedakan apakah seorang Gubernur A, Walikota B atau Bupati C itu tengah bertindak sebagai juru kampanye atau jabatan publik yang melekat pada diri mereka.
Lantas apa bedanya perlakuan pejabat publik dengan pejabat BUMN yang dilarang ikut serta dalam kampanye seperti tercantum dalam Pasal 217 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang menyebutkan pejabat negara dilarang terlibat sebagai tim kampanye pasangan Capres-Cawapres.

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget