Kamis, 25 Desember 2008

Orang miskin “dilarang” sakit, dilarang sekolah…

Pagi baru saja beranjak. Matahari siang pun baru menjelang. Kangmas Wartonegoro yang memang biasa bermalas-malasan, karena dia mendapat jatah masuk kantor siang hari, agak tergagap-gagap ketika pintu rumahnya diketuk seseorang. Maklum, jam-jam tanggung seperti itu sangat jarang ada tamu yang datang, kecuali salesman.
Mas Wartonegoro semakin terhenyak saat tahu yang datang adalah seorang perempuan dengan raut wajah kusut masai. Apalagi dia ternyata bukan orang asing yang baru hari itu dia kenal. Wanita itu adalah Mbak Cempluk, kawan lamanya, yang sudah belasan tahun dia kenal. “Maaf, saya mengganggu. Saya cuma mau minta tolong, apa sampeyan bisa memintakan keringanan pembayaran di rumah sakit sebelah itu,” kata Mbak Cempluk sambil menitikkan air mata.
“Sik… sik… Mbak. Ada apa ta, kok datang-datang menangis,” jawab Mas Wartonegoro dengan perasaan berkecamuk.
“Anak saya. Sudah dua hari ini dirawat di rumah sakit situ. Tapi baru dua hari biayanya sudah mencapai Rp 2 juta. Lha saya dapet duit dari mana. Bapaknya sudah tidak ada. Pekerjaan saya cuman berdagang makanan, keliling perumahan ini. Sahari belum tentu dapat duit lima ribu rupiah,” katanya terbata-bata, air matanya tak lagi bisa dibendung.
Mas Wartonegoro pun hanya terhenyak. Hati dan pikirannya berkecamuk hebat. Mbak Cempluk adalah kawan akrabnya, walaupun tidak bisa disebut kaya, tapi hidupnya dulu berkecukupan. Namun kini nasibnya berubah seratus delapanpuluh derajat. Dia telah jatuh miskin. Dan jatuh miskin, sesungguhnya bukan hanya dialami Mbak Cempluk. Begitu banyak orang di sekitar Mas Wartonegoro hidup dalam kesulitan ekonomi.
Untuk makan sehari-hari saja, sebagian di antara mereka harus memeras keringat membanting tulang. Belum lagi untuk kebutuhan berobat ketika salah seorang anggota keluarganya sakit, seperti yang dialami Mbak Cempluk. Atau, membiayai sekolah anak-anak mereka. Bukan sekadar uang SPP, tapi ada komponen uang saku, uang transport, uang buku, uang fotokopi dan lain-lainnya.
Singkat kata, menjadi miskin di negeri ini, sama saja dengan tertimpa musibah terjatuh ke jurang yang sangat dalam tanpa ada penolong. Terminologi orang miskin dilarang sakit, orang miskin dilarang sekolah, adalah realita yang memang harus dihindari. Karena seperti ditulis Sixtus Tanje seorang guru Yayasan Pendidikan Diannanda Persekolahan St Kristoforus, Jakarta Barat di Harian Kompas beberapa waktu lalu bahwa dari hari ke hari kaum miskin di negeri ini makin kehilangan hak-haknya.
Hak mereka telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Kian hari jumlah orang miskin kian bertambah, sedangkan kekuasaan makin menjauh dari mereka. Semenjak neoliberalisme menjadi program utama yang dianut bangsa ini, sejak itu juga orang miskin semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai, dan pekerjaan yang layak. Neoliberalisme sebagai ideologi dunia seolah telah sukses meluluhlantakkan pertahanan hidup orang miskin untuk berpendidikan.
Maka begitu relevan kondisi pendidikan di negeri ini yang seolah meminggirkan masyarakat miskin dalam pendidikan seperti ditulis Eko Prasetyo, seorang pengamat sosial, penulis buku bertajuk Orang Miskin Dilarang Sekolah! Walau judulnya sangat terkesan provokatif buku ini tak lantas lebur ke dalam gagasan abstrak semata mengenai cita-cita pendidikan. Dalam buku setebal 255 halaman ini Eko membeberkan berbagai realitas sosial lewat riset dan investigasi yang mendalam.
Dia misalnya mengungkap seorang ”marketing” sekolah yang bekerja selama 18 jam persis tenaga salesman dalam “memasok” siswanya. Kegiatannya adalah mengidentifikasi nama-nama SMA di berbagai kabupaten untuk diiming-imingi agar mau sekolah di tempatnya. Bujukan itu dilakukan dengan dua langkah, yaitu mengirimkan surat kemudian didatangi sekolahnya. Dengan menggunakan mobil milik sekolah yang kadang milik rektor atau kepala sekolahnya, dikelilinginya sekolah tertentu untuk diberitahu tentang ‘masa depan’.
Lucunya isi surat itu tak sekadar “surat penawaran’, melainkan surat pemberitahuan bahwa seorang siswa di SMA yang dikunjunginya sudah diterima. Dengan memanfaatkan taktik ini secara agresif, siswa lalu diberitahu telah mendapatkan beasiswa separuh sedangkan separuhnya harus dibayar setelah lulus SMA, mirip yang dilakukan penyebar pemberitahuan kepada seseorang ‘telah memenangkan hadiah’, sisanya sebagai pelunasan ‘hak milik hadiah’ bisa dibayar belakangan. Sekolah, benar-benar telah menjadi obyek kapitalisme yang sangat kasar. Komersialisasi sekolah kini bukan lagi sesuatu yang tabu, termasuk di sekolah negeri.
Lantas siapa yang bersalah? Tentu saja tak bisa terlepas dari peran besar pemerintah yang memang telah membuka keran fungsi lembaga pendidikan sebagai sebuah pasar bebas, mesin produksi untuk meraup keuntungan. Jika sudah demikian, maka entah apa yang akan terjadi di negeri ini pada masa mendatang. Tak ada lagi kesempatan orang miskin untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak… mereka benar-benar dilarang sekolah dan dilarang sakit… jika tak ingin bertambah miskin… o

Optimisme bangsa limbung di perahu retak…

Tahun 2008 tinggal sepekan lagi. Dengan susah payah, penuh perjuangan, mandi keringat bahkan sebagian lainnya mungkin berdarah-darah tahun ini telah kita tapaki. Tahun 2009 yang penuh tantangan sudah mengadang di pintu gerbang. Krisis ekonomi global kata banyak pengamat dan peramal bakal mencapai puncaknya di tahun itu. Lantas apa yang bisa diperbuat bangsa ini?
”Kita harus optimis bisa bangkit Mas. Kita ini bangsa besar, bangsa yang tahan banting, bangsa yang kaya sumber daya… hanya mungkin karena salah urus saja kita sekarang jadi limbung,” kata Denmas Suloyo suatu sore kepada saya dan Mas Wartonegoro di News Cafe sebelah rumah.
”Wah kalau sekarang ini bukan sekadar salah urus Denmas. Kata orang-orang pintar, ini karena efek krisis global. Bosku, waktu rapat kemarin juga bilang kita harus mewaspadai tahun depan… suku bunga naik… dolar naik… ribuan karyawan telah dan bakal di-PHK… 50% omset perusahaan yang kami punyai bakal terpengaruh dengan kondisi itu,” timpal Mas Wartonegoro.
”Walah-walah… apa memang sudah segawat itu ta Mas. Tapi menurut saya, kalau para priyagung pembuat kebijakan dan kebijaksanaan negeri ini mau cancut tali wanda, holobis kuntul baris, menyingsingkan lengan baju, barsatu saling bergandengan tangan untuk mengurus bangsa ini secara benar dan demi kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai, golongan apalagi kepentingan pribadi saya yakin bangsa kita bisa berlayar menuju pantai harapan…” kata Denmas Suloyo.
”Ayak… sampeyan ki thik le puitis. Hambok dilihat kenyataannya ta Denmas, kasunyatan-nya. Para penggedhe malah berebut kursi kekuasaan, rebutan tahta ingin jadi penguasa. Ujung-ujungnya bisa kita saksikan, kepentingan golongan, kepentingan pribadi demi kelanggengan kekuasaan yang menjadi prioritas… akhirnya, ora wurung rakyat jelata seperti kita-kita inilah yang menjadi korban,” papar Mas Wartonegoro.
Bangsa limbung
Mendengar obrolan dua sahabat saya itu, saya jadi teringat dengan tulisan salah seorang wartawan senior Kompas Maria Hartiningsih beberapa pekan lalu yang mendeskripsikan negeri kita ini sebagai bangsa yang sedang limbung. Kata dia, pemerintah yang dikuasai orang-orang partai sekarang ini limbung dan sibuk dengan urusan kekuasaan untuk menguasai (power to survive, to control), bukan untuk melakukan sesuatu (power to do) demi kesejahteraan seluruh warga, tanpa terjebak notion minoritas-mayoritas . Penguasa abai terhadap semua di luar kepentingan politiknya sehingga daya hidup kaum muda dibiarkan meredup. Bangsa seolah berjalan limbung tak tentu arah.
Padahal, kata Maria, orang muda produktif (usia 18-45 tahun) di Indonesia saat ini sekitar 60 juta orang atau sekitar 25 persen dari jumlah penduduk. Mereka ada di tengah gempuran politik/budaya massal di ruang publik serta perebutan model dari politisi medioker yang memegang kekuasaan, menjadikan transformasi berbangsa di berbagai aspek masa transisi tidak terwujud. ”Pemerintahan jatuh pada model politik praktis tanpa panduan filosofis dan terjerembab pada konsensus suara terbanyak (atas nama ’demokrasi’, tetapi tanpa esensi), dan pasar yang tanpa etika. Yang marak di media saat ini adalah massa sebagai preman dan massa sebagai konsumen,” papar Maria (Kompas, 29/11).
Inti dari telaah kritis Maria Hartiningsih tersebut di atas adalah tiadanya semangat untuk mengobarkan daya hidup, kehendak bangsa untuk menjadikan negeri ini sebagai bangsa yang berkepribadian. Sebab, dalam kondisi seperti sekarang ini sesungguhnya yang diperlukan adalah aneka kebijakan publik yang menyuntikkan kehendak menjadi Indonesia. Indonesia yang mandiri, kokoh dan Indonesia yang disegani.
Seperti pada masa pra-kemerdekaan, ketika Indonesia terperangkap berbagai situasi global, perang, resesi, dan kepungan ideologi besar. Namun, dengan ketokohan Soekarno-Hatta, dibangunlah kehendak yang kuat untuk keluar dari perangkap itu dengan membentuk Indonesia sebagai bangsa. Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kehendak menjadi bangsa dan membentuk Indonesia itulah yang digunakan untuk menanggapi seluruh ideologi besar yang mengepung Indonesia saat itu, termasuk menanggapi AS, Uni Soviet, komunisme, liberalisme, dan lain-lain.
Jika komitmen kebangsaan seperti yang dicetuskan Soekarno-Hatta itu dikobarkan kembali, maka bangsa ini tidak akan limbung diterjang goncangan gelombang. Jangan sampai terulang bangsa ini berada di dalam perahu retak seperti digambarkan dalam nyanyian Franky Sahilatua dan dipentaskan dalam bentuk drama oleh Emha Ainun Nadjib di tahun 1992 silam.
Sebuah kondisi berbangsa dan bernegara yang kelihatannya baik-baik saja, padahal bahaya laten mengancam karena mereka berada di bahtera yang retak. Dan apa yang dikhawatirkan itu nyatanya benar-benar terjadi ketika pada tahun 1998 perahu itu benar-benar pecah berantakan menjadi prahara euforia kebebasan. Untuk membangun kembali kehendak menjadi sebuah Indonesia yang kokoh ternyata sangat sulit, rumit, harus dimulai dari nol dan membtuhkan waktu entah sampai kapan.
Tahun 2009 adalah tahun harapan, meskipun diramal bakal banyak tantangan. Bahtera yang kita naiki harus benar-benar nyaman sehingga mampu mengantarkan anak bangsa sampai di pantai impian. Pantai idaman rakyat yang menyejahterakan, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja… bukan perahu yang retak karena dinakhkodai orang yang tidak becus seperti bait-bait lagu yang dinyanyikan Franky,
Perahu negeriku, perahu bangsaku menyusuri gelombang//Semangat rakyatku, kibar benderaku
menyeruak lautan…//
Di atas tanahku, dari dalam airku tumbuh kebahagiaan//di sawah kampungku, di jalan kotaku terbit kesejahteraan// Tapi ku heran di tengah perjalanan
muncullah ketimpangan// Aku heran, aku heran
yang salah dipertahankan//Aku heran, aku heran
yang benar disingkirkan…//
Perahu negeriku, perahu bangsaku
jangan retak dindingmu//Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu
jangan terantuk batu//Tanah pertiwi anugerah ilahi jangan ambil sendiri//Tanah pertiwi anugerah ilahi jangan makan sendiri//Aku heran, aku heran satu kenyang, seribu kelaparan//Aku heran, aku heran keserakahan diagungkan…

Senin, 08 Desember 2008

Kehilangan rasa...

Sebelum Lebaran lalu, kawan saya saat kuliah mem-forward sebuah artikel berjudul Kaca Spion yang (katanya) ditulis Andy F Noya, pemilik acara Kick Andy di Metro TV itu. Sesuai imbauannya, saya diminta membaca tulisan itu karena katanya sangat menarik. Benar memang. Tulisan atau persisnya catatan kehidupan Andy F Noya yang mantan wartawan di berbagai media cetak Ibukota itu sangat inspiratif.
Andy bertutur tentang kegundahan hatinya gara-gara makan gado-gado kesukaannya sewaktu mahasiswa yang kini telah berubah rasa. Padahal menurut Andy, gado-gado favoritnya semasa dia masih mahasiswa di luar pagar Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta itu penjualnya masih sama, warna bumbu kacangnya masih sama bahkan kain penutup kiosnya masih tetap berwarna hitam seperti dulu.
"Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta. Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi," begitu tulis Andy F Noya.
Tetapi ketika suatu hari Andy yang kini telah sukses itu ingin memuaskan rasa rindunya menyantap gado-gado kesukaannya, ternyata rasanya telah berubah. Itulah yang membuatnya gundah. "Gado-gado itu dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul," tambahnya.
Kata dia, bukan semata pada masalah rasa gado-gado yang telah berubah. Akan tetapi lebih dari itu, menurut dia ada sesuatu yang bersifat lebih filosofis dalam kegundahannya tersebut. "Kepada isteri, saya utarakan kegundahan itu. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya."
Kata Andy, pandangan hidupnya itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil dia di Surabaya. Sejak kecil dia mengaku benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil ketika berumur 9 tahun secara tidak sengaja dia mematahkan kaca spion mobil seorang kaya. Sang pemilik mobil itu memburunya hingga ke rumahnya yang sempit. "Dengan suara keras dia marah dan mengancam ibu saya. Dia meminta ganti rugi. Pria itu, yang saya kenali dari suaranya yang tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi pada tahun 1970, itu sangat besar. Terutama bagi ibu yang hanya penjahit. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya?"
Itulah mengapa Andy waktu itu mengaku sangat membenci orang kaya dan berjanji jika dirinya menjadi orang kaya tidak akan semena-mena. Karenanya, ketika gado-gado yang dia makan pada masa susah dulu berubah rasa dia pun menjadi gundah. "Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti."
Tapi isterinya bilang bahwa dia tidak usah merasa bersalah. "Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Cita rasamu sudah meningkat.''

Elite sinambung
Begitulah kisah Andy F Noya itu juga saya sampaikan kepada sahabat saya Mas Wartonegoro dan Raden Mas Suloyo yang namanya kemarin sudah resmi masuk ke daftar calon sementara anggota legislatif. Maka tanpa menunggu jeda, Mas Wartonegoro pun langsung mengingatkan kawannya Denmas Suloyo untuk selalu mengingat-ingat kisah itu. "Jadi kalau nanti sampeyan mulya menjadi anggota Dewan yang terhormat, jangan njuk lupa pada asal usul sampeyan yang sekarang ini. Seperti Pak Andy Noya itu, selalu khawatir, selalu gundah kalau ada sesuatu yang berubah pada dirinya," kata Mas Wartonegoro.
"Lha iyalah Mas Warto... apa saya ini kelihatan seperti orang yang gampang berubah, gampang lupa kacang akan kulitnya, gampang lupa asal-usul ta?" jawab Denmas Suloyo.
"Saya kan hanya mengingatkan ta Denmas. Karena fakta menunjukkan bahwa begitu banyak orang yang berubah ke arah yang salah, apalagi kalau sudah menjadi pejabat. Bukti sudah banyak, tidak usahlah saya memberi contoh satu persatu. Setiap hari di koran saya itu kan ada saja kasus pejabat kena suap, pejabat korupsi, anggota dewan dijebloskan penjara karena menerima uang sogokan... dan masih banyak lagi, itu kan karena mereka sudah kehilangan rasa..." tambah Mas Wartonegoro.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Eep Saefullah pernah mengatakan bahwa kenyataannya setelah berjalan satu dasawarsa, reformasi ternyata cenderung menghasilkan gejala "rezim berubah, elite sinambung". Apa yang dimaksud Eep adalah, para elite yang menjadi para pelaku reformasi ternyata sungguh mudah terjebak menjadi agen kesinambungan perilaku nondemokratis. "Maka, sekalipun terjadi perubahan tipe rezim dari otoritarianisme Orde Baru ke demokrasi, berbagai bentuk perilaku nondemokratis masih terus bertahan."
Ini berarti pula bahwa perilaku pejabat kita masih saja berubah menjadi serakah ketika berkuasa. Mereka cenderung hanya mementingkan kesejahteraan diri sendiri, atau maksimal memikirkan kelompok atau golongannya agar tetap eksis menguasai percaturan perpolitikan negara. Banyak elite yang dulunya aktivis pro rakyat, yang dulunya merasa tertindas, yang dulunya orang tidak punya apa-apa ketika berkuasa lupa akan kesengsaraannya masa lalu, lupa akan ketertindasannya dulu dan lupa akan kesengsaraan orang lain. Mereka ibarat kere munggah bale, seperti Petruk dadi ratu yang merasa mendapat aji mumpung untuk menumpuk kekayaan dan kemudian kehilangan empati, kehilangan simpati serta kehilangan rasa gundah dan gelisah atas keadaan rakyat yang masih susah dan malah kemudian balik mereka tindas... q

Prasangka, praduga dan asumsi terhadap pers...

Para tokoh pers, beberapa pemimpin redaksi media massa se-Indonesia, sejumlah ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang mulai Selasa (27/11) besok akan berkumpul di Kota Solo. Mereka membuka forum dialog bertema Mewujudkan Pers Nasional yang Profesional, Beretika dan Bermartabat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, memangnya pers ada yang tidak profesional, tidak beretika dan tidak bermartabat? Tentu saja jawabannya “ya... ada”.
Tetapi tentu saja ada dua hal yang menyebabkan pencitraan media massa menjadi seperti itu. Pertama karena pengelola di balik media itu yang memang tidak profesional, tetapi di sisi lain bisa jadi banyak orang apriori terhadap pers yang sesungguhnya sudah bekerja secara baik dan benar. Karenanya saya berharap forum ini akan mampu memberi pencerahan kepada orang-orang yang apriori terhadap pers, di samping tentu saja kian menjadi pembelajaran bagi para insan pers sendiri untuk terus memperbaiki diri.
Tujuh belas tahun lalu, ketika saya menekatkan diri menekuni pekerjaan sebagai wartawan di sebuah harian lokal di Yogyakarta, yang ada di benak saya adalah: menjadi wartawan itu harus berideologi kepada kebenaran, bermoral, merekam peristiwa menjadi berita bermakna.
Karena begitulah pengetahuan yang saya peroleh ketika selama satu bulan kali dua puluh empat jam, kami –sebanyak 17 orang calon jurnalis—didik oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) pimpinan Ashadi Siregar agar kelak menjadi wartawan yang benar-benar profesional, paham tentang etika, kaidah dan norma-norma jurnalistik.
Makanya, pekan lalu saya marah ketika mendengar ada seorang terpelajar yang bicara di sebuah forum ilmiah menyebut koran tempat saya bekerja sekarang ini mempunyai jargon ”membela yang bayar” untuk mempelesetkan semboyan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ”membela yang benar”. Bagi saya, pernyataan itu adalah pelecehan, penghinaan profesi yang selama belasan tahun sedemikian kuat kami jaga agar tidak tergelincir pada praktek-praktek jurnalisme menyimpang seperti itu.
Atas dasar teori apa dosen muda itu memvonis koran saya telah mengabaikan kaidah-kaidah pemberitaan hanya karena setiap pekan sekali kami memindahkan rubrik ke halaman lain karena halaman rubrik itu ditempati sebuah iklan? Atas kepentingan dan kapasitas sebagai apa dia menyatakan prihatin dan kasihan kepada wartawan yang telah menulis 7.000 karakter namun ketika muncul di koran tinggal 2.000 karakter?
Saya merasa pak dosen muda itu sebenarnya belum atau malah tidak paham tentang bagaimana mengelola perusahaan pers yang sekarang memang telah berubah menjadi industri itu. Saya rasa, simpulan yang dia ungkapkan tersebut sebatas prasangka, praduga, persepsi atau malah bisa jadi hanya sebuah asumsi picik seorang dosen pencari sensasi.
Media adalah lembaga yang berkonsekwensi memunculkan opini publik, saya merasa pers memang seringkali akan berhadapan dengan praduga, prasangka, persepsi dan asumsi publik terhadap pengelola pers itu sendiri. Mereka sering bertanya-tanya, apa sih ideologi orang-orang di balik media massa itu? Apa sih kepentingan mereka ketika memilih sudut pandang sebuah berita? Simpatisan partai apa sih wartawan pembuat berita itu?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang kerap muncul di kalangan masyarakat awam. Akan tetapi ketika bermacam sangkaan itu diungkapkan oleh seorang terdidik yang paham tentang ilmu komunikasi massa, tentu kami harus balik mempertanyakan kadar intelektualitas dia tentang pemahaman mengenai peran dan fungsi pers serta pengetahuan dia mengenai perkembangan pers dan managemen pers modern sekarang ini.
Pandangan sepihak dosen muda tadi, mungkin bisa menjadi hal menarik untuk dibahas terkait pencitraan pers yang profesional, beretika dan bermartabat. Banyak orang tidak paham tentang fungsi dan peran pers profesional yaitu pers yang mempunyai kemampuan melaksanakan fungsi dan perannya dengan memperhatikan rambu-rambu dan etika serta norma-norma yang berlaku.
Insan pers sendiri menyadari bahwa semenjak kemerdekaan pers tercipta pascareformasi, memang kemudian dibarengi dengan munculnya pandangan sepihak sejumlah kalangan bahwa sejumlah lembaga pers memang menafikan peran idealnya. Akan tetapi, tentunya, hal tersebut tidak bisa digebyah uyah, disamaratakan. Kami, sebagai institusi pers yang telah berkomitmen bekerja secara profesional tentu akan marah ketika seseorang menyebut sisi ideal kami sebagai pers telah digadaikan dengan harga murah bermotif ekonomi. Karena ini sama saja menyebut kami telah melacurkan profesionalisme dan idealisme pers.
Sejumlah praktisi jurnalistik menyebut bahwa perilaku sebagian pers atau wartawan maupun pihak lain yang membonceng dan melakukan berbagai tindakan kontroversial dan merusak citra pers atau wartawan yang secara umum telah bekerja serius, telah merugikan pencitraan wartawan dan media serta merugikan kemerdekaan pers. Kemerdekaan ataupun kebebasan pers haruslah disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan norma-norma, etika profesional dan supremasi hukum.
Sekali lagi, itu berarti bahwa pers profesional adalah pers yang memiliki kemampuan melaksanakan fungsi dan perannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, memperhatikan rambu-rambu hukum, etika, norma kemasyarakatan dan keagamaan yang berlaku. Kami jelas tersinggung, ketika kesadaran terus menerus yang kami lakukan untuk menjaga profesionalisme sepanjang masa, tiba-tiba dengan tanpa indikator jelas, hanya berdasar asumsi dan prasangka, dengan enteng dan asal bicara seseorang menuduh kami telah menjual diri, mengorbankan “kebenaran” sebagai filosofi pers dengan “uang”.
Benar bahwa industri pers memang tidak bisa terlepas dari faktor ekonomi. Pers sebagai sebuah industri, tentu saja perlu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, soal untung rugi, sistem manajemen, sumber daya manusia termasuk pemasaran. Denis Mc Quail, seorang pakar komunikasi massa bahkan menunjuk bahwa faktor komersial sangat berperan dalam mempengaruhi industri pers. Namun demikian, hal penting yang juga harus dipahami adalah, pers modern wajib mempertahankan sisi idealisme sebagai bagian dogma pers karena ini menyangkut kepercayaan masyarakat akan produk pers yaitu berita. Ketika pers telah dipercaya masyarakat, itu bermakna berita yang ditampilkan sebagai sisi ideal industri pers telah dipenuhi. q

Orang Jawa jadi pengusaha…

Pada tahun 90-an, saya pernah membaca buku berjudul Orang Jawa Naik Haji… karya Danarto, seorang cerpenis, penyair, dramawan dan pelukis asal Sragen. Buku itu sebenarnya tak lebih dari sebuah laporan perjalanan haji seorang Danarto, penulis sastra yang karya-karyanya pada masa itu termasuk luar biasa karena keelokannya merangkai kalimat macam kumpulan cerpennya Godlob, Adam Ma’rifat dan Berhala.
Banyak orang bertanya, apa istimewanya Danarto naik haji? Saya menangkap pesan yang dia sampaikan dalam buku itu sesungguhnya adalah lebih pada persoalan “kejawaannya”, pandangan hidupnya yang telah terbentuk selaku manusia Jawa dengan segala prinsip dan kebudayaan Jawa yang dipahaminya.
Pandangan hidup orang Jawa yang sering disebut sinkretis (mencari keseimbangan atau keserasian hidup di antara sejumlah paham) menjadikan kisah orang Jawa naik haji itu menjadi sedemikian bermakna dalam tulisan Danarto. Ignas Kleden, pakar sosiologi itu pernah menulis bahwa pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam semesta ciptaan-Nya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Ini meliputi pula pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula pandangan terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada.
Nah ingatan saya soal buku Danarto, Orang Jawa Naik Haji itu terusik ketika pada Jumat Legi, malam Sabtu 14 Maret lalu saya diundang untuk menghadiri perayaan ulang tahun ke-80 Pak Kam –sapaan akrab bagi Prof Dr Sukamdani Sahid Gitosardjono di Sahid Jaya Hotel Jakarta. Inilah sosok orang Jawa jadi pengusaha yang kiprahnya layak jadi panutan karena “kejawaannya”. Saya merasa beruntung karena bisa menyaksikan sejarah perjalanan hidup yang luar biasa priyagung kelahiran Sukoharjo yang digambarkan melalui tayangan audio visual dipadu gerak tari dan lagu dengan penyanyi Edo Kondologit, Waldjinah dan Krisdayanti yang menjadi sajian utama perayaan hari ulang tahun tersebut.
Di luar suasana megah, meriah dan agung yang terasa dalam perayaan hari ulang tahun Pak Kam di Puri Agung, Sahid Jaya Hotel Jakarta itu, ada kesan kuat yang saya tangkap bahwa sebagai orang Jawa dengan segenap filosofi hidupnya, Pak Kam telah berhasil mempertautkan antara bisnis, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang diakui dan dihormati banyak kalangan. Lihat saja tokoh-tokoh bangsa ini seperti Wapres Jusuf Kalla, Mendagri Mardiyanto, Wakil Ketua MPR Mooryati Soedibyo, dan sejumlah mantan pejabat tinggi negara, seperti Try Sutrisno, Emil Salim, Moerdiono, dan rekan-rekannya sesama pengusaha seperti Sudwikatmono, Sofjan Wanandi, The Nin King, Prajogo Pangestu, Ciputra dan masih banyak lagi yang ikut memberi selamat atas keberhasilan Pak Kam sebagai orang Jawa yang telah sukses mencitrakan ketokohannya sebagai seorang pengusaha nasional yang tangguh.
Seperti tertuang dalam buku terbarunya yang diluncurkan bersamaan dengan HUT ke-80 Pak Kam pekan lalu, Mempertautkan Bisnis, Pendidikan, Sosial dan Keagamaan di sana jelas tergambar bahwa karena lahir dan dibesarkan di lingkungan budaya Jawa, maka pikiran Jawa menjadi sangat dominan dalam pembentukan karakter dan personalitas Sukamdani. Budaya Jawa yang lebih mengedepankan masalah keharmonisan hubungan antara manusia dan alam itulah yang sehari-hari dihadapi dan dihayati Pak Kam sejak kecil.
Ajaran-ajaran budaya Jawa yang membentuk pandangan hidup Sukamdani bahwa urip iku nguripi yang bermakna bahwa manusia hidup haruslah menjaga kehidupan sekelilingnya tidak ada nuansa merusak, merebut, mengeksploitir sesuatu sampai habis. Yang ada adalah andum, weweh dan nguripi karena, “Sejatining urip iku mung mampir ngombe. Urip iku mung sadermo nglakoni…”
Pada bagian lain buku itu, Pak Kam juga menyebut bahwa dengan filosofi Jawa yang serba selaras dan seimbang itu ada anggapan bahwa orang Jawa seolah identik dengan kelambanan, malas dan tidak produktif. Itu semua karena banyak orang memahami filsafat Jawa secara parsial, seperti memaknai prinsip hidup alon-alon waton kelakon yang diartikan lambat asal selamat. Padahal maksud dari filosofi kalimat itu adalah mengajarkan kepada kita bahwa jika bekerja jangan tegesa-gesa dan harus berhati-hati agar tidak membahayakan diri. Karena di sisi lain terdapat ajaran kebat, nanging keliwat… cepat tetapi banyak yang terlewatkan.
Prinsip lain yang diambil dari filosofi Jawa sehingga Pak Kam berhasil dalam menjalankan roda bisnis serta seluruh hidup dan kehidupannya adalah nguwongke uwong, memanusiakan manusia sehingga dalam keseharian kita harus memperlakukan orang lain sebagai sesama ciptaan Allah SWT. Prinsip tumindaj sak madya, berperilaku wajar, bertindak tidak secara berlebih lebihan, tidak sombong dan tidak menonjolkan diri jika tidak dipandang perlu. Prinsip nut zaman kelakone, yaitu senantiasa siap menghadapi perubahan zaman karenanya seorang manusia haruslah visioner, antisipatif, kreatif dan inovatif dalam mengikuti perubahan, bukan malah diubah oleh situasi tetapi mampu mengubah diri sesuai dengan tuntutan zaman.
Prinsip terakhir adalah urip iku amanah, hidup itu amanah, bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan. Dengan prinsip ini, kita diajarkan untuk selalu sadar bahwa jika hidup kita meraih prestasi tinggi dan memperoleh kedudukan terhormat pasti itu berkat rida Allah SWT dan partisipasi orang lain. Dengan prinsip itu, berkah Allah yang diterima harus senantiasa disyukuri, dikelola baik-baik agar bermanfaat untuk stake holder dan masayarakat banyak sebagai tabungan hari tua dan akhir hidup yang baik, khusnul khotimah…
Begitulah. Di usianya yang telah mencapai 80 tahun Pak Kam telah membuktikan diri sebagai pengusaha besar dengan tetap memegang teguh pandangan-pandangan hidupnya sebagai orang Jawa. Pak Kam sudah menunjukkan bahwa orang Jawa dengan ajaran leluhurnya bukanlah manusia yang lamban, mudah menyerah dan menerima apa adanya. Ketika filosofi itu diterapkan secara proporsional dan dengan semangat membaja prestasi pasti bisa diraih.
Saya mengutip seorang penulis yang menuangkan gagasannya di situs http://opensource.jawatengah.go.id bahwa pandangan hidup Jawa itu bukan suatu agama, ia juga tidak identik dengan religiositas Jawa, karena cakupan pengertiannya lebih luas dari pada itu. Berbeda dengan pendapat sementara pakar yang menyimpulkan bahwa ciri karakteristik religiositas Jawa dan pandangan hidup Jawa bukanlah sinkretisme tetapi penulis ini memberinya nama “Tantularisme”. “Saya namakan demikian karena semangat ini bertumpu pada atau memancar dari ajaran Empu Tantular lewat kalimat kakawin Sutasoma: Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, bermacam-macam sebutannya, tetapi Tuhan itu satu, tidak ada kebenaran yang mendua.”
Kalimat Empu Tantular ini jelas tidak hanya menekankan prinsip dan keyakinan tentang keesaan Tuhan tetapi juga keesaan kebenaran! Di situlah letak semangat Tantularisme yang merupakan inti pandangan hidup Jawa. Semangat semacam ini menjiwai dan menyemangati tidak hanya religiositas Jawa tetapi juga semua unsur dan aspek kebudayaan Jawa. Sifat karakteristik budaya Jawa yang religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik itu terbentuk secara kokoh diatas fondasi tantularisme ini.

Nurani anggota Dewan

Seiring dengan perubahan zaman, kebudayaan, tradisi serta norma-norma kehidupan masyarakat dalam bidang sosial dan politik pun berganti. Tak terkecuali bangsa ini. Satu hal yang mungkin paling dirasakan seluruh rakyat Indonesia adalah terjadinya perubahan struktur budaya dan norma dalam tata pemerintahan kita.
Jika dulu dikenal adanya dominasi eksekutif atas legislatif, maka kini hal itu sudah tak berlaku lagi. Legislatif adalah “lembaga sakti” yang mampu mengubah hitam-putihnya kiprah pembangunan di suatu wilayah.
Fenomena ini, awalnya, tentu saja menggembirakan kita. Mengapa? Karena sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat, mereka mampu mengontrol kiprah eksekutif yang sebelumnya begitu dominan. Hampir semua tindakan eksekutif, kala itu, seolah tak bisa tersentuh. Apa pun yang dilakukan eksekutif, legislatif seakan hanya bertindak sebagai lembaga stempel.
Namun seiring dengan perjalanan waktu pula, perubahan itu terus berlangsung dan dirasakan mulai tak terkontrol. Posisi kuat yang digenggam legislatif lambat tapi pasti, bertambah kokoh. Kedudukan eksekutif seolah hanya menjadi pecundang. Mereka harus tunduk dengan segala keinginan dewan yang mewakili rakyat. Keadaan ini, secara ekstrem, bahkan ada yang menyebut bahwa di Indonesia telah terjadi sebuah tirani minoritas.
Pendapat ini, tentu saja bisa kita maklumi. Karena suka atau tidak suka, telah begitu banyak produk yang ditetapkan oleh MPR, DPR hingga DPRD tak bisa digugat oleh siapapun. Mulai dari kasus pemecatan kepala bagian sebuah kantor di pemerintah kabupaten atau pemerintah kota, hingga pencopotan bupati, walikota bahkan pelengseran presiden sekalipun bisa dilaksanakan.
Yang mengkhawatirkan, akhir-akhir ini ada trend di lembaga itu untuk membuat ketetapan yang arahnya sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan rakyat sebagai konstituen negeri ini yang mereka wakili, kecuali demi kepentingan mereka sendiri.
Contoh paling mutakhir adalah ketika anggota DPRD Kota Solo mengusulkan dana asuransi bernilai ratusan juta rupiah bagi mereka sendiri, serta telah ditetapkannya dana purna bakti atau pensiun sebesar Rp 100 juta/anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah akhir pekan lalu.
Tindakan kedua lembaga legislatif itu, tentu saja mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak pihak menyebut anggota DPRD telah kehilangan hati nurani atau tak mempunyai sense of crisis terhadap kondisi bangsa yang masih terpuruk dihantam krisis multi dimensi selama bertahun-tahun ini.
Mereka, para wakil rakyat yang terhormat itu, seolah menutup mata dan telinga bahkan nurani, untuk memperoleh privilege serta keuntungan pribadi berujud jaminan finansial yang berlebihan. Mereka dianggap mengabaikan nasib rakyat yang untuk mencari sesuap nasi pun harus memeras keringat dan membanting tulang.
Dengan kenyataan seperti itu, tak heran jika akhir-akhir ini banyak kalangan yang berpendapat minor terhadap eksistensi anggota Dewan. Harapan bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat ke arah yang lebih baik lambat laun menjadi pudar. Rakyat kian apatis terhadap negeri ini.
Lantas, apa yang akan terjadi jika masyarakat telah masa bodoh terhadap negerinya? Kehancuranlah yang akan terjadi. Oleh karenanya, senyampang keadaan lebih buruk belum terjadi, masih ada sebagian rakyat yang menggantungkan harapannya kepada DPRD, alangkah bijaksananya jika para anggota Dewan menyadari kekeliruannya.
Mari membuka lebih lebar hati nurani. Mari lebih berempati kepada rakyat kita yang masih dalam keadaan terpuruk. Hidup dalam kesederhanaan lebih berarti daripada bergelimang harta namun selalu menjadi bahan pembicaraan bahkan cibiran masyarakat.
Jangan sampai para anggota Dewan malah hidup di menara gading yang jauh dari jangkauan rakyat akar rumput. Sebab, sekali lagi, mereka adalah wakil rakyat yang harus memahami situasi dan kondisi serta keadaan yang diwakilinya.

Membangun kembali watak bangsa…

Agustus, bagi bangsa kita seringkali diidentikkan dengan bulan keramat. Semua orang lantas sibuk berbicara dengan jargon-jargon patriotisme, nasionalisme hingga heroisme tentang makna kemerdekaan.
Ya, 61 tahun silam bangsa yang sangat besar ini memang telah menyatakan komitmennya untuk terlepas dari belenggu penjajahan dan hendak membawa rakyatnya menuju ke pintu gerbang kebebsan, menuju keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan agar terwujud sebuah masyarakat yang adil, makmur, damai dan sejahtera.
Pertanyaannya adalah, setelah 61 tahun berlalu dan besok kita memasuki kembali bulan Agustus, sudahkah rakyat di negeri ini meraih kedamaian dan kesejahteraan? Jawabannya tentu saja bisa sudah bisa belum. Mungkin, ada yang mengatakan, “Ya… saya sudah merasa aman, damai dan sejahtera…” Tetapi, itu pasti dari golongan minoritas. Saya yakin, sebagian besar saudara kita menyatakan, “Siapa bilang kita sudah aman, damai apalagi sejahtera…”
Maka, kita akan mahfum jika mayoritas rakyat kita mengatakan bahwa bangsa kita kini masih dalam situasi yang sangat paradoksal, jauh dari cita-cita yang diimpikan founding fathers kita. Tingkat kesejahteraan kian memburuk, tingkat pengangguran masih tinggi, perekonomian secara makro kian terpuruk ditambah bencana yang tak juga ada tanda-tanda berakhir. Mengapa bisa begitu? Banyak sekali argumen tentang mengapa negeri tercinta kita bisa salah urus seperti ini.
Edy Prasetyono, Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS, Jakarta, baru-baru ini menulis di Harian Kompas bahwa perkembangan bangunan negara-bangsa Indonesia sekarang ini dalam kategori mebahayakan. Masyarakat, katanya, gampang bereaksi atas RUU, isu, atau hal-hal yang lain. Beberapa kelompok masyarakat saling berhadapan. Semua menunjuk pada gejala yang sama, “negara tidak hadir”.
Padahal, menurut Edy Prasetyono salah satu alasan dibentuknya negara adalah keamanan. Ini merupakan barang publik (public goods) yang harus diberikan negara kepada masyarakat. Negara dapat menggunakan alat kekerasan secara sah melalui proses demokratis untuk memberi keamanan kepada masyarakat. Tugas dan kewenangan negara ini diberikan oleh rakyat melalui proses politik. Karena itu, sikap diam negara dan alat penegak hukum dalam menyikapi benturan antarkelompok masyarakat dengan fungsi dan atribut yang seharusnya hanya dimiliki negara akan mengancam eksistensi negara itu sendiri. Orang akan mempertanyakan di mana negara saat ini. Mengapa negara seolah membiarkan kekerasan yang dilakukan entitas non-state terhadap kelompok dan individu warga negara lain?
Kedua, ada persoalan lebih besar terkait dengan perubahan watak bangsa kita, menyangkut pembangunan karakter (character building) bangsa yang telah berhenti. Negara (baca: pemerintah) telah salah melangkah dengan mengedepankan terbentuknya generasi cerdas dan pintar, tanpa menghiraukan terbentuknya generasi yang berkarakter, berwatak. Mochtar Buchori, seorang ahli perencanaan pendidikan di negeri ini bahkan mengatakan istilah character building kini sudah klise, kosong, nyaris tidak bermakna. Ketika kalimat itu diucapkan para politisi, birokrat pendidikan, pemimpin organisasi pendidikan sekalipun ungkapan itu tidak lagi meninggalkan bekas apa-apa. “Ketika ungkapan ini diucapkan Bung Karno dulu, oleh Mohamad Said dari Taman Siswa, oleh St Takdir, oleh Soedjatmoko, ungkapan ini meninggalkan bekas yang mendalam di hati saya. Ungkapan ini menghidupkan harapan besar dalam hati saya,” tulis Mochtar di Harian Kompas pekan lalu.
Kini, lanjut Mochtar, kalau dia mendengar orang mengucapkan kata-kata ”character building”, kalimat itu berlalu begitu saja, “Tidak mampir di otak atau hati saya. Apakah character building atau pembinaan watak kini sudah bukan masalah lagi di Indonesia? Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalam konteks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harus dibangun. Ketika disampaikan Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Said, konteksnya adalah pedagogik. Yang dimaksudkan ialah pendidikan watak untuk para siswa, satu demi satu. Bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain menjadi pintar juga menjadi manusia berwatak.” Meminjam istilah Ary Ginanjar Agustian, pencetus metode pelatihan emotional spiritual quotient bahwa sistem pendidikan yang dianut di Indonesia sejak tiga dasa warsa terakhir ini hanya mementingkan tingkat kecerdasan seseorang, menekankan pentingnya IQ. Padahal, sumbangsih IQ atas keberhasilan seseorang dalam berbagai aspek sesungguhnya hanya 6 persen atau maksimal 20 persen.
Hal itu tentu sejajar dengan apa yang katakan Edy Prasetyono maupun Mochtar Buchori bahwa sistem pendidikan kita yang seperti itu telah membentuk karakter bangsa yang kian lemah. Seperti kata Mochtar Buchori, masalah character building di Indonesia adalah isu besar, bahkan amat besar. Semua kebobrokan yang kita rasakan kini lahir dari tidak adanya watak yang cukup kokoh pada diri kita bersama. Watak bangsa rapuh dan watak manusia Indonesia mudah goyah.
Jadi, seperti kata Mochtar Buchori, kita rupanya harus mulai kembali membangun watak bangsa dari tataran paling rendah. Dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi ialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ini trilogi klasik pendidikan yang oleh Ki Hajar diterjemahkan dengan kata-kata cipta, rasa, karsa atau oleh Ary Ginanjar pembangunan watak itu dimulai dari kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan baru kecerdasan intelektual. o

Rabu, 03 Desember 2008

Kesewenangan dan hukum rimba dunia pendidikan kita…

Pagi itu masih sekitar pukul 05.30 WIB. Dari perumahan Mojosongo, Jebres, Solo, semburat sinar Matahari di ufuk timur masih berwarna merah jingga. Tapi salah seorang warga di sana yang kesehariannya berprofesi sebagai penambal ban sepeda motor, sudah harus bangun melayani pelanggannya.
“Nyuwun sewu lhe Pak, saya bangunkan. Ban motor saya bocor, mau buat ngantar anak-anak ke sekolah,” kata Mas Wartonegoro, pelanggannya, masih krenggosan setelah menuntun sepeda motornya hampir 500 meter dari rumah.
“Ya gak papa Mas, lha wong kerjaan saya memang begini ini. Ini semua kan buat anak-anak ta? Saya juga harus kerja keras banting tulang untuk membiayai sekolah anak-anak. Sekolah kok ya tambah mahal saja ta Mas. Yang beli seragam, yang beli buku yang ini yang itu, pusing saya Mas,” kata pak penambal ban itu nerocos, berkeluh kesah.
Baru saja dia berhenti berbicara, tiba-tiba anak perempuannya yang sudah siap berangkat ke sekolah itu berteriak, “Pak… bayar buku seket wolu ewu. Dina iki terakhir,” teriaknya.
“Walah nduk… nduk, kemarin kan baru saja membayar Rp 200.000 ta? Lha duit dari mana? Bapakmu ini cuman tukang tambal ban…” jawab sang bapak dengan suara meninggi.
“Ya emboh Pak. Pak guru ngomongnya begitu,” jawab sang anak tak mau tahu tentang kesulitan orangtuanya.
“Ya sudah, pakai uang kulakan bensin dulu saja,” kata sang ibu menengahi dialog antara bapak-anak yang mulai memanas itu.
Mas Wartonegoro hanya bisa ikut merasakan kegundahan pak penambal ban, betapa kian sulitnya menjalani hidup dari hari ke hari, terlebih bagi orang-orang kelas bawah seperti pak penambal ban itu.
Jangankan bagi penambal ban yang pendapatannya tak menentu. Kawan sekantor Mas Wartonegoro, Denmas Suloyo, yang berpendapatan tetap dan jauh di atas pak penambal ban tadi saja masih berkeluh kesah tentang biaya pendidikan kedua anaknya yang tak bisa ditawar-tawar.
“Pokoknya biaya sekolah sekarang edan-edanan, terutama soal buku itu lho. Katanya tidak ada paksaan, tapi kenyataannya anak-anak ya takut kepada pak guru kalau tidak membeli. Waktu saya dulu sekolah, rasanya kok tidak sesulit sekarang ini ya. Dunia pendidikan sekarang sepertinya kok mengabaikan misi idealnya, mereka sekarang lebih berfungsi sebagai lembaga bisnis,” kata Denmas Suloyo grenengan.
Isu soal imbas diberlakukannya PSB Online bagi para guru yang tahun ini mendadak kehilangan “pendapatan tambahan” pun merebak. Padahal kebutuhan hajat hidup para guru dari hari ke hari juga terus bertambah. Kapitalisme di berbagai bidang telah mendorong semua lapisan masyarakat ikut larut menjadi manusia konsumtif.
Begitulah. Berbagai kritik tentang betapa sistem pendidikan kita akhir-akhir ini kian tak tentu arah, seolah bukan merupakan masalah. Bisa jadi benar pendapat Doni Koesoema A, seorang mahasiswa jurusan Ilmu Pendidikan dan Pengembangan Profesional Universitas Salesian, Roma yang menuliskan gagasannya di Harian Kompas pekan lalu bahwa kesewenang-wenangan sekolah menarik dana pendidikan dari masyarakat saat ini sudah pada taraf mengkhawatirkan. Banyak orangtua mengeluhkan biaya besar yang harus dibayar untuk sumbangan pengembangan institusi.
Kata dia, otonomi pendidikan tampaknya baru dipahami sekadar sebagai otonomi untuk memungut dana dari orangtua. Orangtua pun tak berdaya. Mereka tidak bisa marah sebab anak harus sekolah. Mereka pasrah meski dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak mampu membayar uang sekolah.
Kita paham, bahwa jer basuki mawa bea. Menarik dana pendidikan dari masyarakat merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya tergantung dari dana masyarakat. Namun, kata Doni, proses ini menjadi tidak wajar saat lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar orangtua terhadap kebijakan sekolah. Apalagi kalau sekolah itu negeri.
Kita sependapat dengan Doni tentag otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan yang akhirnya akan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya kian berjaya. Yang miskin kian tak berdaya.
Sistem pendidikan yang tak tentu arah itu seolah berlaku di semua strata pendidikan, SD, SMP, SMA hingga di tingkat perguruan tinggi. Sepuluh tahun lalu, antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) boleh disebut sebagai mitra yang saling melangkapi. PTN adalah lembaga pendidikan tinggi yang sangat berwibawa sekaligus bersahaja karena fungsinya yang benar-benar menekankan diri sebagai lembaga sosial bukan bisnis.
PTS pun dilihat sebagai lembaga pendidikan tinggi yang sangat diperhitungkan dan disegani karena mereka mampu mengembangkan diri sebagai sebuah institusi pendidikan yang tak tampak semata-mata sebagai sebuah lembaga bisnis. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir ini, antara PTN dan PTS bagaikan “musuh” jika tidak boleh disebut sebagai saingan bisnis.
Situasi yang terjadi dalam sistem pendidikan tinggi kita saat ini bagaikan dalam kerangka hukum rimba. Siapa yang kuat, maka dia yang akan menang. Yang lemah, silakan sekarat secara pelahan atau mati mendadak. Contoh riil yang selalu muncul adalah, betapa PTS sekarang ini mayoritas sudah tak berkutik karena “kerakusan” yang boleh dilakukan oleh PTN-PTN dalam menjaring mahasiswa.
Ketika pengelola PTS kelabakan memburu mahasiswa, PTN dengan leluasa menyedot mahasiswa dengan beragam program dan kesempatan. Jika tak lolos dari PSB atau PMDK, masih ada diploma, atau program ekstensi dan bahkan program swadana. Inilah sebagian kecil sistem pendidikan kita yang tak sehat dan mestinya segera menjadi perhatian serius pemerintah. o

Jadi pemimpin lewat iklan…

Medio tahun 2003, dua orang pakar periklanan dari Amerika Serikat Al Ries dan Laura Ries meluncurkan buku marketing yang menghebohkan The Fall of Advertising and The Rise of PR, atau kalau diterjemahkan bebas kira-kira bermakna “Matinya Iklan dan Naik Pamornya Kehumasan”. Dengan kata lain, dua orang bapak-anak pemilik biro iklan Ries Cappiello Colwell di New York ini ingin mengatakan bahwa era beriklan sudah berakhir, masa iklan telah selesai. Mem-branding produk akan efektif jika lewat public relations, masa kehumasan telah datang.
“Jadi, apa benar iklan sekarang sudah tidak penting... nggak bakal ngefek apa pun,” pertanyaan itu mendadak dilontarkan Radenmas Suloyo kepada karibnya Mas Wartonegoro.
“Halah, sampeyan menyimpulkan teori seperti itu atas informasi dari siapa?” jawab Mas Wartonegoro agak terheran-heran mendapati sahabatnya memperoleh referensi bacaan fenomenal tadi.
“Kan mantan pak dosen jenengan juga yang berceritera. Kata beliau sekarang ini tak penting beriklan, karena kata beliau, era beriklan (di media massa) sudah berakhir. Iklan sudah mati, sudah jatuh pamor. Yang penting sekarang adalah ke-public relation-an. Itu dikatakan pak dosen sampeyan sambil menunjukkan buku ini ketika saya mau pasang iklan di koran,” papar Denmas Suloyo, seperti biasa, berapi-api.
Rupanya, Denmas Suloyo hendak membranding dirinya ke khalayak setelah namanya secara resmi tercantum ke dalam daftar calon tetap anggota legislatif. “Saya kasih tahu ya Denmas, di Indonesia iklan belum mati, iklan belum berakhir. Masyarakat kita masih terpesona dengan iklan. Mau bukti, itu para tokoh partai masih berlomba-lomba mengiklankan dirinya di berbagai media massa,” kata Mas Wartonegoro.
Begitulah. Di negeri kita tercinta, teori tentang “iklan sudah mati” seperti yang dipaparkan Al Ries dan Laura Ries ternyata tidak sepenuhnya benar. Termasuk untuk iklan politik. Survei yang dilakukan berbagai lembaga independen di negeri ini membuktikan bahwa tokoh-tokoh maupun Parpol di Indonesia masih gencar beriklan untuk membujuk para calon pemilihnya. Dalam buku Iklan dan Politik tulisan Budi Setiyono (2008) menyebut data ACNielsen pada Pemilu 1999 dana belanja iklan 41 partai politik mencapai Rp 35,6 miliar. Partai Golkar mengalokasikan dana paling besar yakni Rp 13,3 miliar, disusul PDI-P (Rp 7,5 miliar), dan Partai Republik dengan pengeluaran Rp 3,4 miliar.
Pada Pemilu Legislatif 2004, pengeluaran iklan partai-partai politik melonjak menjadi Rp 112,2 miliar untuk periode Maret 2004. PDI-P mengeluarkan dana terbesar, yakni Rp 39,25 miliar. Partai Golkar di urutan kedua dengan pengeluaran Rp 21,7 miliar. Sementara untuk pemilihan presiden, dana belanja iklan politik mencapai Rp 180 miliar (Hal 328). Untuk Pemilu 2009 mendatang, bisa kita saksikan betapa besarnya belanja iklan Parpol dan calon presiden ditandai dengan gencarnya iklan mereka di media massa.
Hasil dari iklan itu, nyatanya juga tidak mengecewakan. Survei paling mutakhir berbagai lembaga penelitian memperlihatkan bahwa popularitas mereka yang beriklan, seperti Prabowo, Sutrisno Bachir dan lainnya melonjak lumayan signifikan. Jadi, iklan memang belum mati di Indonesia. Bahkan, nyatanya di Amerika pun belanja iklan Barack Obama menghabiskan dana senilai US$4 juta (Rp 42,4 miliar) hanya untuk kampanye penutupan dalam iklan politik eksklusif di televisi (SOLOPOS, 31/10) .
Tentu saja lain Amerika lain Indonesia. Apalagi jika diperbandingkan antara Mr Obama dengan Denmas Suloyo, jelas kelasnya jauh berbeda. Iklan di media, tentu bukan satu-satunya yang dilakukan Obama. Dalam “memasarkan” dirinya, Presiden ke-44 AS ini tentu memiliki kualitas prima dan telah dirintis sejak lama. Branding yang dilakukannya benar-benar lewat beragam cara, integrated marketing communications. Tim public relations (PR) yang hebat, dibarengi kualitas orang yang hendak dijual juga hebat.
“Nah, kalau di sini Denmas... saya kira sampeyan kerep beriklan di koran saja, Insya Allah panjenengan bisa terkenal dan nanti laku di bursa politik,” kata Mas Wartonegoro ngeyem-yemi karibnya yang nyalon sebagai Caleg No 15, PDLY alias Partai Demokrasi Lah Yauw itu.
Dalam The Fall of Advertising and The Rise of PR karya Ries dijelaskan bahwa sukses pemopuleran sebuah merk (branding), akan lebih mudah dibangun melalui pendekatan PR, bukan periklanan (advertising ). Argumentasinya yang dilakukan iklan selama ini, tak lebih dari sekadar cara untuk mengungkapkan segala sesuatu yang baik semata (dalam istilah Ries, “ … advertising can only defend brand ..”).
Sementara, PR merupakan skenario terpadu untuk membangun sebuah pemahaman, atau bahkan mengubah persepsi.
Periklan menurut Ries menuju kekeruntuhan karena dalam pemasaran periklanan miskin kredibilitas, suatu unsur yang maha dahsyat pentingnya untuk dapat membangun kepercayaan konsumen atau publik pada umumnya terhadap suatu merk, sedangkan strategi PR dapat menciptakan kredibilitas itu.
Namun, bagi Indonesia, teristimewa bagi para calon pemimpin kita yang sedang membranding dirinya, termasuk Denmas Suloyo salah satunya, tak perlu pusing dengan soal kredibilitas, kualitas maupun kapasitasnya. Yang penting sering muncul di televisi atau koran dengan wajah tampan, senyum meyakinkan, menebarkan pesona, hidup mapan maka peluang menjadi pemimpin hanya melalui iklan bukan sebuah keniscayaan...
Tentu saja, inilah yang sesungguhnya menjadi soal. Ketika para calon pemimpin hanya mengandalkan iklan sebagai alat untuk menarik massa, memopulerkan diri sementara kapasitas, kredibilitas atau akuntabilitas mereka tidak jelas maka akan rugilah masyarakat pemilih. Mereka akan merasa tertipu karena iklan yang sering kali menampilkan opini subyektif atau kalau pun fakta, fakta yang telah dimanipulasi.
Lantas bagaimana menyikapi fenomena menjadi pemimpin lewat iklan ini? Rakyat pemilih sendirilah yang harus jeli, masyarakat harus cerdas, jangan sampai salah pilih hanya gara-gara terpikat oleh kemasan yang indah dan mengkilat padahal produk yang mereka pilih ternyata tidak berkualitas. Di sisi lain, calon pemimpin yang beriklan hendaknya juga menyadari tentang tingkat kecerdasan mayoritas masyarakat sehingga ketika mempromosikan dirinya masih rasional, tidak manipulatif, tidak menipu dan masih dalam batasan etika. Jika tidak, maka celakalah negeri ini... dipimpin oleh pejabat yang populer karena iklan bukan karena kredibilitas, kualitas dan komitmen yang sesungguhnya... q

Negeri belantara preman…


Preman sedang jadi bintang di negeri ini. Mereka menjadi buah bibir berbagai kalangan. Jika dalam sebulan terakhir ini yang disasar polisi adalah para preman jalanan, pembicaraan masyarakat yang berkembang sudah meluas ke beragam kategori preman.
Ada yang mempertanyakan preman berdasi, preman berseragam, preman alusan, beking preman, bosnya preman, Ormas preman dan sebagainya yang menurut mereka mestinya juga diberantas.
”Yang ditangkapi polisi itu kan hanya preman-preman kelas jalanan ta Mas, kelas teri. Lha yang mengancam, memeras para pengusaha tetapi memakai seragam resmi itu kan juga preman. Mereka mestinya juga ditangkapi,” kata Denmas Suloyo membuka pembicaraan di warung hik sudut kampung bersama saya dan Mas Wartonegoro.
”Sampeyan kok sajak sewot gitu ta Denmas. Memangnya punya teman preman?” tanya Mas Wartonegoro.
”Bukan begitu Mas. Kan kalau polisi memberantas kejahatan hanya bagian ranting-rangtinya begitu kan tidak efektif, itu hanya gerakan instan, tindakan mak benduduk, hangat-hangat tahi ayam. Beda kalau akarnya yang langsung dipangkas, kan beres. Jadi menurut saya ya para beking preman, para pengguna jasa preman, para bos preman dan pejabat yang bertindak preman itu juga harus ditangkapi. Wong sudah menjadi rahasia umum, negeri kita ini kan sebenarnya belantara preman…” kata Denmas Suloyo seperti biasanya, berapi-api.
”Tetangga saya di Jebres, Koh Sing Sing Wae yang pengusaha material bangunan itu malah dipaksa setor uang ke berbagai pihak. Karena truk pengangkut barangnya masuk jalan kelas dua, dia harus setor uang ke banyak petugas berseragam. Kalau mengambil setoran bapak-bapak berseragam ini bahkan tak sungkan-sungkan bawa mobil patrolinya sampai di depan gudang. Mereka ini kan juga berkategori preman Mas. Belum lagi dia harus ngopeni preman-preman kampung yang juga minta jatah. Kalau tidak diberi… mereka bisa-bisa ngamuk,” tambah Denmas Suloyo dengan nada lebih tinggi.
Sebelum Denmas Suloyo lebih makantar-kantar, Mas Wartonegoro ingin memperjelas soal kata preman yang dibahas karibnya itu. Kata dia, mengutip ensiklopedia dunia maya Wikipedia, premanisme berasal dari kata bahasa Belanda vrijman yang berarti orang bebas, merdeka dan isme adalah aliran.
Sedangkan makna preman di Indonesia kemudian berkembang menjadi orang atau sekelompok orang yang sesuka hati, sebebas-bebasnya memperoleh penghasilan dengan cara memeras, mengancam orang lain.
Disimpulkan juga bahwa fenomena preman di Indonesia itu berkembang akibat kondisi ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan secara gampang, yaitu melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Contoh preman di terminal bus yang memungut pungutan liar dari para sopir, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap keselamatan sopir dan kendaraannya di terminal. Para pedagang kaki lima juga harus setor ke sekelompok orang yang katanya sebagai penjaga keamanan, kalau tidak setor... ya dagangannya dirusak oleh sekelompok orang itu juga.
”Benar juga pendapat sampeyan Denmas. Preman, kalau memang diartikan sebagai orang yang mencari penghasilan dari pungutan liar, memeras dan mengancam, sesungguhnya bukan hanya mereka yang di jalanan yang melakukan. Di tingkat birokrasi negara nyatanya juga banyak preman. Anggota dewan yang minta uang kompensasi untuk pembebasan lahan, pejabat yang minta fee ke pengusaha untuk pengadaan barang dan –ini yang lebih mengerikan alias mbah-nya preman, yaitu aparat keamanan yang meminta setoran dari preman di jalanan alias bekingnya preman… mereka-mereka ini kan juga preman sejati malahan,” kata Mas Wartonegoro.
”Nah, benar kan. Karena itu pak polisi memang sebaiknya tidak tebang pilih. Kalau sekiranya sekarang sedang gencar melaksanakan pemberantasan preman, semua preman yang hampir ada di semua sektor kehidupan di negeri ini juga harus diberantas. Itu baru namanya gerakan pemberantasan preman yang sesungguhnya. Rakyat pasti akan mendukung, karena semua aksi premanisme ujung-ujungnya yang menjadi korban terakhir pasti rakyat jelata seperti kita-kita ini kan Mas. Negeri kita ini bagaikan belantara preman ya,” tambah Denmas Suloyo.

Meluas
Begitulah. Apa yang disimpulkan Denmas Suloyo dan Mas Wartonegoro rasanya memang tak berlebihan. Dalam deklarasi Gerakan Anti Premanisme yang digelar sejumlah tokoh masyarakat, rohaniwan, artis, budayawan, aktivis LSM, jurnalis, kelompok minoritas, dan juga anggota masyarakat yang menjadi korban premanisme dan kekerasan, isteri Gus Dur Sinta Nuriyah Wahid menilai mobilisasi dan aksi premanisme yang dilakukan kelompok massa tertentu, baik yang berbasis sentimen kedaerahan, agama, politik, ataupun kepentingan ekonomi tertentu semakin meluas dan mengintimidasi masyarakat terutama kelompok minoritas dan yang termarjinalkan.
Padahal di sisi lain, aksi premanisme yang dilakukan organisasi massa tertentu itu, menurut Sinta, justru mencerminkan sekaligus menunjukkan adanya produk-produk kebijakan pemerintah yang gagal, bentuk pemerintahan yang buruk dan korup, serta ketidakjelasan dan ketimpangan dalam pemerintahan sendiri.
Lantas bagaimana dengan program pemberantasan preman yang diagendakan Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri sejak dia dikukuhkan sebagai Kapolri beberapa waktu lalu itu? Tentunya kita berharap itu terus dilanjutkan. Semoga saja gerakan itu diperluas ke berbagai sektor kehidupan bermasayarakat kita. Memeras, menodong dan mengancam di negeri ini nyatanya bukan hanya dilakukan orang-orang di jalanan.
Premanisme tampaknya bahkan telah menjadi gerakan yang sangat terorganisir rapi. Karenanya, pemberantasan preman yang kini sedang dilakukan aparat kepolisian juga harus terorganisasi, sistematis dan tidak sepotong-potong serta dilaksanakan secara berkesinambungan sehingga upaya menciptakan kenyamanan dan kemananan masyarakat benar-benar tercapai. q

Selasa, 02 Desember 2008

Membangun pers dengan integritas...


9 Februari pekan lalu, insan pers di Indonesia, khususnya mereka yang menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), baru saja memperingati Hari Pers Nasional dan HUT ke-61 PWI. Tak heran kalau Kangmas Watonegoro yang pekerjaan sehari-harinya kulak rungu adol warta itu, Minggu kemarin ngglenik soal peran dan fungsi pers dengan kanca kenthel-nya, Denmas Suloyo.
Soalnya, baru-baru ini Mas Wartonegoro mengaku baru saja dibuat tersinggung oleh pernyataan seorang pejabat lokal terkait dengan bidang kerja yang dicintainya itu. “Bagaimana tidak tersinggung, pejabat itu menuduh lembaga pers tempat saya bekerja telah membuat berita tanpa konfirmasi, menulis berita tanpa ada sumber berita dan kami dituduh telah melakukan pembohongan kepada publik...”
"Itu penting ya buat sampeyan?” tanya Denmas Suloyo.
“Loh... penting sekali. Itu tuduhan yang sangat serius Denmas. Kami betul-betul tersinggung, karena sebagai pekerja profesional kami tidak mungkin merendahkan diri dengan bekerja serampangan tanpa memperhatikan kode etik profesi dan kaidah jurnalistik yang berlaku. Kami punya integritas,” papar Kangmas Wartonegoro kepada teman ngobrolnya Denmas Suloyo.
“Lha integritas itu apa ta Mas…?” tanya Denmas Suloyo.
“Integritas itu soal reputasi, citra baik, kewibawaan dan soal kejujuran. Dan masalah ini bagi sebuah koran menjadi sangat penting,” jawab Kangmas Wartonegoro.
“Begitu ya…?”
“Iya begitu, soalnya selain ini terkait dengan idealisme, bisnis kami ini juga menyangkut soal kepercayaan publik. Kalau kami dianggap berbohong, itu kan sama artinya menghina kami,” kata Mas Wartonegoro menggebu-gebu.
“Begitu ya...?”
“Iya begitu...” jawab Mas Wartonegoro yang kemudian menuturkan soal teori jurnalisme yang ndakik-ndakik bahwa dalam bidang ini, kebenaran menjadi sesuatu yang sangat sakral dan penting. Sebab tugas utama pers adalah mencari dan menampilkan kebenaran.
Bahkan, kata Mas Wartonegoro yang masih belum puas ngudarasa, demi sebuah integritas dan martabat institusi pers harus berani mengembil risiko terbesar kehilangan penghasilan. “Memang benar, pers masa kini tak akan hidup jika tidak ada iklan. Namun jika pers ditekan demi sebuah iklan, jurnalis harus berani bersikap. Manajemen media massa yang profesional adalah yang mampu membedakan antara berita, opini dan iklan karena pada dasarnya isi penerbitan pers itu ya tiga hal tersebut.”
Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dua orang pakar komunikasi massa mengemukakan bahwa terdapat sembilan elemen jurnalisme yang menjadi tolok ukur bagi benar atau tidaknya kerja para jurnalis ketika mengungkap kebenaran dari sebuah fakta. Kesembilan elemen jurnalisme itu menyangkut soal kebenaran yang harus dicari terus menerus, keberpihakan kepada masyarakat, selalu melakukan verifikasi, bersikap independen, menjadi pengawas serta memantau kekuasaan, sebagai forum publik yang menampung segala pendapat, gagasan, kritik dan saran, jurnalisme harus ditampilkan secara memikat dan relevan, berita yang ditampilkan haruslah proporsional dan komprehensif serta selalu mendengarkan hati nurani.
Lantas bagaimana substansi kebenaran dalam jurnalisme seperti yang dipaparkan Kovack dan Rosintiel itu? Menurut mereka, kebenaran dalam jurnlistik adalah kebenaran fungsional. Hal ini perlu dipertanyakan, mengingat kebenarn seringkali tampil secara subyektif. Kebenaran yang mana? Bukankah kebenaran bisa dipandang dari kacamata berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat memiliki konsep “kebenaran” dengan dasar pemikiran yang berbeda-beda. Lantas kebenaran menurut siapa? Wartawan toh memiliki latar belakang sosial, agama, etnis kewarganegaraan yang berbeda-beda.
Nah, terkait dengan pertanyaan itu Bill Kovach dan Tom Rosentiel menyebut bahwa kebenaran dalam jurnlistik adalah kebenaran yang secara terus menerus dicari. Kebenaran fungsional, diibaratkan seorang polisi yang melacak dan menangkap tersangka. Hakim menjalankan peradilan juga berdasar kebenaran fungsional. Pabrik diatur, pajak dikumpulkan, hukum dibuat, ilmu fisika, kimia, sejarah diajarkan guru dan sebagainya semua adalah kebenaran fungsional.
Kebenaran itu, kata Kovack dan Rosintiel senantiasa bisa direvisi. Terdakwa bisa bebas karena terbukti tak bersalah. Hakim bisa keliru. Pelajaran fisika, biologi, bisa salah. Hukum ilmu alam pun bahkan bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam arti filosofis, tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Kebenaran dibentuk melalui proses berlapis-lapis, kebenaran dibentuk hari demi hari. Ibarat stalagmit, tetes demi tetes kebenaran membetuk stalagmit kebenaran yang besar.
Karena itu kebenaran harus dibangun oleh jurnalis profesional yang memiliki komitmen tinggi. Diperlukan pribadi yang jujur, bertanggung jawab, disiplin, visioner, mau bekerja sama, adil dan peduli. Mengutip Duane Bradley, seperti tertulis dalam The Newspaper - ints Place in a Democracy (Wartawan & KEJ, Rosihan Anwar-1996), wartawan yang baik harus memiliki sejumlah aset atau modal. Yaitu pengetahuan, rasa ingin tahu, daya tenaga dan hidup (vitalitas), nalar berdebat, bertukar pikiran, keberanian, kejujuran dan keterampilan bahasa serta integritas yang mendalam.
Nah, dalam suasana yang masih kental dengan perayaan Hari Pers Nasional seperti sekarang ini, alangkah baiknya jika semua kalangan kian memahami betapa pentingnya peran media massa saat ini. Begitu juga sebaliknya, insan pers hendaknya semakin menyadari posisinya sebagai bagian dari civil society, sebagai pilar keempat demokrasi. Oleh karenanya, jika pers telah melencengkan diri dari fungsi sejatinya maka demokrasi itu secara pelahan namun pasti akan runtuh dan kita sadar mengenai hal itu, sehingga sikap profesional dengan terus menjaga integritas merupakan pilihan yang tidak bisa diganggu gugat. q

Senin, 01 Desember 2008

Pemimpin berakhlak mulia…


Pulang dari kuliah Subuh, Denmas Suloyo hari Minggu kemarin ngecuprus berkeluh kesah kepada Mas Wartonegoro soal kecelakaan ringan yang baru saja dia alami. “Lha ora tiba-nangi pripun ta Mas, jalan yang menuju kampung saya itu tambah parah saja, lubangnya sampai sak kebo-kebo. Padahal desa-desa sebelah hampir semuanya sudah diperbaiki. Ini kayaknya ada unsur kesengajaan Bupati Mas, soalnya wilayah saya ini waktu Pilkada tidak mendukung dia,” kata Denmas Suloyo seperti biasanya mulai menerka-nerka.
“Ah sampeyan ini kok sukanya su’udzan. Ini puasa lho, nanti batal puasanya,” kata Mas Wartonegoro.
“Wah, lha saya ini bercerita soal realitas, fakta kok Mas. Fakta bahwa suara untuk Bupati yang sekarang itu di desa saya kalah mutlak, kami dulu tidak mendukung dia. Realitas bahwa jalan desa kami ini sekarang tak kunjung diperbaiki, padahal rusaknya sudah parah. Sudah berapa orang yang jatuh bangun dan tabrakan gara-gara jalan berlubang itu, termasuk saya,” jawab Denmas Suloyo nerocos.
“Lho bukan soal realitasnya, tapi soal berprasangka itu tadi lho bahwa belum dibangunnya jalan itu karena kesengajaan. Apa sampeyan pernah konfirmasi ke Bupati?” kata Mas Wartonegoro.
“Ya memang belum. Cuma ini kan sudah menjadi rahasia umum kalau Bupati kita itu suka balas dendam. Ini juga fakta bahwa para pegawai negeri yang dulu tidak mendukung dia, sekarang juga dikucilkan, tak diberi jabatan atau malah dimutasi ke daerah terpencil yang bikin tak krasan,” tambah Denmas Suloyo makin berapi-api.
“Ah itu kan manusiawi ta Denmas. Itu namanya risiko dari sebuah pilihan. Kalau sekarang Bupati sampeyan itu rada anyel kepada desa Anda, ya diterima saja. Kalau sekarang Bupati sampeyan itu ‘membuang’ orang yang tidak mendukungnya, ya mereka harus lapang dada,” kata Denmas Wartonegoro.
“Wah lha nggak bisa begitu dong Mas. Mentang-mentang berkuasa terus sewenang-wenang, adigang adigung adiguna... sapa ira sapa ingsun. Seorang pemimpin mestinya bersikap demokrat, tidak otoriter dan pendendam begitu. Ini kan persoalan berbangsa dan bernegara Mas, bukan masalah pribadi. Mas dokter tetangga saya itu sampai stres gara-gara dipindahtugaskan ke wilayah yang sangat jauh, hanya karena dia beda ideologi politik. Sebagai seorang pemimpin, tidak bisa begini dong Mas,” kata Denmas Suloyo tambah sewot.
“Wah benar juga ya kata sampeyan Denmas. Seorang pemimpin mestinya adalah seorang demokrat sejati, berakhlak mulia yang tidak membedakan dia dulu pendukung atau bukan. Seperti kata Pak Ustad yang berceramah tentang keteladanan kepemimpinan Nabi Muhammad tadi ya Denmas...”
“Ya seharusnya begitu... demokrat yang saya maksud itu adalah orang yang benar-benar mengerti tentang paham demokrasi, paham bagaimana berdemokrasi dalam bernegara ini,” imbuh Denmas Suloyo.
Keduanya memang baru saja terkesima mendengarkan penceramah kuliah Subuh di mesjid kampung mereka yang menceritakan betapa seorang pemimpin itu mestinya mengikuti teladan yang pernah dilakukan Nabi. Pak ustad bertutur, bahwa pada suatu ketika di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis buta yang setiap hari selalu berkata kepada tiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”
Namun setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat. Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis buta itu.
Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain merupakan isteri Rasulullah SAW. Dia bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku Muhammad yang belum aku kerjakan?“
Aisyah menjawab,”Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu hal.”
“Apakah Itu?” tanya Abubakar.
“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar membawakan makanan untuk pengemis buta yang ada di sana,” kata Aisyah.
Keesokan harinya Abubakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu?”
“Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).”
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia suapkan padaku,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”
Seketika pengemis buta itu pun menangis, tersungkur... mendengar penjelasan Abubakar RA. “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, betapa dia pemimpin besar yang begitu mulia.... “ q

Pejabat di antara tajamnya pena & pedang…

Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat ketiga mengatakan, “Saya memilih memiliki pers tanpa negara, daripada negara tanpa pers” sementara Napoleon Bonaparte bilang, “Saya lebih takut pada sebuah pena daripada seratus meriam” dan Winston Churchill menyebut, “Pena lebih tajam daripada pedang....”
Kalimat hiperbola para tokoh besar dunia itu bermakna bahwa ada peran yang sedemikian besar bagi media massa dalam ranah publik. Pedang yang secara fisik adalah senjata tajam pun digambarkan kalah tajam dibanding pena yang merupakan manifestasi dari pers. Media digambarkan seolah bisa menjadi “pedang pembunuh” dan “meriam pembantai”.
Barangkali karena pencitraannya yang seolah ngedap-edapi itulah, kantor kalawarti tempat Mas Wartonegoro bekerja dalam beberapa pekan terakhir ini silih berganti dikunjungi para calon pejabat publik, para priyagung calon anggota legislatif yang tahun depan bakal memperebutkan suara masyarakat agar bisa duduk di kursi dewan. Bagi mereka yang sadar akan pentingnya komunikasi publik dalam berbangsa dan bernegara, maka tidak ada salahnya jika mereka ingin tahu lebih detil tentang apa sesungguhnya peran dan fungsi media massa.
Sekalipun demikian, nyatanya, masih banyak pula pejabat publik yang menganggap pers justru sebagai lembaga pengganggu kinerja birokrasi bahkan dianggap tidak penting. Malah Mas Wartonegoro sempat terkejut sekaligus tersenyum kecut ketika suatu hari bertemu dengan seorang pejabat publik di Soloraya yang berkata, “Siapa bilang pena lebih tajam daripada pedang, menurut saya... pedang tetap bisa lebih tajam daripada pena...”
“Wah, saya benar-benar kaget Denmas ketika beliau yang pejabat publik berpengaruh itu berkata demikian kepada saya dan kawan-kawan wartawan. Ini bisa saya artikan sebagai sebuah ancaman. Sebagai pekerja pers, tentu saja saya waswas. Jangan-jangan kalau pena kami menulis berita kritis terlalu tajam, beliau benar-benar membuktikan bahwa pedangnya lebih tajam kalau digoreskan di tubuh kami,” cerita Mas Wartonegoro kepada kawan ngudarasa-nya Denmas Suloyo dan saya belum lama ini.
“Ah masak ada pejabat sepenting beliau berkata senaif itu?” tanya Denmas Suloyo setengah tidak percaya.
“Ya begitulah kenyataannya. Dia benar-benar berkata demikian dan tidak hanya sekali pak pejabat itu bilang seperti itu. Ini kan berbahaya, bukan begitu Mas?” tanya Mas Wartonegoro menegaskan kepada saya.
Saya pun hanya manthuk-manthuk. Karena sebagai seorang praktisi jurnalistik, yang saya pahami tentang makna “pena lebih tajam dari pedang” adalah kalimat kiasan, sebuah ungkapan yang bukan makna sebenarnya. Bagi orang yang mempunyai daya nalar tinggi, cerdas dan intelek, kalimat perumpamaan tersebut mestinya tidak diartikan secara harfiah. Kalau dalam makna sesungguhnya, mana ada sih pena lebih tajam dari pedang. Kecuali kalau pedangnya memang sudah kethul tur teyengen... atau yang berkata demikian adalah seorang barbar, penguasa tiran.
Pena adalah alat tulis yang digunakan para wartawan untuk mengungkapkan realitas empiris ke dalam realitas media. Ketika realitas sosial kemasyarakatan yang ditulis wartawan itu mengkritisi kebijakan yang menyangkut kepentingan publik dan “menyerang” seorang pejabat, maka pena itu ibarat pedang yang mampu “menebas” keputusan pejabat yang oleh publik dinilai keliru. Di sinilah sebenarnya salah satu peran penting pers, sebagai alat pengontrol.
Wartawan adalah orang yang menjalankan fungsinya sebagai pengemban amanat masyarakat atas peran media massa. Dalam teori jurnalistik, media massa seperti koran memiliki fungsi pemberi informasi, menghibur, pempersuasi pembaca, sebagai alat transformasi budaya dan juga menjadi alat kontrol atau pengawas atas kepentingan publik. Peran media massa yang sangat terkait dengan kepentingan publik inilah yang sering kali mengganggu “kepentingan” pejabat sehingga pena para wartawan diibaratkan bagai pedang.
Dengan fungsi pentingnya seperti itu, lembaga media massa profesional harus mampu mengakomodasi semua pihak, bertanggung jawab, memegang teguh etika, etiket dan moral serta bertindak adil untuk semua orang. Tugas seperti inilah yang membuat seorang wartawan harus selalu membela kebenaran dan bersikap egaliter. Karenanya, reputasi, nama baik dan kepercayaan dari masyarakat menjadi sangat penting bagi seorang wartawan. Wartawan yang berintegritas, yang senantiasa berpikir bahwa pekerjaannya adalah untuk kepentingan publik, penanya akan diasah menjadi setajam pedang.
Dr Effendi Gazali, Koordinator Program Master Komunikasi Politik Universitas Indonesia, pada salah satu artikelnya pernah menyebutkan bahwa dalam hukum komunikasi publik, ratusan pakar—mulai dari yang klasik sampai Middleton (2007)— peran pokok media massa adalah selalu memerhatikan kepentingan publik serta keterlibatan publik. Kepentingan publiklah yang menjadi alasan tak terbantahkan sepanjang zaman, yang membuat pers bisa melakukan laporan investigatif!
Dengan alasan itu pula, menurut Effendi, terhadap suatu obyek: yaitu pejabat publik, hampir semua hukum media di berbagai negara membebaskan pers untuk mempersoalkan mereka setiap saat sejauh menyangkut kepentingan publik. Konsekuensinya, semakin tinggi posisi pejabat publik, semakin sering dan semakin banyak media siap melakukan investigasi terhadapnya. Itulah risiko, konsekuensi dari status seseorang sebagai pejabat publik.
“Kalau dulu basis ilmunya cuma name makes news, sekarang sudah benar-benar paralel dengan konstruksi realitas bahwa setiap ulah pejabat publik pasti berimplikasi pada kepentingan publik. Bahkan konteksnya pun berkembang sedemikian rupa sehingga seorang pejabat publik yang dianggap melakukan kebohongan dan merugikan publik tidak hanya akan dicecar di negaranya, tetapi juga oleh media pada tataran global!” tandasnya.
Jadi, kalau ada pejabat publik yang merasa terganggu atau bahkan terancam dengan peran pers dalam menjalankan fungsinya bisa jadi dia tengah berada di jalan yang tidak lurus, tidak benar atau salah dalam menjalankan amanah. Jangan salahkan pers, jika kebijakan yang merugikan publik itu kemudian menjadi “komoditas” pemberitaan. Karena dalam kehidupan berdemokrasi, pers adalah pilar keempat. Penanya, bisa jadi lebih tajam dari pedang...[]

Dislenthik Gusti Allah…

Saya ikut larut dalam suasana sedikit haru di rumah Mas Wartonegoro pekan lalu, ketika Raden Mas Suloyo dengan raut muka sajak memelas menemui kawan ngobrolnya itu. “Oalah Mas Warto, akhirnya pulang juga sampeyan. Wah sudah lama kita tidak membahas perkembangan republik kita yang kian semrawut ini ya Mas,” kata Denmas Suloyo kepada karibnya yang baru pulang dari rumah sakit itu.
“Lha memangnya ada apa ta Denmas negara kita ini, kok panjenengan sajak wigati banget…” timpal saya yang kebetulan juga sedang bertamu di rumah Mas Wartonegoro.
“We lha, sampeyan ini gimana ta. Apa selama ini panjenengan tidak pernah mengikuti perkembangan sosial, ekonomi dan politik negeri kita ini?” papar Denmas.
“Wah kalau saya sih, selama sakit sedang nyaman enggar-enggar penggalih… memaknai ganjaran yang sedang diberikan ini lho Denmas. Saya merasa sedang dislenthik Gusti Allah ,” kata Mas Wartonegoro mulai merespons ajakan diskusi Denmas Wartonegoro. Saya pun lantas lebih senang mendengarkan mereka berdiskusi yang biasanya menjadi seru.
“Lha iya ta, sampeyan ini kok ya ada-ada saja. Wong kecelakaan kok kunduran mobil. Mbok ya diendani, nggak usah ditahan-tahan segala…”
“Kalau tahu bakal begini, mobil itu sehari sebelumnya sudah saya pinjamkan njenengan Denmas…” jawab Mas Wartonegoro sembari tersenyum.
“He he he… ya sudah, wong namanya juga musibah kok ya Mas, itu kan bagian dari cobaan hidup. Yang penting sekarang kita bisa diskusi lagi… ngerumpi lagi demi kemajuan negeri ini. Soal kekisruhan yang saya maksud itu ya pasca BBM dinaikkan itu lho Mas,” kata Denmas Suloyo mulai sulaya.
“Ya begitulah Denmas… hidup ini kan kompleks, bukan sekadar perbuatan, tapi kata para ustad hidup ini juga cobaan,” jawab Mas Wartonegoro sembari mengutip tagline yang diucapkan seorang pemimpin Parpol di tv-tv.
“Saya khawatir, kalau semua orang ngisruh… emosional... hilang kesabaran, peristiwa 1998 akan terulang gara-gara kenaikan BBM. Semoga saja rakyat dan yang terpenting para pemimpin kita paham soal hidup ini juga adalah cobaan ya…” tambah Mas Wartonegoro.
“Wah, tidak bisa kita berharap semua orang berpandangan seperti itu Mas. Karena jelas kan, gara-gara kenaikan BBM itu kini masyarakat kecil semakin terhimpit. Hidup semakin susah, dan bagi mereka ini juga musibah… cobaan hidup yang kian bertambah berat,” papar Denmas Suloyo.
“Itulah yang saya maksud. Kita ini ibaratnya sedang dislenthik Gusti Allah, diingatkan bahwa hidup ini ya memang berat apalagi di zaman susah seperti sekarang ini. Ya kayak lagunya Koes Plus itulah, Ja pada nelangsa, jamane-jaman rekasa… urip pancen angel, kudune ra usah ngomel…” kata Mas Wartonegoro.
“Wek e e e… lha thik penakmen ta Mas. Kalau semua bisa pasrah seperti itu, ya sudah tamat. Tidak perlu diskusi, tak perlu ada demonstrasi tak perlu ada ribut-ribut soal kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Ini kan masalah keadilan, kebenaran dan perjuangan rakyat,” timpal Denmas Sulaya kembali makantar-kantar.
“Wah lha kok panjenengan sing emosional. Saya kan hanya berbicara dari sudut pandang lain, bahwa ada sisi religiositas yang terkadang perlu juga dikemukakan. Mungkin kita ini sedang kembali diingatkan, dislenthik tadi lho Denmas. Kalau kita tersadar, ya semoga nantinya akan lebih baik. Kalau tidak, ya tidak tahulah… mungkin kita akan didugang… atau malah diberi bencana hebat, ditumpes kelor dan itu kan sudah terlalu sering terjadi di negeri kita ini…”
“Wah, habis sakit sampeyan kok sajak menep gitu to Mas Warto? Tapi saya pikir-pikir bener juga ya apa yang sampeyan katakana, bahwa ada sisi lain yang seharusnya selalu kita sadari bersama, bahwa hidup ini memang bukan sekadar perbuatan untuk meraih kesejahteraan… hidup itu juga cobaan ya,” kata Denmas Suloyo sok paham.
Dia lantas berkata bahwa dirinya teringat dengan apa yang pernah dikatakan Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, beberapa tahun lalu ketika tsunami menerjang Aceh. Waktu itu Cak Nun bertanya, orang-orang Aceh selama bertahun-tahun adalah rakyat yang amat dan paling menderita dibanding kita senegara, “Tapi kenapa masih ditenggalamkan di kubangan kesengsaraan sedalam itu? Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta saja yang diterjang air bah? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh di tengah perang politik dan militer yang tak berkesudahan kala itu?”
Pertanyaan itu dijawab oleh Emha sendiri lewat tokoh rekaannya Kiai Sudrun, “Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya, sehingga derajat orang Aceh ditinggikan…”
Tapi, lanjut Denmas Suloyo, apakah persolan kenaikan harga BBM dan kesengsaraan rakyat negeri ini bisa dianalogikan dengan bencana di Aceh itu? Banyak orang berkata, dimiskinkan secara materi, bagi bangsa kita itu mah sudah biasaaa. Tapi tentu saja harapan kita bersama adalah, jangan gara-gara kenaikan harga BBM, kita dimiskinkan pula secara moral. Moralitas kita jadi rendah, syaraf malu kita jadi putus, mahasiswa berbuat semena-mena, pemerintah hilang empati dan rasa peduli terhadap krisis lenyap, maunya mencari jalan pintas untuk menyelesaikan masalah tanpa berusaha mencari alternatif lain guna mengurangi risiko sekecil-kecilnya atas penderitaan rakyat.
Setelah Denmas Suloyo dan Mas Wartonegoro lerem, saya jadi terngiang kembali apa yang pernah ditulis Yahya Staquf bahwa Tuhan memperingatkan, "Takutlah kalian pada bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim." Artinya, ada bencana "sapu bersih" yang bakal melahap semua, tak peduli orang-orang saleh. Ini ancaman "baru", dan mulai berlaku sejak kerasulan Musa AS. Sebelum itu, Tuhan senantiasa "turun tangan sendiri" menyelamatkan orang-orang saleh: penentang Nabi Nuh ditenggelamkan banjir, penentang Nabi Saleh ditelan bumi, penentang Nabi Luth diuruk batu, dan seterusnya, sampai dengan karamnya Firaun. Sesudah itu, orang saleh yang harus bertindak, berjuang sendiri mengoreksi kezaliman dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.
Memperbaiki yang dimaksud tentu saja haruslah dengan kaidah, etika, norma dan aturan-aturan bukan dengan cara anarkis, represif, bukan pula dengan perusakan dan penghancuran, tanpa sopan santun dan daya nalar yang sehat. Seperti ditulis Yahya Staquf mengutip sabda Nabi Muhammad, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya (falyughoyyirhu)," maka benar-benar yang Beliau maksudkan adalah “mengubah”, bukan “menggasak” sembarang pelakunya…

Inikah zaman kalabendhu…



Iki sing dadi tandane zaman kalabendhu
Lindhu ping pitu sedina
Lemah bengkah.
Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara Pagebluk rupa-rupa.
Mung setitik sing mari, akeh-akehe pada mati…

(Inilah yang menjadi tanda zaman kehancuran
Gempa bumi tujuh kali sehari
Tanah pecah merekah
Manusia berguguran, banyak yang ditimpa sakit
Beragam bencana terus menimpa
Hanya sedikit yang sembuh, kebanyakan meninggal…)
Sepekan sudah kita menapaki Tahun 2006. Namun dalam sepekan itu pula, negeri kita seolah tak henti-hentinya dirundung kemalangan. Bencana dan tragedi datang silih berganti. Inikah tanda-tanda menuju zaman kehancuran, inikah dimulainya zaman kalabendhu, seperti yang diramalkan pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Ronggowarsito?
Dalam syair Jangka Joyoboyo, yang penggalannya dicuplik di awal tulisan ini, Ronggowarsito menggambarkan bahwa zaman kehancuran itu ditandai dengan munculnya kereta yang berjalan tanpa kuda, tanah jawa berkalung besi, ada perahu berjalan di atas awan melayang layang, sungai kehilangan danau, pasar sudah tidak ramai lagi, manusia menemukan beragam fenomena yang terbolak-balik, kuda suka makan sambal, perempuan memakai busana laki-laki.
Itulah ramalan Ronggowarsito yang oleh sebagian orang sering disebut sebagai Nostrodamous van Java. Entah ramalan itu terbukti atau tidak, yang pasti apa yang dipaparkan Ronggowarsito ratusan tahun lalu, seolah relevan dengan situasi dan kondisi yang sedang kita alami sekarang ini, zaman yang seolah menjadi puncak kenikmatan dunia karena segala macam kesenenang begitu mudah diraih. Namun di sisi lain, kerusakan telah terjadi di mana-mana.
“Zaman kalabendhu iku kaya-kaya zaman kasukan, zaman kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman ajur lan bubrahing donya...”. (Zaman kalabendu itu seperti zaman yang menyenangkan, zaman kenikmatan dunia, tetapi zaman itu sesungguhnya adalah zaman menuju kehancuran…).
Begitulah. Kita kini sedang menyaksikan zaman penuh keprihatinan. Bencana longsor yang beruntun di Jember dan Banjarnegara dengan korban ratusan jiwa. Kita kini sedang ketakutan terhadap beberapa jenis makanan karena mengandung formalin, zat yang biasa dipakai untuk mengawetkan jenazah atau karena diberi zat pewarna yang biasa digunakan mewarnai kain. Belum lagi berbagai kebutuhan pokok yang terus melambung, BBM, beras, gula, kerupuk dan entah apa lagi. Semua orang bilang, tidak ada yang murah sekarang ini. Gambaran Indonesia sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi, hanyalah slogan.
Di sisi lain, etika dan moralitas bangsa kini dirasakan terus terdegradasi. Berita mengenai betapa absurdnya kehidupan bangsa kita, setiap hari terekspos di media massa. Betapa kita hanya bisa mengelus dada ketika tiga bocah, satu di Cilincing (Jakarta Utara) dan dua di Serpong (Kabupaten Tangerang), menorehkan catatan hitam bagi dunia anak Indonesia pada awal 2006.
Eka Suryana, 7, dibunuh di Cilincing, sementara Indah Sari, 3,5 dan Lintang Syaputra, 11 bulan, dibakar hidup-hidup di Serpong. Semuanya terjadi di rumah sendiri, pelakunya ibu dan kerabat sendiri. Semua hal yang dahulu seolah tidak masuk akal, kini menjadi peristiwa nyata. Seprti ramalan Ronggowarsito tentang perahu yang berjalan di atas awan melayang layang.
Jika saja Ronggowarsito tahu bahwa kini ada pesawat terbang, dia pasti akan terheran-heran. Barangkali sama herannya kita ketika menyaksikan ada seorang ibu yang tega membakar dua anak kandungnya. Indah Sari dan Lintang Syaputra tidak mengerti ketika ibunya, Yeni, 22, menyiramkan minyak tanah ke tubuh mereka. Belum sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, tubuh mereka sudah disulut korek api oleh ibu kandung sendiri hingga keduanya kritis karena luka bakar hebat yang mereka alami.
Lantas apa yang harus kita lakukan menyaksikan kondisi yang sedmikian absurd, membingungkan, terbolak-balik dan semakin gila itu? Zaman yang oleh Ronggowarsito disebut sebagai masa ketika orang yang benar cuma bisa bengong, orang yang melakukan kesalahan berpesta pora, orang baik malah disingkirkan dan orang bejat malah naik pangkat.
Nasihat Ronggowarsito adalah; seberat apapun jangan sampai ikut larut dalam warna-warni zaman kalabendhu. Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti dengan zaman ratu adil, zaman kemuliaan, karena itu tegarlah, tabah, kokoh dan jangan ikut serta melakukan kebodohan-kebodohan. Kita diminta menunggu zaman kemulyaan, zaman ketika ratu adil muncul. Tapi kapan? Entahlah, wallahu a'lam bisawab… hanya Tuhan yang tahu. Karena itu, sudah semstinya kita melaksanakan segala apa yang Dia perintahkan kepada kita untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi ini.

Ketika pejabat, aparat & penjahat bersepakat…


Denmas Suloyo nyaleg, istilah untuk orang yang hendak mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Ini tentu saja mengejutkan Mas Wartonegoro, karibnya yang selama ini sering bersama-sama ngrasani perilaku para elite politik baik di daerah maupun pusat.
“Lhah sampeyan ini gimana ta Denmas… setahu saya selama ini kan panjenengan benci dengan politik, lha kok mak bedunduk ikut-ikutan nyaleg,” kata Mas Wartonegoro saat bertemu Denmas Suloyo di kediamannya.
“Wah ini mumpung ada kesempatan je. Kata orang-orang, kalau ingin memperbaiki sistem itu ya sekalian saja masuk ke dalam sistem itu, jadi tau persis bagaimana sesungguhnya yang terjadi. Tidak asal nebak-nebak, ngrasani,” jawab Denmas Suloyo.
“Yak… opo hyok? Jangan-jangan malah katut, larut ke dalam sistem, lha wong sampeyan jadi oportunis gitu kok… nggak konsisten. Ya saya doakan saja semoga sampeyan benar-benar masih punya idealisme, jangan setelah menjadi pejabat publik malah bersepakat dengan para aparat dan bahkan penjahat untuk mensejahterakan diri masing-masing… lupa kepada rakyat. Itu kan yang masih terjadi di negeri ini sampai sekarang,” sergah Mas Wartonegoro yang kali ini giliran agak sewot karena sahabat ngerumpi-nya pindah haluan ingin menjadi pejabat.
Apa yang dilakukan Denmas Suloyo bukanlah kesalahan. Menjelang Pemilu 2009 ini memang sedang ada euforia. Rakyat jelata diajak-ajak ikut menjadi Caleg. Bahkan sejumlah partai membuka “iklan lowongan pekerjaan” untuk ikut serta menjadi Caleg tanpa harus aktif sebagai anggota partai sebelumnya, siapa saja boleh mendaftar.
Jadi Denmas Suloyo ini adalah salah seorang dari 12.198 orang Indonesia yang telah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Mereka, orang-orang yang sedang mencari kesempatan (karena kini setiap orang boleh menjadi politisi) untuk menjadi pejabat publik, mewakili rakyat sebagai anggota dewan yang tersebar di 77 daerah pemilihan. Di tingkat pusat, mereka bakal memperebutkan 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengamat politik dari UI Eep Saefullah Fattah menyebut antusiasme masyarakat untuk bisa duduk di kursi legislatif itu sebagai salah satu tuah nyata demokrasi. “Atas nama kebebasan, kompetisi, dan partisipasi, ribuan orang di seluruh Indonesia dengan penuh semangat ikut memperebutkan kursi-kursi wakil rakyat melalui Pemilu 2009. Demokrasi memberi ribuan orang itu semacam rasa percaya diri bahwa mereka layak menjadi pejabat publik.” (Kompas, 26/8)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, benarkah Denmas Suloyo –yang selama ini sering bicara dan bertindak waton sulaya-- dan ribuan calon legislatif lainnya itu bisa diandalkan untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang selama ini berjalan? Bukankah sejauh ini kita masih menyaksikan kacau dan campur aduknya peran dan fungsi pejabat, aparat dan birokrat bahkan “penjahat” di negeri ini?
Jika tradisi sogok-menyogok, suap-menyuap, kolusi, korupsi, bersepakat untuk sebuah pelanggaran di antara eksekutif, legislatif dan yudikatif seperti yang sedang kita saksikan di panggung politik pemerintahan negeri kita tercinta sekarang ini, maka jangan harap Pemilu 2009 yang katanya akan diisi oleh calon anggota legislatif muda, progresif, lebih banyak kaum perempuannya bakal mengubah wajah bangsa kita. Jika tradisi “bersepakat” di antara pejabat, aparat dan penjahat terus berlangsung, sulit rasanya kita berharap Indonesia mendatang bisa menuju ke kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang lebih baik.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi modern seperti yang dianut Indonesia sekarang ini, mestinya semua pihak, termasuk para calon legislatif, paham betul apa itu arti demokrasi yang di dalamnya mengandung makna pemisahan tugas, wewenang, tanggung jawab dan kekuasaan.
Salah satu hal penting dalam konsep demokrasi adalah adanya pemisahan kekuasaan atau trias politica. Konsep ini harus dilaksanakan secara benar. Trias politica adalah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Bukan malah berkompromi seperti yang sering kali kita rasakan di negeri ini. Seorang anggota Dewan bersepakat dengan gubernur untuk mengubah hutan lindung demi kepentingan komersial. Seorang jaksa bersepakat dengan terdakwa agar kasus yang sedang ditangani bisa dikompromikan. Jika hal ini terus terjadi, rusaklah negeri ini. Jadilah negeri ini menjadi negeri mafia.
Antara eksekutif, legislatif dan yudikatif haruslah menjadi pihak yang saling memahami posisi, bukan untuk berkonspirasi. Karena seperti digagas Montesqui filosof legendaris Prancis abad pertengahan itu, konsep trias politica dimaksudkan sebagai pilar demokrasi untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, kekuasaan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan bukan untuk elite politik yang kemudian menjadi raja-raja kecil di daerah, misalnya.
Kita tentu saja berharap agar apa yang dikatakan Eep Saefullah bahwa setelah berjalan satu dasawarsa, reformasi ternyata cenderung menghasilkan gejala "rezim berubah, elite sinambung" akan berhenti setelah Pemilu 2009 nanti. Apa yang dimaksud Eep adalah, para elite yang menjadi para pelaku reformasi ternyata sungguh mudah terjebak menjadi agen kesinambungan perilaku nondemokratis. “Maka, sekalipun terjadi perubahan tipe rezim dari otoritarianisme Orde Baru ke demokrasi, berbagai bentuk perilaku nondemokratis masih terus bertahan.”
Semoga saja Denmas Suloyo dan kawan-kawan calon legislatif yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 nanti benar-benar orang terpilih yang mampu mengemban tugas dan amanat rakyat. Bukan para pejabat yang siap-siap bersepakat dengan para “penjahat” demi keuntungan pribadi…q

ShoutMix chat widget