Minggu, 15 Februari 2009

Fenomena Facebook & Aliansi Rakyat Anti Sinetron…

Biar dianggap tidak ketinggalan zaman, kelihatan gaul dan tidak Gaptek, gagap teknologi, anggota paguyuban enggar-enggar penggalih, seperti Mas Wartonegoro, Denmas Suloyo termasuk saya, ikut mendaftar sebagai anggota Facebook. "Kita kan harus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi informasi paling mutakhir ta saudara-saudara, jadi ya, marilah kita ikut menjadi ummatun al-facebook-iyah he… he… he. Kita ambil manfaat yang ada di sana,” kata Denmas Suloyo sambil klecam-klecem pada suatu sore yang gerimis di News Café, markas jagongan mereka.
Situs jejaring sosial bernama Facebook itu, akhir-akhir ini, memang sedang menjadi pembicaraan khalayak luas. Bahkan bisa dikatakan sebagian masyarakat kita kini sedang demam Facebook. Ya… Facebook disebut-sebut sebagai salah satu situs di dunia maya paling fenomenal saat ini. Di usianya yang baru masuk pada tahun kelima, pekan lalu, website yang dibangun oleh remaja berusia 19 tahun, Mark Zuckerberg, tahun 2004 itu, oleh Forbes kini ditaksir berharga US$15 miliar atau jika dikurs dalam rupiah (Rp 11.000/US$) lebih dari Rp 150 triliun!!! Si Mark, di usianya yang ke-24 sekarang ini kekayaannya diperkirakan mencapai US$1,5 miliar atau setara dengan Rp 1,5 triliun, pa ra ngedap-edapi...
Portal Inilah.com (7/2) menulis, situs yang awalnya hanya digunakan beberapa mahasiswa di Harvard pada 2004 agar tetap bisa saling berhubungan, saat ini telah menjadi bisnis triliunan rupiah. Facebook menjadi fenomena global, karena 15 juta user di seluruh dunia meng-update statusnya setiap hari. Majalah Time juga memasukkan Zuckerberg dalam daftar 100 orang yang berpengaruh di muka bumi pada 2008. Craig Newmark, pendiri situs iklan baris Craigslist yang juga fenomenal, menyebut Zuckerberg telah menemukan sarana jaringan sosial yang tidak hanya merefleksikan kehidupan tapi lebih dari itu. Dalam blog menandai ulang tahun Facebook, Zuckerberg, pekan lalu, mengatakan telah membuat dunia makin terbuka dan makin mudah bagi orang menyuarakan aspirasinya.

Antisinetron
Nah… berkaitan dengan soal keterbukaan dan kian mudahnya orang menyuarakan aspirasi, termasuk bernarsis ria, itulah yang membuat komunitas Mas Wartonegoro, Denmas Suloyo dkk ikut kesengsem Facebook. Beragam grup dan kelompok yang bisa dibangun di situs itu senantiasa menjadi bahan obrolan menarik bagi mereka. Termasuk ketika Mas Wartonegoro “diundang” kawannya di Facebook untuk bergabung ke dalam grup bernama Aliansi Rakyat Anti Sinetron. “Ini grup dengan tema menarik untuk kita ikuti dan kita bahas isinya Denmas. Kalau kita kaitkan dengan HUT ke-264 Kota Solo 17 Februari besok kayaknya cukup relevan, karena persoalan sinetron di televisi kita ini benar-benar bisa mengubah budaya adiluhung yang selama ini kita bangga-banggakan,” kata Mas Wartonegoro.
“Halah, lha apa ta hubungannya budaya adiluhung dengan sinetron?” tanya Denmas Suloyo, seperti biasa, waton sulaya.
“Lha sampeyan apa tidak pernah nonton sinetron di televisi kita? Wah jan njelehi tenan Mas… Pokoknya banyak sekali persoalan di sana, mulai jalan cerita, akting pemain, penggambaran kehidupan keseharian yang jauh dari budaya kita sebagai orang timur, khususnya sebagai Wong Jawa. Macem-macemlah pokoknya. Lama-lama itu bisa merusak budaya lho,” kata Mas Wartonegoro.
"Sinetron itu kan merupakan bagian gaya hidup modern, atau malah bagian dari industri hiburan yang salah satunya adalah mencari keuntungan finansial. Kalau panjenangan-panjenengan tidak suka, hambok ya tidak usah nonton wong nyatanya yang nonton tetap banyak ta. Ganti channel lain yang sedang tidak memutar sinetron saja, kan banyak stasiun televisi kita yang babar blas tidak menayangkan sinetron. Gitu saja kok repot,” kata Denmas Suloyo mulai berargumen.
“Waaa… lha ya ndak bisa begitu ta Denmas. Kalau semua orang skeptis, apatis dan permisif seperti sampeyan, bisa runyam urusan pembangunan moralitas bangsa kita ini. Makanya, cobalah kita ikut mengkritisi sesuatu yang sekiranya bisa menjadikan bangsa kita bisa terjerumus ke dalam kebodohan seperti soal sinetron kita sekarang ini. Karena itu grup Aliansi Rakyat Anti Sinetron ini perlu kita dukung,” jawab Mas Wartonegoro, saya sih hanya ikut manggut-manggut saja ketika diskusi sudah mulai berlangsung seru seperti itu.
"Lha tapi kan tidak semua sinetron kita jelek to Mas. Banyak kok sinetron kita yang juga bagus, seperti yang digarap Dedy Mizwar itu, atau dulu pernah ada sinetron Si Doel-nya Rano Karno, Rumah Masa Depan dan sebagainya dan sebagainya… “ timpal saya sekadar mengingatkan agar tidak nggebyah uyah.
“Nah itu dia, maksud saya ya seperti itu. Kita dukung pembuatan sinetron-sinetron yang berkualitas, yang mendidik, yang cerdas, tidak merusak budaya adiluhung, mengakar pada kehidupan keseharian kita dan sebagainya dan sebagainya. Untuk sinetron-sinetron sampah, ya mari kita sama-sama kritik, kalau perlu kita lenyapkan dari siaran di televisi kita, salah satunya bergabung di grup Aliansi Rakyat Anti Sinetron di Facebook ini,” kata Mas Wartonegoro tampak lega.
Memang tidak terlalu terlihat di permukaan bahwa ada sekelompok masyarakat yang sebenarnya benci pada sinetron di televisi kita. Facebook telah menjadikan orang-orang itu terikat dalam sebuah pandangan yang sama itu untuk mengkritisi masalah persinetronan di negeri ini. Jika kita perhatikan beragam komentar yang muncul, bisa jadi banyak hal yang benar tentang sinetron kebanyakan kita yang umumnya tidak masuk akal itu.
Lihat saja, anak SD sudah pandai memaki-maki, tiada hari tanpa teriak-teriak, tangisan, kekerasan, menampar muka orang seenaknya, memfitnah, pembantu mengharap cinta majikan yang ganteng muda dan kaya raya, si antagonis yang cantik tapi jahat banget dan seolah selalu menang, sementara si baik sangat lamban, terlalu sabar dan tidak punya kecerdasan untuk membela diri… belum lagi secara teknis pembuatan yang terlihat terburu-buru, kejar tayang, skenario dan casting sesuka hati…, dan masih berderet-deret keburukan yang bisa disebut dalam sinetron kita. Jadi, mengapa kita tidak ikut serta dalam sebuah upaya memperbaiki sesuatu yang mungkin bisa membodohi, meracuni berjuta-juta rakyat kita, sekalipun hanya dengan kata-kata…

Jumat, 06 Februari 2009

Peran penting pers dalam Pemilu (tajuk)

Terdapat momentum istimewa bagi insan pers Indonesia pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-47, Senin 9 Februari ini. Mengapa? Karena HPN tahun ini bersamaan dengan pesta demokrasi yang hendak digelar beberapa bulan ke depan. Peran penting pers dalam demokrasi tentu saja tidak bisa dinafikan. Sejumlah pihak bahkan menyebut pers merupakan pilar ke-4 dari demokrasi itu sendiri di luar konsep eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Karena pentingnya eksistensi pers inilah, Presiden AS Thomas Jefferson pernah mengatakan, “Seandainya saya harus memilih di antara ada pemerintah tanpa surat kabar dengan ada surat kabar tanpa pemerintah, maka saya—tidak ragu-ragu lagi–akan memilih yang terakhir; lebih baik ada surat kabar meski tanpa ada pemerintahan.” Mungkin kalimat itu terlalu bombastis, namun jika kita renungkan betapa kekuatan pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka pernyataan Thomas Jefferson tersebut tidaklah berlebihan.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah, sejauh mana pers itu melaksanakan peran dan fungsinya secara profesional, mengikuti kaidah-kaidah jurnalisme, memegang teguh etika dan moralitas yang berlaku sehingga keberadaannya memang selayaknya dibutuhkan masyarakat. Terlebih dalam sebuah momentum yang sangat penting seperti pelaksanaan Pemilihan Umum 2009 ini, maka pers dituntut untuk berperan sebagai medium yang benar-benar mampu memenuhi hak atas rasa ingin tahu masyarakat secara benar.
Pers, seperti pernah dikatakan pakar jurnalisme Marshall McLuhan sesungguhnya adalah “kepanjangan” tangan manusia. Apa yang menjadi keinginan, cita-cita dan tujuan seorang manusia bisa diperluas oleh media massa. Media dengan jangkauan yang dimilikinya akan meluaskan banyak hal pada diri manusia, menerobos ruang dan waktu (Understanding Media: The Extentions of Man; 1987). Kondisi inilah yang mestinya dipahami oleh seluruh insan pers Indonesia yang pada hari ini tengah melaksanakan peringatan Hari Pers Nasional.
Pada hari yang bersejarah ini, hendaknya masyarakat pers di negeri ini melakukan introspeksi, perenungan, evaluasi sekaligus merancang langkah-langkah strategis atas kinerja yang telah dan akan dilakukan dalam era keterbukaan pers sekarang ini khususnya menjelang pelaksanaan Pemilu 2009. Seperti dipesankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menerima Panitia HPN 2009, di Kantor Presiden, Kamis (29/1) silam, hendaknya pers turut membantu dalam proses pendidikan politik, termasuk juga sosialisasi mengenai pemilihan umum, baik itu berupa jadwal tahapan-tahapan Pemilu dan prosedur-prosedurnya, misalnya mencontreng serta aturan hukumnya.
Namun sesungguhnya peran penting pers dalam Pemilu tidak sekadar hal-hal yang bersifat teknis seperti yang disampaikan Presiden SBY tersebut. Hal terpenting yang perlu diingat adalah diperlukannya kesadaran terus-menerus para pelaku pers tentang betapa pentingnya untuk senantiasa memenuhi hak ingin tahu masyarakat sesuai dengan filosofi jurnalisme di mana di dalamnya terdapat elemen-elemen yang harus dipatuhinya.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (dalam Kovach dan Rosenstiel, 2004), menyebut adanya 9 kriteria elemen jurnalisme ketika seorang jurnalis mempraktekkan ilmunya ke dalam sebuah kerja jurnalistik. Kewajiban pertama seorang jurnalis adalah apa yang dia cari adalah suatu kebenaran, kedua, loyalitas jurnalis harus kepada warga, public, ketiga intisari jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi, keempat menjaga independensi dari sumber berita, kelima jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, keenam jurnalism harus menyediakan forum publik untuk kritik atau dukungan warga, ketujuh jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan, kedelapan jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional, dan terakhir para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Jika hal tersebut dilakukan, maka kehidupan pers yang baik, sehat, obyektif dan jujur akan benar-benar terwujud termasuk dalam melaksanakan liputan Pemilu.

Minggu, 01 Februari 2009

Risiko menjadi pejabat publik…

Sepuluh tahun setelah era Orde Baru berakhir, euforia berdemokrasi di negeri ini ternyata masih berbinar-binar, meriah, gegap-gempita malah. Selama 35 tahun bangsa ini merasa terkooptasi kekuasaan Orba, benar-benar membuat begitu banyak orang Indonesia seolah lepas dari kekangan dan kemudian lepas kendali. Mereka berlomba-lomba meraih segala hal yang diimpikannya pada masa lalu, ketika zaman itu mustahil diraih. Beragam cara pun ditempuh untuk meraih cita-cita itu, termasuk keingin menjadi penguasa atau pejabat publik.
Seseorang yang sebelumnya adalah manusia yang biasa-biasa saja, pengusaha, pedagang mobil, pengacara, Satpam, preman dan tukang becak mendadak berubah menjadi seorang gubernur, bupati, walikota atau anggota legislatif, wakil rakyat, yang kesemuanya adalah status baru sebagai pejabat publik. Iklim berdemokrasi benar-benar telah berubah, wolak-waliking jaman benar-benar terjadi. Istilah kere munggah bale atau petruk dadi ratu pun menjadi sebuah keniscayaan.
Perubahan revolusinoner itu, dulu, sebenarnya membawa pengharapan bagi rakyat, bahwa mereka yang mendadak “naik pangkat” menjadi pejabat itu bisa lebih memahami kehidupan rakyatnya, mengerti penderitaan warganya, berempati terhadap nasib penduduk miskin dan lebih paham atas keseharian masyarakatnya. Ternyata harapan itu tinggal harapan. Sekalipun tidak semua orang yang berubah menjadi pejabat itu lantas lupa diri, namun citra bahwa banyak orang yang mendadak menjadi pejabat publik kemudian lupa kacang akan kulitnya begitu terasa.
Belakangan, perilaku negatif para pejabat publik yang terekspos media massa kian membuat “muak” masyarakat. Sejumlah pejabat mulai gubernur, bupati, walikota hingga anggota legislatif terlibat persoalan korupsi, suap-menyuap, sogok-menyogok. Kenyataan ini sungguh membuka mata banyak pihak akan sosok negatif elite politik yang notebane adalah para pejabat publik. Di satu sisi, keleluasaan media massa mengungkap fakta-fakta yang mencitrakan keburukan perilaku sejumlah pejabat publik itu kian membentuk opini seolah media sewenang-wenang dalam menyampaikan berita.
Idealnya, perubahan zaman ke arah yang lebih demokratis seperti sekarang ini harus dibarengi kesadaran semua komponen masyarakat untuk juga bertindak, bersikap dan berperilaku lebih baik. Tentu saja, mestinya, termasuk para pejabat publik dan juga institusi pers sebagai lembaga kontrol masyarakat. Ketika keduanya saling memahami peran dan fungsinya masing-masing, friksi dan kecurigaan di antara pihak yang satu dengan lainnya seharusnya tak perlu terjadi. Tapi pada kenyataannya masih begitu banyak persoalan-persoalan yang membuat hubungan kedua belah pihak itu tidak harmonis.
Risiko
“Era boleh berubah, tetapi perilaku dan karakter sejumlah pejabat publik dadakan ternyata sama saja. Malah banyak di antaranya yang lebih parah dari sebelumnya. Mereka mengalami gegar budaya, kaget marang kahanan lantas memegang prinsip aji mumpung. Mumpung kuwasa, mumpung nduwe jabatan, membabi buta, menumpuk harta untuk kepentingan pribadi lalu lupa pada asal usulnya,” kata Denmas Suloyo saat ngudarasa di Newas Café bersama saya dan Mas Wartonegoro.
Di malam yang agak gerimis itu, kami memang sedang ngrasani atau dalam bahasa kerennya “mendiskusikan” soal perilaku para pejabat publik yang tidak banyak berubah meskipun zaman telah berbeda. “Atau jangan-jangan kalau jadi pejabat publik itu memang harus seperti itu ya Denmas? Harus tampil pongah, sedikit nggaya, sapa sira sapa ingsun, alergi kritik, narsis atas prestasi-prestasi yang diraih, marah atau bahkan menyerang balik mereka yang tidak sependapat dengannya serta hal-hal lain yang sebenarnya menyebalkan masyarakatlah,” jawab Mas Wartonegoro setengah bertanya.
“Bisa jadi memang begitu. Lha menurut sampeyan sebagai insan pers yang sering bersinggungan langsung dengan pejabat publik bagaimana?” Tanya balik Denmas Suloyo.
“Kayak-nya sih memang demikian. Tidak dalam masa Orde Baru atau era reformasi sekarang ini, pejabat publik inginnya ya diberitakan yang baik-baik. Kalau ada kritik dari masyarakat yang disampaikan lewat media, mereka merasa disudutkan, merasa diadu domba, minimal anyel. Media massa, katanya, hanya memberitakan hal-hal negatif, sensasional. Ada malah yang merasa diserang, katanya berita itu meresahkan masyarakat padahal sebenarnya meresahkan pejabat itu sendiri. Media dianggap sebagai sumber masalah. Kami ini sering menjadi kambing hitam. Karena itulah, kami berharap para pejabat publik paham akan tugas, fungsi dan peran pers dalam khasanah berbangsa dan bernegara,” kata Mas Wartonegoro.
Begitulah. Media massa karena peran dan fungsinya, sering kali ”berseteru” dengan pejabat publik. Media massa lebih sering dianggap sebagai ”pengganggu” ketimbang mitra ”pendukung” pejabat publik. Para pejabat publik seharusnya menyadari, bahwa semenjak mereka dilantik, maka mereka harus siap menjadi sorotan. Bukan hanya oleh media, tapi semua komponen masyarakat. Sebagian privasinya bahkan bisa jadi akan ”hilang” karena statusnya sebagai pejabat publik. Segala gerak-gerik, tindak-tanduk, perilaku, kebijakan dan bahkan gaya hidupnya mungkin akan terus menjadi perhatian, itu adalah bagian dari risiko seseorang yang naik pangkat menjadi pejabat publik.
Jadi, para calon pejabat publik yang fotonya sekarang mejeng, bergaya, menebar pesona di berbagai sudut kota, spanduk, baliho bahkan di pohon-pohon hendaknya sejak dini sudah bersiap diri akan risiko-risiko yang hendak ditanggungnya jika mereka nanti terpilih menjadi pejabat publik. Biarsiaplah menjadi sorotan media dan masyarakat bak selebritas. Di sisi lain, media massa tentunya juga harus bersikap proporsional, arif bijaksana dan obyektif dalam menyampaikan realitas empiris para pejabat publik menjadi berita.
Namun sebagai media yang profesional, ketika berbicara tentang obyektivitas, hendaknya memakai perspektif yang pernah diajukan Westerstahl (McQuail, 2000). Dia katakan, obyektif itu harus mengandung faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (ketepatan dan kecermatan) dan mengaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi). Sementara, imparsialitas adalah soal keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu. Obyektivitas selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Jika persyaratan itu sudah dipenuhi, pejabat publik tak perlu gerah atau risau atas beragam berita yang bermunculan di berbagai media massa… anggap saja itu sebagai bagian dari risiko menjadi pejabat publik.

ShoutMix chat widget