Rabu, 27 Mei 2009

Kebangkitan & wakil rakyat

Hari Rabu, 20 Mei 1908 silam, dr Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah perkumpulan yang mereka beri nama Boedi Oetomo. Sebuah perhimpunan yang mereka maksudkan untuk membangkitkan para pemuda Indonesia untuk mengejar ketertinggalan bangsanya dalam segala bidang akibat kolonialisme Belanda.
Terbentuknya Boedi Oetomo itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang pada hari ini, hari yang sama, Rabu 20 Mei 2009, 101 tahun kemudian bangsa kita telah mengalami kemajuan yang luar biasa pesat jika dibandingkan pada masa itu. Namun di sisi lain, sesungguhnya masih begitu banyak kekurangan, ketertinggalan dan keterbelakangan yang dialami bangsa ini jika kemudian kita bandingkan dengan negara lain.
Oleh karena itu, rasanya tidaklah berlebihan jika momentum Kebangkitan Nasional hari ini, kita kaitkan dengan ditetapkannya hasil Pemilu legislatif yaitu para calon penghuni gedung Dewan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh Indonesia, Minggu (17/8) silam.
Mengapa peringatan Kebangkitan Nasional dan penetapan para calon anggota legislatif itu menjadi sangat relevan dihubungkan? Tak lain karena para wakil rakyat adalah komponen bangsa yang berperan besar dalam menentukan arah dan tujuan bangsa ini hendak ke mana akan berjalan. Sekaranglah saatnya para wakil rakyat yang sebagian besar di antaranya adalah wajah-wajah baru, berperan maksimal untuk menunjukkan secara nyata peran dan fungsi mereka sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya.
Sebab sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pascareformasi silam, begitu banyak problem yang membelit para anggota Dewan. Mulai kasus asusila, premanisme, korupsi, kolusi bahkan yang berbau nepotisme tetap saja terjadi. Buktinya, puluhan bahkan mungkin ratusan anggota Dewan di seluruh Indonesia ini ramai-ramai diperkarakan ke pengadilan bahkan akhirnya harus meringkuk di bui sebagai pesakitan.
Itu semua terjadi tak lain dan tak bukan lantaran mereka belum memiliki kesadaran tentang bagaimana membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan seperti yang diajarkan oleh para pendahulu kita, dr Soetomo dan kawan-kawan. Sebagian di antara mereka yang terbelit masalah lebih karena mementingkan ego pribadi, kepentingan kelompok dan golongannya. Banyak anggota Dewan yang perangai, tabiat dan perilakunya tak menggambarkan sebagai seorang wakil rakyat. Kesadaran diri yang tipis atas peran dan fungsi mereka sebagai perwujudan wakil rakyat inilah yang tidak sesuai dengan filosofi dibentuknya Boedi Oetomo 101 tahun silam.
Nama Boedi Oetomo dipilih para pahlawan bangsa itu memiliki pengharapan yang besar agar bangsa ini bisa bangkit dengan cara yang baik. “Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat, kemahirannya.
Semoga saja para anggota legislatif hasil Pemilu 2009 mampu mengartikan sekaligus mengimplementasikan makna kebangkitan nasional yang ditandai dengan didirikannya Boedi Oetomo 101 tahun silam. Kita berharap, tahun 2009 menjadi salah satu tonggak sejarah baru bagi kebangkitan para wakil rakyat menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan rakyat; yaitu menjalankan amanah konstituennya berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat serta kemahirannya. q

Facebook bermata dua…

Situs jejaring sosial di Internet bernama Facebook, kembali hangat dibicarakan setelah sejumlah ulama di Jawa Timur, tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkan fatwa (haram) bagi penggunanya. Sikap keras para ulama itu kabarnya tidak lain didasarkan karena para santri di pesantren sudah tidak konsentrasi ke pelajaran. Mereka malah kecanduan meng-update status di Facebook.
Di Iran, seperti diberitakan koran ini, pemerintah setempat bahkan memblokir situs yang sedang naik daun ini. Namun langkah tersebut diyakini merupakan salah satu strategi untuk mencegah lawan-lawan politik Presiden Mahmoud Ahmadinejad memanfaatkan media komunikasi alternatif itu untuk menggalang dukungan dalam rangka Pemilu Presiden Iran bulan depan.
Luar biasa memang ekses situs dunia maya itu. Di usianya yang baru lima tahun, website yang dibangun remaja berusia 19 tahun Mark Zuckerberg pada tahun 2004, kini telah mencandui ratusan juta umat manusia di bumi ini sehingga memberi dampak ekonomi, sosial, politik hingga ke ranah pertahanan dan keamanan negara.
Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur. Facebook dianggap telah mengusik tatanan sosial di wilayah pesantren, sehingga pengasuh pondok merasa perlu mengeluarkan fatwa agar santrinya tak menjadi ”autis” gara-gara Facebook-an melulu. Demikian juga di Iran, Facebook bahkan dimaknai secara politis dinilai bakal bisa meruntuhkan dominasi penguasa sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan pemblokiran.
Menyikapi fenomena Fecebook tersebut, kami berpendapat mestinya kita bijak. Ibarat pisau bermata dua, Facebook pun bisa demikian. Tergantung bagaimana memperlakukan teknologi modern itu. Pisau akan bermanfaat jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun pisau akan menjadi alat berbahaya jika digunakan untuk mencederai seseorang. Ada istilah the man behind the gun, tergantung siapa orang yang membawa senjata.
Dengan demikian, kita tak perlu kemudian ikut-ikutan mencibir atau berburuk sangka ketika ada pihak tertentu yang –seperti para ulama di Jatim—kemudian melarang atau mengharamkan pemanfaatan Facebook tersebut. Toh pelarangan itu pasti memiliki tujuan mulia. Apalagi hal tersebut terkait dengan ranah yang sangat terbatas.
Namun di sisi lain, kami pasti menentang jika pelarangan atau ada keputusan memblokir Facebook seperti di Iran, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan politis atas kepentingan seseorang, kelompok atau bahkan penguasa untuk mempertahankan status quo. Di era demokrasi serta kemajuan teknologi informasi yang tanpa batas ini, kebijakan pemblokiran, pemberangusan, pembredelan atau apapun namanya adalah sebuah bodoh sekaligus melanggar hak asasi manusia.
Kita tentunya sependapat dengan Ketua Umum PKNU Choirul Anam yang menyebut bahwa bukannya para ulama tidak ada kerjaan lantas menyikapi fenomena Facebook, namun apa yang dilakukan adalah gerakan untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia. Namun tidak perlu pula dikeluarkan fatwa haram, ataupun pemblokiran pemerintah terhadap situs jejaring sosial tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana sebaiknya memfilter dan meningkatkan peranan semua pihak termasuk orang tua dalam menyikapi kemajuan teknologi informasi dengan segala konsekuensinya. q

Minggu, 17 Mei 2009

Asu gedhe menang kerahe…

Di Jakarta, gegap gempita pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden telah berakhir. Namun resonansinya pasti akan terus bergema. Elite Parpol masih berakrobat sedemikian rupa untuk berkoalisi, saling mempengaruhi, memprovokasi kalau perlu memanas-manasi kelompok lainnya dengan tujuan akhir: meraih kekuasaan.
Cara apa pun mereka tempuh untuk memperoleh suara besar agar ketika menjadi oposan bertaring tajam, dan jika menjadi penguasa memiliki dukungan yang tak tergoyahkan. Orang Jawa bilang ”asu gedhe menang kerahe…”, anjing besar pasti menang dalam perkelahian.
Di sudut Kota Surabaya, tepatya di Jl Pemuda seorang pedagang kaki lima Sumariyah, 22, yang berjualan bakso berjibaku menyelamatkan nyawa anaknya yang masih balita, Horiyah, 4, akibat tersiram kuah panas dan sebagian tubuhnya terbakar saat berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Satpol PP yang merazia kawasan itu.
Ketika berlari membawa gerobak, si bocah dia naikkan di atasnya. Satpol PP mengejar. ”Rambut Sumariyah ditarik dari belakang. Pegangan tangannya pada gerobak terlepas. Gerobaknya ambruk, kuah baksonya tumpah dan kompor yang ada di dalam gerobak ikut terguling. Apinya menyambar dinding kayu gerobak,” ungkap Masruri, saksi di tempat kejadian. Sialnya, tumpahan kuah itu mengguyur sang anak termasuk api kompor ikut menjilat tubuh Horiyah yang terjungkal bersamaan ambruknya gerobak sang bunda. (Surya, 12/5)
Inilah ironi. Sebuah gambaran yang sangat kontras di antara orang-orang yang tengah berambisi untuk ”menguasai” negara sementara di sisi lainnya terdapat rakyat jelata yang tengah berjuang untuk mencari sesuap nasi namun harus berurusan dengan para penguasa yang sewenang-wenang. Adakah nantinya empati para elite bangsa yang tengah berebut kuasa itu muncul ketika melihat penderitaan rakyatnya? Untuk tujuan apakah mereka ingin merebut kekuasaan?
Para elite yang kini sedang ”bertempur” untuk meraih kekuasaan seharusnya memahami benar apa sesungguhnya filosofi terbentuknya sebuah negara. Negara tak ubahnya sebuah organisasi besar dengan tujuan utamanya adalah memudahkan anggotanya (yaitu rakyat) untuk mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan, menuju rakyat yang adil, makmur, sejahtera, aman dan sentausa.
Keinginan bersama adalah rumusan yang kemudian disepakati bersama dalam bentuk sebuah dokumen konstitusi atau undang-undang. Undang-undang inilah yang harus dijunjung sebagai dokumen hukum tertinggi untuk mengatur keberlangsungan negara, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang juga harus ditaati rakyat sebagai anggota negara serta pengelola negara sebagai pengayom rakyatnya.
Negara yang terancam
Insiklopedia dunia maya Wikipedia.org menyebutkan bahwa dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkret pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan. Fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya.
Lantas bagaimana jika masih ada saja rakyat yang terancam dalam menjalankan kehidupannya di sebuah negara seperti yang dialami pedagang bakso di Surabaya tadi? Itu artinya negara belum bisa menjalankan fungsinya secara benar. Siapa yang harus disalahkan? Tentunya pengurus negara, yaitu penguasa yang direpresentasi pemerintah. Layaknya organisasi biasa, orang yang diserahi mengurus kepentingan rakyat dipilih secara demokratis. Namun ketika mereka telah diberi mandat haruslah menjalankan amanat penderitaan rakyat, bukan bertindak sewenang-wenang.
Moga-moga para elite Parpol yang sedang berusaha meraih kekuasaan itu benar-benar ingat akan fungsi dan perannya sebagai pengayom rakyat. Karena kalau kita lihat ambisi dan sepak terjang mereka dalam menggalang kekuatan, menjalin koalisasi pating penthalit, miyar-miyur kayak ager-ager gitu saya kok jadi khawatir. Jangan-jangan mereka berprinsip asu gedhe menang kerahe. Kalau benar seperti itu, negara ini benar-benar sedang terancam,” papar Denmas Suloyo saat wedangan di News Cafe bersama kelompok setianya.
Bisa jadi benar apa yang dikhawatirkan Denmas Suloyo itu. Karena setelah kolonialisme hilang dari peradaban dunia, salah satu ancaman besar bagi sebuah negara salah satunya justru berasal dari para penguasa itu sendiri. Apalagi jika penguasa menerapkan prinsip asu gedhe menang kerahe, yang besar pasti menang saat berkelahi. Maka rakyat jangan-jangan yang akan menjadi korban, tirani minoritas penguasa bisa saja berubah menjadi bencana bagi negara dan rakyatnya.
Dalam peribahasa Jawa, asu gedhe menang kerahe bermakna; Orang yang memiliki dukungan besar tentu akan menang dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki pendukung. Namun nilai yang dikandung dalam peribahasa itu sesungguhnya adalah, janganlah bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang lebih lemah, jangan mentang-mentang kuat lantas menekan yang lemah. Jangan mentang-mentang berkuasa kemudian menginjak rakyat yang tak berdaya. Jangan mentang-mentang di parlemen menjadi penguasa mayoritas lantas bertindak sesuka hati tak mengindahkan kepantingan rakyat.
Kata kawan saya, Denmas Suloyo, pengingatan itu penting karena di dunia ini tidak ada yang kekal abadi. Sekarang mungkin sedang berkuasa suatu ketika bisa saja kekuasaan itu lenyap. Oleh karenanya setiap orang harus berhati-hati dalam bertindak jangan adigang adigung adiguna ketika tengah berkuasa. ”Manusia hendaklah berbuat adil dalam setiap gerak dan langkahnya sesuai dengan ajaran agama bahwa Tuhan adalah Maha Adil… maka sifat baik itu juga harus ditiru umatnya…” kata Denmas Suloyo yang kemarin tampak arif bijaksana.

Rabu, 13 Mei 2009

Ironi sekolah gratis di republik krisis…

Denmas Suloyo yang gagal melenggang ke kursi Dewan, Minggu kemarin, kelihatannya sudah bisa menerima keadaan. Ketika berkumpul di News Cafe kampung sebelah pun, dia tampak mulai ceplas-ceplos, kembali mengkritisi kondisi negeri. Meskipun masih dengan gaya waton sulaya-nya, tema obrolan yang disampaikan sesuai newspeg terkait Hari Pendidikan Nasional yang jatuh 2 Mei lalu.
"Saya ini lagi jengkel dengan iklan Cut Mini soal sekolah gratis di mana-mana yang ditayangkan televisi-televisi itu lho Mas. Saya kok mencium aroma politis, kampanye terselubung dan mengandung unsur penipuan,” kata Denmas Suloyo mulai membuka pembicaraan dengan kawan-kawannya.
”Wah lha jangan terburu-buru mengambil kesimpulan gitu ta Denmas. Siapa tahu itu benar-benar iklan layanan masyarakat yang bermaksud baik untuk menumbuhkan semangat belajar anak bangsa,” papar Mas Wartonegoro, sahabat Denmas Suloyo yang setia setiap saat melayani udarasa kawannya itu.
"Tapi substansi permasalahan pendidikan di negeri ini kan bukan sekadar sekolah gratis. Memangnya ada sekolah negeri yang benar-benar gratis… tis… tis, tidak ada kan Mas. Para orangtua tetap saja harus membayar seragam, membayar iuran ini itu dan sebagainya... dan sebagainya. Yang lebih penting menurut saya kan justru soal kualitas, mutu pendidikan, termasuk di dalamnya sumber daya manusianya, kurikulumnya. Masalah Ujian Nasional (UN) saja sampai sekarang banyak diprotes kan?” papar Denmas Suloyo tak mau kalah.
”Betul memang. Tetapi soal biaya pendidikan kan juga menjadi hal sangat penting. Banyak anak yang tidak bisa sekolah, tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar karena harus membayar SPP. Nah kalau itu sudah dihapus kan bisa mengurangi beban para orangtua,” jawab Mas Wartonegoro.
"Soal menggratiskan sekolah kan tidak perlu sampai digembar-gemborkan sebegitu gencarnya di televisi. Jangan-jangan nanti rakyat malah bingung mencari sekolah negeri yang gratis, padahal faktanya sulit kan. Tak perlu banyak promosi, yang penting realisasi. Nyatanya saya juga masih belum tahu, di mana SD dan SMP gratis di kota kita ini coba… katanya di mana-mana,” papar Denmas Suloyo tetap tak mau kalah.
Ketika obrolan kian gayeng, tiba-tiba di televisi yang dipasang di News Cafe tempat mereka ngobrol menyiarkan iklan yang dimaksud Denmas Suloyo tadi. "Biar bapaknya supir angkot, anaknya bisa jadi pilot… Biar bapaknya loper koran, anaknya bisa jadi wartawan… Sekolah harus bisa… mau tak?” Begitulah kalimat-kalimat bernada optimistis meluncur dari mulut Cut Mini dalam logat Melayu seperti saat artis itu menjadi Bu Muslimah dalam film Laskar Pelangi yang disambut Denmas Suloyo dengan ucapan, ”Ahh… Tenaneeee?”

Ironi republik krisis

Gencarnya iklan Sekolah Gratis di Mana-mana yang dilancarkan Depdiknas itu memang kemudian mengundang pro dan kontra. ada yang menganggap iklan itu sah-sah saja, biasa saja, positif karena mengampanyekan kebaikan. Akan tetapi tidak sedikit yang menganggap sebaliknya bahwa iklan itu hanyalah sebuah propaganda, tak lebih dari sebuah kampanye politis untuk mendongkrak citra positif pemerintah yang sedang berkuasa atau bahkan ada yang menyebut bahwa iklan itu menipu.
Pakar komunikasi politik Universitas Airlangga (Unair) Sukowidodo, misalnya, terang-terangan menganggap iklan terbaru pemerintahan SBY itu cenderung menipu. Iklan pendidikan gratis itu, kata dia, menafikan bahwa kondisi dunia pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Suko mencontohkan banyak gedung sekolah yang tak representatif atau minimnya sarana dan prasarana pengembangan sekolah.
Selama ini, anggaran yang tersedia masih sebatas untuk pembiayaan operasional, bukan murni gratis. "Saya kira ada sebuah ironi dalam iklan itu bahwa sekolah gratis tidak sama dengan apa yang diberikan pemerintah (untuk dunia pendidikan). Yang untuk membangun sebuah gedung sekolah layak masih kurang,’’ katanya (Surabaya Post, 29/4).
Jadi tidak salah kalau ada yang mengorelasikan antara iklan pendidikan gratis itu dengan kenyataan yang ada di republik ini sebagai sebuah ironi. Dunia pendidikan di negeri yang masih dilanda krisis ini memang penuh dengan ironi. Di luar persoalan krisis finansial, seperti persoalan sekolah gratis dan sejenisnya, masalah definisi ”membentuk manusia Indonesia seutuhnya” seperti yang tersirat dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, sudah terlihat adanya ketidaksinkronan antara harapan dan kenyataan kebijakan yang ada.
Pada Pasal 1 UU Sisdiknas tersebut nyata-nyata disebutkan bahwa, ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Akan tetapi, bagaimana jika hal itu dikaitkan dengan kebijakan UN, tes formal yang dengan semena-mena mengeksekusi yang siswa tidak bisa meneruskan pendidikan selanjutnya karena tidak lulus. Padahal peserta didik itu memiliki kepribadian mulia, berketerampilan luar biasa dalam bidang tertentu serta mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi. Sayangnya mereka tidak memiliki kecerdasan dalam bidang Matematika, misalnya. Bukankah ini sebuah ironi?
Karenanya, saya sependapat dengan Munif Chatib, seorang konsultan pendidikan dan manajemen dalam buku Sekolahnya Manusia yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes formal). Sebab setelah diteliti, kecerdasan seseorang itu ternyata selalu berkembang (dinamis) tidak statis. Tes yang dilakukan untuk menilai kecerdasan seseorang, praktis hanya menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, apalagi sepuluh tahun lagi…q

ShoutMix chat widget