Senin, 01 Desember 2008

Pejabat di antara tajamnya pena & pedang…

Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat ketiga mengatakan, “Saya memilih memiliki pers tanpa negara, daripada negara tanpa pers” sementara Napoleon Bonaparte bilang, “Saya lebih takut pada sebuah pena daripada seratus meriam” dan Winston Churchill menyebut, “Pena lebih tajam daripada pedang....”
Kalimat hiperbola para tokoh besar dunia itu bermakna bahwa ada peran yang sedemikian besar bagi media massa dalam ranah publik. Pedang yang secara fisik adalah senjata tajam pun digambarkan kalah tajam dibanding pena yang merupakan manifestasi dari pers. Media digambarkan seolah bisa menjadi “pedang pembunuh” dan “meriam pembantai”.
Barangkali karena pencitraannya yang seolah ngedap-edapi itulah, kantor kalawarti tempat Mas Wartonegoro bekerja dalam beberapa pekan terakhir ini silih berganti dikunjungi para calon pejabat publik, para priyagung calon anggota legislatif yang tahun depan bakal memperebutkan suara masyarakat agar bisa duduk di kursi dewan. Bagi mereka yang sadar akan pentingnya komunikasi publik dalam berbangsa dan bernegara, maka tidak ada salahnya jika mereka ingin tahu lebih detil tentang apa sesungguhnya peran dan fungsi media massa.
Sekalipun demikian, nyatanya, masih banyak pula pejabat publik yang menganggap pers justru sebagai lembaga pengganggu kinerja birokrasi bahkan dianggap tidak penting. Malah Mas Wartonegoro sempat terkejut sekaligus tersenyum kecut ketika suatu hari bertemu dengan seorang pejabat publik di Soloraya yang berkata, “Siapa bilang pena lebih tajam daripada pedang, menurut saya... pedang tetap bisa lebih tajam daripada pena...”
“Wah, saya benar-benar kaget Denmas ketika beliau yang pejabat publik berpengaruh itu berkata demikian kepada saya dan kawan-kawan wartawan. Ini bisa saya artikan sebagai sebuah ancaman. Sebagai pekerja pers, tentu saja saya waswas. Jangan-jangan kalau pena kami menulis berita kritis terlalu tajam, beliau benar-benar membuktikan bahwa pedangnya lebih tajam kalau digoreskan di tubuh kami,” cerita Mas Wartonegoro kepada kawan ngudarasa-nya Denmas Suloyo dan saya belum lama ini.
“Ah masak ada pejabat sepenting beliau berkata senaif itu?” tanya Denmas Suloyo setengah tidak percaya.
“Ya begitulah kenyataannya. Dia benar-benar berkata demikian dan tidak hanya sekali pak pejabat itu bilang seperti itu. Ini kan berbahaya, bukan begitu Mas?” tanya Mas Wartonegoro menegaskan kepada saya.
Saya pun hanya manthuk-manthuk. Karena sebagai seorang praktisi jurnalistik, yang saya pahami tentang makna “pena lebih tajam dari pedang” adalah kalimat kiasan, sebuah ungkapan yang bukan makna sebenarnya. Bagi orang yang mempunyai daya nalar tinggi, cerdas dan intelek, kalimat perumpamaan tersebut mestinya tidak diartikan secara harfiah. Kalau dalam makna sesungguhnya, mana ada sih pena lebih tajam dari pedang. Kecuali kalau pedangnya memang sudah kethul tur teyengen... atau yang berkata demikian adalah seorang barbar, penguasa tiran.
Pena adalah alat tulis yang digunakan para wartawan untuk mengungkapkan realitas empiris ke dalam realitas media. Ketika realitas sosial kemasyarakatan yang ditulis wartawan itu mengkritisi kebijakan yang menyangkut kepentingan publik dan “menyerang” seorang pejabat, maka pena itu ibarat pedang yang mampu “menebas” keputusan pejabat yang oleh publik dinilai keliru. Di sinilah sebenarnya salah satu peran penting pers, sebagai alat pengontrol.
Wartawan adalah orang yang menjalankan fungsinya sebagai pengemban amanat masyarakat atas peran media massa. Dalam teori jurnalistik, media massa seperti koran memiliki fungsi pemberi informasi, menghibur, pempersuasi pembaca, sebagai alat transformasi budaya dan juga menjadi alat kontrol atau pengawas atas kepentingan publik. Peran media massa yang sangat terkait dengan kepentingan publik inilah yang sering kali mengganggu “kepentingan” pejabat sehingga pena para wartawan diibaratkan bagai pedang.
Dengan fungsi pentingnya seperti itu, lembaga media massa profesional harus mampu mengakomodasi semua pihak, bertanggung jawab, memegang teguh etika, etiket dan moral serta bertindak adil untuk semua orang. Tugas seperti inilah yang membuat seorang wartawan harus selalu membela kebenaran dan bersikap egaliter. Karenanya, reputasi, nama baik dan kepercayaan dari masyarakat menjadi sangat penting bagi seorang wartawan. Wartawan yang berintegritas, yang senantiasa berpikir bahwa pekerjaannya adalah untuk kepentingan publik, penanya akan diasah menjadi setajam pedang.
Dr Effendi Gazali, Koordinator Program Master Komunikasi Politik Universitas Indonesia, pada salah satu artikelnya pernah menyebutkan bahwa dalam hukum komunikasi publik, ratusan pakar—mulai dari yang klasik sampai Middleton (2007)— peran pokok media massa adalah selalu memerhatikan kepentingan publik serta keterlibatan publik. Kepentingan publiklah yang menjadi alasan tak terbantahkan sepanjang zaman, yang membuat pers bisa melakukan laporan investigatif!
Dengan alasan itu pula, menurut Effendi, terhadap suatu obyek: yaitu pejabat publik, hampir semua hukum media di berbagai negara membebaskan pers untuk mempersoalkan mereka setiap saat sejauh menyangkut kepentingan publik. Konsekuensinya, semakin tinggi posisi pejabat publik, semakin sering dan semakin banyak media siap melakukan investigasi terhadapnya. Itulah risiko, konsekuensi dari status seseorang sebagai pejabat publik.
“Kalau dulu basis ilmunya cuma name makes news, sekarang sudah benar-benar paralel dengan konstruksi realitas bahwa setiap ulah pejabat publik pasti berimplikasi pada kepentingan publik. Bahkan konteksnya pun berkembang sedemikian rupa sehingga seorang pejabat publik yang dianggap melakukan kebohongan dan merugikan publik tidak hanya akan dicecar di negaranya, tetapi juga oleh media pada tataran global!” tandasnya.
Jadi, kalau ada pejabat publik yang merasa terganggu atau bahkan terancam dengan peran pers dalam menjalankan fungsinya bisa jadi dia tengah berada di jalan yang tidak lurus, tidak benar atau salah dalam menjalankan amanah. Jangan salahkan pers, jika kebijakan yang merugikan publik itu kemudian menjadi “komoditas” pemberitaan. Karena dalam kehidupan berdemokrasi, pers adalah pilar keempat. Penanya, bisa jadi lebih tajam dari pedang...[]

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget