Senin, 08 Desember 2008

Prasangka, praduga dan asumsi terhadap pers...

Para tokoh pers, beberapa pemimpin redaksi media massa se-Indonesia, sejumlah ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang mulai Selasa (27/11) besok akan berkumpul di Kota Solo. Mereka membuka forum dialog bertema Mewujudkan Pers Nasional yang Profesional, Beretika dan Bermartabat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, memangnya pers ada yang tidak profesional, tidak beretika dan tidak bermartabat? Tentu saja jawabannya “ya... ada”.
Tetapi tentu saja ada dua hal yang menyebabkan pencitraan media massa menjadi seperti itu. Pertama karena pengelola di balik media itu yang memang tidak profesional, tetapi di sisi lain bisa jadi banyak orang apriori terhadap pers yang sesungguhnya sudah bekerja secara baik dan benar. Karenanya saya berharap forum ini akan mampu memberi pencerahan kepada orang-orang yang apriori terhadap pers, di samping tentu saja kian menjadi pembelajaran bagi para insan pers sendiri untuk terus memperbaiki diri.
Tujuh belas tahun lalu, ketika saya menekatkan diri menekuni pekerjaan sebagai wartawan di sebuah harian lokal di Yogyakarta, yang ada di benak saya adalah: menjadi wartawan itu harus berideologi kepada kebenaran, bermoral, merekam peristiwa menjadi berita bermakna.
Karena begitulah pengetahuan yang saya peroleh ketika selama satu bulan kali dua puluh empat jam, kami –sebanyak 17 orang calon jurnalis—didik oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) pimpinan Ashadi Siregar agar kelak menjadi wartawan yang benar-benar profesional, paham tentang etika, kaidah dan norma-norma jurnalistik.
Makanya, pekan lalu saya marah ketika mendengar ada seorang terpelajar yang bicara di sebuah forum ilmiah menyebut koran tempat saya bekerja sekarang ini mempunyai jargon ”membela yang bayar” untuk mempelesetkan semboyan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ”membela yang benar”. Bagi saya, pernyataan itu adalah pelecehan, penghinaan profesi yang selama belasan tahun sedemikian kuat kami jaga agar tidak tergelincir pada praktek-praktek jurnalisme menyimpang seperti itu.
Atas dasar teori apa dosen muda itu memvonis koran saya telah mengabaikan kaidah-kaidah pemberitaan hanya karena setiap pekan sekali kami memindahkan rubrik ke halaman lain karena halaman rubrik itu ditempati sebuah iklan? Atas kepentingan dan kapasitas sebagai apa dia menyatakan prihatin dan kasihan kepada wartawan yang telah menulis 7.000 karakter namun ketika muncul di koran tinggal 2.000 karakter?
Saya merasa pak dosen muda itu sebenarnya belum atau malah tidak paham tentang bagaimana mengelola perusahaan pers yang sekarang memang telah berubah menjadi industri itu. Saya rasa, simpulan yang dia ungkapkan tersebut sebatas prasangka, praduga, persepsi atau malah bisa jadi hanya sebuah asumsi picik seorang dosen pencari sensasi.
Media adalah lembaga yang berkonsekwensi memunculkan opini publik, saya merasa pers memang seringkali akan berhadapan dengan praduga, prasangka, persepsi dan asumsi publik terhadap pengelola pers itu sendiri. Mereka sering bertanya-tanya, apa sih ideologi orang-orang di balik media massa itu? Apa sih kepentingan mereka ketika memilih sudut pandang sebuah berita? Simpatisan partai apa sih wartawan pembuat berita itu?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang kerap muncul di kalangan masyarakat awam. Akan tetapi ketika bermacam sangkaan itu diungkapkan oleh seorang terdidik yang paham tentang ilmu komunikasi massa, tentu kami harus balik mempertanyakan kadar intelektualitas dia tentang pemahaman mengenai peran dan fungsi pers serta pengetahuan dia mengenai perkembangan pers dan managemen pers modern sekarang ini.
Pandangan sepihak dosen muda tadi, mungkin bisa menjadi hal menarik untuk dibahas terkait pencitraan pers yang profesional, beretika dan bermartabat. Banyak orang tidak paham tentang fungsi dan peran pers profesional yaitu pers yang mempunyai kemampuan melaksanakan fungsi dan perannya dengan memperhatikan rambu-rambu dan etika serta norma-norma yang berlaku.
Insan pers sendiri menyadari bahwa semenjak kemerdekaan pers tercipta pascareformasi, memang kemudian dibarengi dengan munculnya pandangan sepihak sejumlah kalangan bahwa sejumlah lembaga pers memang menafikan peran idealnya. Akan tetapi, tentunya, hal tersebut tidak bisa digebyah uyah, disamaratakan. Kami, sebagai institusi pers yang telah berkomitmen bekerja secara profesional tentu akan marah ketika seseorang menyebut sisi ideal kami sebagai pers telah digadaikan dengan harga murah bermotif ekonomi. Karena ini sama saja menyebut kami telah melacurkan profesionalisme dan idealisme pers.
Sejumlah praktisi jurnalistik menyebut bahwa perilaku sebagian pers atau wartawan maupun pihak lain yang membonceng dan melakukan berbagai tindakan kontroversial dan merusak citra pers atau wartawan yang secara umum telah bekerja serius, telah merugikan pencitraan wartawan dan media serta merugikan kemerdekaan pers. Kemerdekaan ataupun kebebasan pers haruslah disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan norma-norma, etika profesional dan supremasi hukum.
Sekali lagi, itu berarti bahwa pers profesional adalah pers yang memiliki kemampuan melaksanakan fungsi dan perannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, memperhatikan rambu-rambu hukum, etika, norma kemasyarakatan dan keagamaan yang berlaku. Kami jelas tersinggung, ketika kesadaran terus menerus yang kami lakukan untuk menjaga profesionalisme sepanjang masa, tiba-tiba dengan tanpa indikator jelas, hanya berdasar asumsi dan prasangka, dengan enteng dan asal bicara seseorang menuduh kami telah menjual diri, mengorbankan “kebenaran” sebagai filosofi pers dengan “uang”.
Benar bahwa industri pers memang tidak bisa terlepas dari faktor ekonomi. Pers sebagai sebuah industri, tentu saja perlu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, soal untung rugi, sistem manajemen, sumber daya manusia termasuk pemasaran. Denis Mc Quail, seorang pakar komunikasi massa bahkan menunjuk bahwa faktor komersial sangat berperan dalam mempengaruhi industri pers. Namun demikian, hal penting yang juga harus dipahami adalah, pers modern wajib mempertahankan sisi idealisme sebagai bagian dogma pers karena ini menyangkut kepercayaan masyarakat akan produk pers yaitu berita. Ketika pers telah dipercaya masyarakat, itu bermakna berita yang ditampilkan sebagai sisi ideal industri pers telah dipenuhi. q

1 komentar:

Anonim mengatakan...

siapa tuh om dosen mudanya? ya dianggap aja kritik dari fans to om. Kalau orang tidak sayang, kan tidak mungkin memperhatikan. Kalau orang tidak memperhatikan, mana bisa berkomentar.


ShoutMix chat widget