Senin, 23 November 2009

Tamatkah negeri para bedebah?

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala//
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah//
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah//
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya//
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan…


Raden Mas Suloyo, ningrat yang merakyat di kampung saya ini tiba-tiba makantar-kantar membacakan puisi karya Adhie Massardi berjudul Negeri Para Bedebah… itu. Di sela diskusi kelas kampung, Denmas Suloyo bergaya bak Si Burung Merak, mengepal, berteriak hingga muncrat di tengah komunitas jagongan News Café kami.
Tepuk tangan pun akhirnya kami berikan. Diskusi di kampung saya Minggu kemarin memang lumayan meriah. Sehingar-bingar isu perseteruan antarlembaga hukum di negeri kita yang dicap sebagai negeri bedebah. Seperti biasa Denmas Suloyo selalu menjadi lakon, karena pandangan-pandangan politiknya yang sering nyeleneh dan waton sulaya meskipun sering bernuansa kritis.
“Kita harus mendukung untuk memberantas para bedebah. Rekomendasi Tim 8 untuk mereformasi, mereposisi para personal di kepolisian dan kejaksaan harus kita dorong… di sana memang banyak oknum bedebah! Kalau Presiden tak berbuat apa-apa mari kita revolusi, demonstrasi atau paling tidak berdoa agar Pak SBY bertindak tegas!” teriak Denmas Suloyo seakan belum puas setelah menggeh-menggeh berpuisi ria.
Ayak… panjenenganini kok kaya yak-yak a ta Denmas. Ngko diyaki luput. Sepertinya meresapi betul puisi yang sampeyan baca tadi ya. Tapi ini kan perkara besar. Urusan para priyagung. Rakyat seperti kita ini apalah artinya… hanya bisa pasrah apapun yang menjadi titah penguasa,” timpal Mas Wartonegoro, partner diskusi paling klop Denmas Suloyo.
“Nah justru itu Mas. Mulai sekarang kita harus bisa menggalang opini yang ngedab-edabi. Suara rakyat adalah suara Tuhan… jika kita bersatu untuk menyuarakan kebenaran, menyuarakan rasa keadilan… maka bukan hal yang mustahil kita yang jelata ini bisa mengusir para bedebah,” kata Denmas Suloyo berapi-api.
“Benar juga lho Mas apa yang dikatakan Denmas Suloyo. Kasus heboh di negeri kita kemarin itu, bisa menggelinding kencang juga tak lepas dari peran besar rakyat biasa. Gerakan di Facebook, demonstrasi di berbagai penjuru kota dan diskusi-diskusi kecil macam kita ini bisa jadi merupakan cikal bakal terbentuknya opini publik yang luar biasa. Ini pula yang mendorong Presiden kita kemudian memutuskan membentuk tim pencari fakta… rak iya ta?” kata saya setengah bertanya kepada peserta jagongan.
Negeri buruk rupa
Begitulah. Ajang kumpul-kumpul rakyat kelas bawah seperti ini memang sering tak memberi efek besar kepada kebijakan negara. Namun ketika era telah berubah seperti sekarang, tidak ada yang mustahil bahwa ketidakadilan bisa ditumbangkan oleh gerakan rakyat lewat berbagai cara dan media.
Karenanya, dalam obrolan ngalur-ngidul tentang “para bedebah”, tentang perseteruan antara “cicak dan buaya”, tentang harapan rakyat akan ketegasan pemimpinnya, menjadi ajang yang menyenangkan bagi orang-orang kelas bawah seperti kami yang sering tak punya media besar untuk menyalurkan uneg-uneg sekadar ngudarasa.
Kita semua tentu berharap, negeri ini tidak terus menerus dicap buruk rupa, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Indonesia yang sesungguhnya kaya raya, gemah ripah loh jinawi ini, sering mendapat julukan yang buruk-buruk. Ada yang menyebut Republik Mimpi Buruk lah, Republik Maling lah, Republik Pelupa lah dan masih banyak yang lainnya termasuk sebagai Negeri Bedebah tadi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, “bedebah” adalah makian untuk seseorang yang bermakna kurang lebih “celaka”. Namun dalam bahasa sosiologis bedebah sebenarnya lebih berkonotasi kepada orang-orang yang tak bermoral, tak punya rasa malu, suka menipu, tebal muka, sumpahnya palsu, injak sana-injak sini, bertindak sewenang-wenang, apa pun dilakukan demi tercapainya tujuan, tak ada kamus haram dalam benaknya, semua halal, mencla-mencle, miyar-miyur, esuk tempe sore dhele dan seterusnya… itulah orang yang patut diumpat dengan kata “Bedebah!!!”
Semoga saja hangar bingar perseteruan antara lembaga hukum di negeri kita bisa segera berakhir dengan keputusan tegas Presiden kita yang akan disampaikan hari ini. Semoga bangsa ini memperoleh kedamaian dengan kebijakan pemimpin kita yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat bukan sekadar menegakkan hukum normatif lewat ayat dan pasal yang sering menggelisahkan rakyat.
Semoga saja cap sebagai bangsa pelupa, karena selalu melupakan hal-hal penting dalam perjalanan sejarah pendewasaan bangsa setelah dininabobokkan penguasa juga segera hilang. Carut marut wajah peradilan hukum kita yang penuh dengan makelar kasus, rekayasa dan bedebah-bedebah itu perlu keputusan berani dan tegas.
Negeri ini membutuhkan sosok pendekar hukum seperti almarhum Baharuddin Lopa, yang oleh Pak Kiai Cholil Bisri disebut sebagai orang yang mengerti dan berani membela prinsip kebenaran dan keadilan. Dia adalah orang yang sederhana, sehingga tidak pernah takut akan “ancaman” sesama. Orang yang mempercayai anugerah Tuhan, sehingga tidak pernah khawatir dengan segala akibat ketika dia menjunjung tinggi perintah yang dipercaya, yang diyakini kebenarannya. Adakah sosok seperti itu? Kalau belum juga ada, maka para bedebah penguasa negeri ini belum akan tamat riwayatnya…[]

Sang wakil di menara gading…

Sepanjang bulan Ramadhan silam, kelompok diskusi kelas wedangan Mas Wartonegoro, Raden Mas Suloyo dkk yang biasa mangkal di News Café, di kampung saya Mojosongo praktis tak banyak melakukan kegiatan. Masing-masing orang sedang sibuk bermuhasaba bermenung, merefleksi diri untuk mencari hakikat diri dan hakikat kehidupan, berubah sedikit religius, meninggalkan banyak hal yang berkait dengan keduniawian.
Karena itu, ketika kami bertemu di Lebaran hari kedua pekan lalu obrolan begitu gayeng, seru. Ternyata, telah banyak hal terjadi di negeri ini yang luput dari perbincangan kami. Beragam peristiwa sosial, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan bergulir kencang. Semuanya hampir berlangsung di bulan September dan pada Oktober yang kurang dua hari lagi ini semuanya harus telah diputuskan.
“Ada kasus Bank Century yang merembet ke mana-mana itu, lalu muncul persoalan antara kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga Presiden harus turun tangan bikin Perpu yang menimbulkan polemik, sampai kampung kita Mojosongo yang mendadak terkenal ke suluruh Indonesia bahkan dunia gara-gara Noordin M Top ngumpet di sini. Hampir semuanya lepas kita diskusikan ya,” kata Denmas Suloyo, seperti biasa membuka obrolan dengan penuh semangat.
“Ya maklum saja ta Denmas, kita kan kemarin sepakat selama puasa berkonsentrasi meningkatkan derajat religiusitas. Diskusi soal perpolitikan kita kurangi dulu. Tapi nyatanya susah juga ya berdiam diri tidak ikut membicarakan persitiwa yang ada di sekitar kita. Termasuk waktu penggerebekan Densus 88 ke tempat persembunyian Noordin M Top di kampung kita menjelang Lebaran silam. Wah gayeng tenan Mas. Kampung kita ‘Emjinine’ tambah moncer. Malah kawan saya di Karanganyar sana juga ikut-ikutan nyebut kampungnya dengan ‘Emjibanana’… Mojogedang, maksudnya,” timpal Mas Wartoengoro yang disambut derai tawa kawan-kawannya.
“Tapi ada satu hal yang mestinya jangan sampai lepas dari pengawalan kita, yaitu soal rencana pelantikan anggota DPR/MPR awal Oktober mendatang. Isu soal dana yang mencapai miliaran rupiah serta mengingatkan wakil-wakil kita di parlemen agar bekerja sungguh-sungguh, harus selalu kita kobarkan,” kata Denmas Suloyo.
Menara gading
Ya, seperti kita ketahui pelantikan 560 anggota DPR dan 132 DPD periode 2009-2014 sempat mengundang polemik gara-gara Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan dana hingga Rp 11 miliar hanya untuk pelantikan. Bukan hanya itu, para legislator dan senator itu juga akan mendapatkan sejumlah fasilitas istimewa sebelum pelantikan.
Sekalipun belakangan panitia siap memangkas biaya pelantikan sampai 50%, toh sampai sekarang berita soal pemangkasan itu belum terdengar lagi jadi tidaknya. Kalau pun sejumlah anggota parlemen yang hendak dilantik juga merasa jengah dengan persoalan dana tersebut, hal itu kan tidak akan mempengaruhi kebijakan tentang pendaaan seremoni.
Permasalahan yang lebih penting sesungguhnya bukan sekadar hiruk-pikuk atau pro-kontra pelantikan itu. Kita justru perlu mengingatkan soal komitmen perubahan sikap, perilaku, tindak tanduk, kebiasaan bahkan citra buruk anggota parlemen pasca pelantikan nanti, karena selama ini yang terpatri di benak sebagian besar masyarakat kita anggota Dewan seolah identik dengan suap, korupsi, pemalas, mementingkan diri sendiri dan golongan, lupa kepada rakyatnya dan hal-hal yang bersifat buruk lainnya.
Sudah saatnya anggota parlemen memiliki paradigma baru, bukan lagi ke Senayan untuk sekadar menikmati kedudukan, atau terus memilihara pameo 4D--datang, duduk, diam dan dapat duit. “Mereka yang sesungguhnya adalah wakil kita, jangan sampai keenakan seolah-olah sekarang tinggal di menara gading yang tidak tersentuh dan tidak mau turun ke bawah. Kita harus selalu ingatkan itu sejak sekarang,” kata Denmas Suloyo.
Istilah menara gading, memang kerap digunakan untuk memaknai tempat menyendiri yang memberi kesempatan penghuninya untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Menara gading adalah tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan, tempat untuk menyendiri menikmati keberhasilan seseorang dan melupakan siapa saja termasuk orang-orang yang pernah berjasa mengantarkan keberhasilannya.
Masa euforia pascareformasi sejak sepuluh tahun silam bagi anggota Dewan, rasanya sudah cukup. Tuntutan eksternal jelas makin kuat atas eksistensi DPR. Suara-suara yang keras dan konsisten dari luar hendaknya menjadi faktor penting untuk mengingatkan anggota parlemen agar bekerja sungguh-sungguh.
Anggota DPR yang hendak dilantik awal Oktober besok lebih dari 560 anggota dan 70 persen dari mereka adalah wajah baru. Kita bersyukur sebagian di antara mereka telah menyatakan malu dengan rencana pelantikan berbiaya miliaran, namun sekali lagi bukan perayaan pelantikan sebagai titik pusat perhatian rakyat. Justru momentum itu adalah anjakan awal harapan masyarakat agar peta politik di gedung wakil rakyat berubah. Bukan lagi orang-orang klimis yang selalu menutup mata nasib orang-orang yang diwakilinya karena dia bertahta di menara gading.
Kita semua berharap, seluruh anggota parlemen nanti tidak menjadi silau karena popularitas dan kekuasaan. Sebab, mengutip KH M Cholil Bisri dalam salah satu tulisanya di buku Menuju Ketenangan Batin (2008), di zaman modern ini tidak ada seorang pun yang tidak silau ketika kena sorot. “Semakin sering disorot, makin sering ‘menderita’ silau. Yang terjadi, saat kesilauan menerpa orang tidak mudah melihat sosok di depannya. Apakah itu cucu, atau mertuanya. Bisa jadi, siapa saja yang di depannya diterjang begitu saja. Baru sadar saat ada yang meraung atau celaka.”
Karena itu, Kiai Cholil mengingatkan jangan sampai ada orang-orang yang terkenal–termasuk para calon anggota parlemen yang dilantik 1 Oktober mendatang, larut dalam arus pujian, hanya melihat kelebihan dirinya tanpa mampu meraba kekurangan. “Dia lupa diri, dan pada gilirannya tidak ingat kepada siapa Yang Mengecat Cabai. Dia menjadi angkuh dan jumawa.” Padahal dia hanyalah seorang wakil tapi malah bertahta di menara gading…[]

Ilham senyum & kepedulian...

Tidak seperti biasanya, komunitas jagongan News Cafe di kampung saya kali ini mengganti topik diskusi dunia perpolitikan. Maklum, selain tak ada isu politik menarik Minggu kemarin sudah dalam suasana Ramadan sehingga kami merasa lebih penting membahas persoalan tentang ilham kebaikan, kebenaran dan kepedulian kepada sesama...
Maka ketika saya membawa cerita tentang betapa dahsyatnya pengaruh senyuman yang diilhamkan-Nya kepada manusia, Denmas Suloyo, Mas Wartonegoro dan kawan-kawan lain tampak terkesima. Kisah senyum ini saya unduh dari boks milis email yang dikirim kawan saya setahun silam.
Kisahnya adalah tentang seorang ibu yang sedang menuntut ilmu di negeri seberang. Pada kelas terakhir yang diambil wanita Indonesaia itu adalah matakuliah Sosiologi. Sang dosen, kata si ibu, sangat inspiratif, ”Tugas terakhir yang diberikan dosen ke siswa diberi nama Smiling," tulis wanita yang hingga cerita berakhir tidak saya ketahui siapa nama dan alamatnya.
Mahasiswi Indonesia, ibu tiga orang putera itu berkisah, seluruh siswa diminta pergi ke luar dan memberikan senyuman kepada tiga orang asing yang ditemui lantas mendokumentasikan reaksi mereka. Singkat cerita, setelah kuliah usai dia bergegas menemui suami dan anak bungsunya yang menunggu di taman halaman kampus karena mereka hendak ke Restoran McDonald's dekat kampus. ”Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering...! Saya masuk ke dalam antrean, saya minta suami menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk kosong.”
Ketika sedang dalam antrean itulah, cerita si ibu, mendadak setiap orang di sekitar dia menyingkir dan bahkan orang yang semula antre di belakang dia ikut menyingkir keluar dari antrean. ”Ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua menyingkir, saya membaui sesuatu yang menyengat, khas bau badan kotor. Tepat di belakang saya ternyata berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali,” ceritanya.
Lalu ketika dia menunduk, tanpa sengaja dia menatap laki-laki tunawisma yang berbadan lebih pendek, ”Dan dia tersenyum ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam... tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap saya seolah meminta agar saya dapat menerima kehadirannya di tempat itu... sambil berkata ’good day..!’ sambil menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dia pesan.”
Spontan, kata si ibu mahasiswa itu, dia membalas senyuman tunawisma tersebut, ”Seketika saya teringat tugas dosen saya. Lelaki kedua yang juga dekil rupanya menderita defisiensi mental dan lelaki bermata biru tadi adalah penolongnya. Saya sangat prihatin... setelah mengetahui ternyata dalam antrean itu kini hanya tinggal saya bersama dua orang tunawisma tersebut.”
Ketika pelayan menanyakan kepada mahasiswi kita apa yang ingin dipesan, sang ibu itu pun mempersilakan kedua lelaki di belakangnya untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir!" katanya kepada pelayanan.
Ternyata koin yang terkumpul, dua orang tunawisma tadi hanya cukup untuk membeli kopi. Di restoran Barat, memang sudah menjadi aturan jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh harus membeli sesuatu. ”Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan. Tiba-tiba saya diserang rasa iba, memelas. Saya melihat mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari pembeli lain dan hampir semuanya mengamati dua tunawisma itu.”
Mahasiswi kita itu baru tersadar setelah petugas di counter menyapanya. ”Saya minta dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah. Setelah membayar, saya minta petugas untuk mengantarkan pesanan saya ke tempat suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya ke arah meja kedua lelaki tadi. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di meja mereka sambil tangan saya memegang punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu... ’makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua’.”
Mata biru lelaki bule tunawisma itu, kisah mahasiswi kita, menatap dalam ke arahnya, ”Mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata, ’Terima kasih banyak nyonya’. Saya mencoba tetap menguasai diri, sambil menepuk bahunya saya berkata, ’sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian..."
Mendengar itu, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kawannya sambil terisak-isak. ”Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu... saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya. Suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum, ’Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku.’ Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan kami bersyukur dan menyadari bahwa hanya karena ilham-Nya lah kami telah berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.”
Saat mereka sedang menyantap makanan, tamu yang akan meninggalkan restoran lalu disusul beberapa tamu lainnya satu persatu menghampiri meja keluarga Indonesia itu untuk sekadar ingin berjabat tangan. Salah satu di antaranya memegangi tangan mahasiswi kita tadi sambil berucap, ”Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi..."
Begitulah. Ketika kisah itu saya bacakan kepada kawan-kawan ngobrol saya, mereka hanya diam, sunyi, senyap, tafakur, tidak seperti ketika mendiskusikan perihal perpolitikan yang biasa kami lakukan. Cerita ibu mahasiswa tadi menjadi ilham bagi kami bahwa sesungguhnya senyuman dan kepedulian itu juga merupakan ilham dari-Nya. Dan itu diberikan kepada mereka yang berhati jernih...

Minggu, 12 Juli 2009

Terbang dengan sebelah sayap…

Rabu 8 Juli, bangsa kita kembali mengukir sejarah dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, melaksanakan Pilpres. Yang telah menetapkan diri takkan golput, ini adalah kesempatan untuk menyalurkan hak demokrasinya demi memilih pemimpin negeri ini.
Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden RI, Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto telah membangun image, merancang pencitraan, mengungkapkan janji-janji, menyampaikan visi dan misi, berorasi, beretorika, berdebat, saling sindir hingga serang menyerarang. Kini saatnya rakyat yang akan menentukan, siapa sebenarnya di antara ketiga pasangan itu yang layak menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini.
Mas Wartonegoro, Denmas Suloyo beserta gengnya juga telah bersiap mensukseskan pelaksanaan pesta demokrasi terbesar lima tahunan ini. Hanya saja, dalam diskusi dengan format seadanya yang biasa mereka gelar di News Café kampung Minggu kemarin muncul sedikit kekhawatiran soal tingkat kedewasaan masyarakat kita maupun para kandidat capres-cawapres beserta tim kampanye dan segenap komponen pendukungnya.
“Saya kok khawatir, jangan-jangan nanti yang kalah tidak bisa menerima kekalahannya. Jangan-jangan Pemilu kita ini dianggap seperti ajang Copa Indonesia beberapa hari lalu itu, pakai ngambek,” kata Denmas Suloyo.
“Wah lha ya jangan disamakan pemilu dengan sepakbola ta Denmas. Pemilu kan soal keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Kalau bal-balan itu kan sekadar kesenangan,” timpal Mas Wartonegoro.
“Lho jangan meremehkan balbalan Mas. Sepak bola itu juga masalah berbangsa dan bernegara, bisa menjadi cerminan… mirip-mirip, gak beda jauh karena di sana juga ada permainan, politik, juga kebanggaan dan fanatisme. Padahal kita bisa rasakan toh, bagaimana kandidat presiden dan wapres dalam kampanye telah ‘mensinyalir’, ‘menduga-duga’ atau apapun namanya soal kecurangan, adanya rekayasa dan sebagainya. Pemilu kan belum berlangsung,” tambah Denmas Suloyo.
Kita semua tentu berharap, Pilpres lusa akan berlangsung dengan mulus, tak banyak kendala, langsung, bebas, rahasia tak ada rekasa semuanya berjalan seirama. Bukan hanya saat pemungutan suara 8 Juli, namun pascapemilihan pun semoga berjalan dengan aman, damai dan sejahtera.
Hal utama dari harapan itu adalah soal kebersamaan, kedewasaan dan kesadaran seluruh komponen bangsa bahwa tujuan utama dari pesta demokrasi itu adalah demi terwujudnya rakyat yang adil, makmur dan sejahtera.
Konsekwensi dari itu semua adalah semua harus memahami, menghormati soal keberagaman, kebinekaan dan perbedaan pendapat. Karena sesungguhnya tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sayap sebelah
Demikian juga halnya ketika para kandidat telah berkomitmen berkompetisi untuk meraih posisi sebagai punggawa negeri ini, maka mereka nanti wajib menempatkan diri sebagai pribadi-pribadi yang terhormat dan dihormati.
Bahwa kalah menang bukanlah tujuan akhir, namun kesejahteraan dan kemakmuran rakyatlah yang menjadi pokok utama. Sehingga ketika rakyat telah memilih, yang kalah harus berbesar hati, legawa dan kemudian mendukung sang pemenang. Demikian juga sebaliknya, sang juara lantas jangan jumawa. Itulah sikap seorang ksatria sejati.
Karena pada dasarnya, tanpa dukungan seluruh komponen bangsa sang pemenangpun tak akan mampu terbang ke angkasa mewujudkan cita-cita. Ibarat burung dengan sayap sebelah patah, maka dia takkan bisa terbang tanpa didukung kawan-kawannya. Sebab tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap.
Seperti disampaikan Gede Prama, seorang motivator tersohor negeri ini dalam salah satu artikelnya dia meminjam apa yang ditulis Luciano de Crescendo, bahwa kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah dan hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.
Karenanya, kata Gede Prama, kita semua mesti menyadari sesungghnya jika motif kita dalam meraih tujuan berharap menemukan semua orang sependapat, sama dan sebangun dengan apa yang kita pikirkan tak ada perbedaan pendapat dan selalu cocok di segala bidang maka lupakan saja angan-angan itu. “Fundamen paling dasar dari manajemen sumber daya manusia adalah: manajemen perbedaan sebagai kekayaan,” kata Gede Prama.
Sayangnya, menurut dia, kendati idenya sederhana, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak kecil. Ini bisa terjadi, karena seperti diungkapkan di muka tadi bahwa tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap. Bisa terbang (baca: hidup dan bekerja ) sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain.
Gede Prama menegaskan, di perusahaan apapun hampir tidak pernah dia bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Di tingkat keluarga, tidak pernah ditemukannya keluarga bahagia tanpa kesediaan sengaja untuk 'berpelukan' dengan anggota keluarga yang lain. Dan di tingkat Negara, orang sehebat Nelson Mandela dan Kim Dae Jung bahkan mau berpelukan bersama orang yang dulu pernah menyiksanya.
Begitulah. Ibarat burung yang hanya memiliki sebelah sayap, kita membutuhkan sokongan sebelah sayap dari burung-burung lainnnya agar kita semua ini, rakyat negeri ini, bangsa ini bisa terbang menggapai harapan dan cita-cita.

Kamis, 18 Juni 2009

Antiklimaks Gubernur Jateng

Keputusan Gubernur Jateng Bibit Waluyo yang akhirnya akan ikut berkampanye untuk pasangan Capres-Cawapres Megawati-Prabowo, menjadi antiklimak dari sebuah harapan sejumlah masyarakat Jateng yang merindukan keteguhan idealisme seorang pejabat publik.
Kami juga merasa sedikit jengah atas langkah itu, mengingat sebelumnya kami menggebu-gebu mendorong ketetapan hati Pak Bibit untuk tidak ikut serta dalam kampanye legislatif maupun presiden karena dia kini telah menjadi seorang pejabat publik.
Sebab kami berpandangan bahwa ketika seseorang telah menjadi pejabat publik, maka segala atribut yang dia miliki otomatis luruh. Prinsip etika jabatan publik adalah alat untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan penciptaan kepentingan publik yang sudah menjadi tuntutan dan risiko dari peran yang lahir dari suatu jabatan publik tertentu. Sehingga seluruh kepentingan yang bersifat pribadi, kelompok maupun golongan sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.
Waktu itu, kami menganggap apa yang dilakukan Gubernur Jateng Bibit Waluyo untuk tidak ikut berkampanye secara etika dan moral adalah lebih baik di mata publik. Tentunya bagi partai yang menaungi dia, yang mengusung Bibit menjadi Gubernur adalah langkah yang menjengkelkan. Namun begitulah seharusnya seorang negarawan. Ketika dia sudah ditahbiskan sebagai pejabat publik, maka mestinya dia sudah tidak lagi hanya ”berpihak” pada satu golongan atau kelompok tertentu.
Apa mau boleh buat, Pak Bibit ternyata telah berubah pandangan. Terlepas dari apakah perubahan sikap itu akibat tekanan dari internal partai yang dulu mengusung dia sehingga menjadi Gubernur atau bahkan petinggi partai yang sempat meminta ID card Pak Bibit sebagai Gubernur Jateng beberapa waktu lalu, namun kami menyesalkan keputusan Gubernur Jateng yang tampak sebagai sebuah ketidakberdayaan itu.
Sebab, kami berharap apa yang dilakukan Gubernur Jateng untuk tidak ikut serta dalam kampanye setelah menjadi pejabat publik tersebut adalah langkah positif dan akhirnya bisa menular dan menumbuhkan kesadaran kolektif para pejabat publik lainnya di negeri ini untuk lebih berfikir arif dan bijaksana menyikapi Pemilu.
Kami bahkan berharap, langkah Gubernur Jateng kala itu bisa menjadi inspirasi untuk mengubah UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang di antara pasalnya menyebutkan bahwa kampanye yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan di antaranya menjalani cuti kampanye.
Jika perlu, undang-undang yang jelas produk dari para politisi itu diubah agar pejabat publik dilarang ikut kampanye. Mengapa? Karena sudah berulangkali disampaikan para pakar, pengamat politik dan masyarakat bahwa seorang pejabat publik yang ikut serta dalam sebuah kampanye untuk memperjuangkan kelompoknya, partainya pasti akan sangat rentan dengan konflik kepentingan.
Sangat sulit rasanya memilah-milah sesosok pejabat ke dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan, apalagi bagi masyarakat awam. Siapa pun akan sulit mengidentifikasi atau membedakan apakah seorang Gubernur A, Walikota B atau Bupati C itu tengah bertindak sebagai juru kampanye atau jabatan publik yang melekat pada diri mereka.
Lantas apa bedanya perlakuan pejabat publik dengan pejabat BUMN yang dilarang ikut serta dalam kampanye seperti tercantum dalam Pasal 217 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang menyebutkan pejabat negara dilarang terlibat sebagai tim kampanye pasangan Capres-Cawapres.

Rabu, 10 Juni 2009

“Say No! to…”, “Say Yes! to…”

Dampak kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara gara-gara menulis keluh kesah atas pelayanan RS Omni Internasional melalui surat elektronik (email), kembali membuktikan betapa digdayanya kemajuan teknologi informatika.
Ruang maya publik alias Internet kini telah menjadi andalan sebagian masyarakat kita sebagai wahana untuk berbincang, bergosip, bersilaturahmi, berdiskusi bahkan sebagai tempat Curhat atau sekadar rasan-rasan serta mengungkapkan perasaan sehari-hari di dinding situs jejaring sosial semacam Facebook.
Internet sekaligus menunjukkan betapa besar dan ampuh pengaruhnya di dalam ranah kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya manusia masa kini. Lihatlah, betapa hebat dan cepat reaksi masyarakat ketika seorang Prita diperlakukan tidak adil oleh sistem hukum negeri ini.
Ratusan ribu pengguna Internet langsung menggalang “kekuatan” untuk mendukung Prita. Lebih dari 100.000 orang mendukung Prita lewat Internet. Sebagian lainnya bergegas membuat kelompok “penghujat” RS Omni Internasional dengan nama grup “Say No to RS Omni Internasional…” di Facebook. Sampai Minggu (7/6), jumlah anggotanya telah mencapai 33.000 lebih. Mereka yang bergabung dalam grup ini pun menumpahkan segala unek-unek, kejengkelan, kemarahan bahkan hujatannya kepada RS Omni Internasional.
Begitulah. Internet telah menjadikan pola komunikasi manusia di dunia ini melompat sangat jauh ke depan sekaligus memberi tingkat kepraktisan yang sangat tinggi. Dunia maya telah mengambil alih fungsi ruang publik konvensional seperti pasar, gedung parlemen, mal atau taman kota.

Agora
Kawan saya, Kang Yusran Pare, seorang wartawan senior kelompok penerbitan koran milik Kompas dalam blognya malah mengibaratkan dunia maya kini layaknya agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena. Internet, kata dia, tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai kebutuhan, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.
Perubahan pola komunikasi masyarakat kita itu sesuai benar dengan teori determinisme teknologi yang dipaparkan Marshall McLuhan. Dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), McLuhan secara umum menyebut bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri.
Dalam teori itu, McLuhan mengatakan teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik (Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007).
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa, "Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri."
Internet memang telah mengubah sebagian pola komunikasi kita. Dia juga memberikan dampak pada kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan bisa jadi menyentuh pula pada sisi perubahan budaya kita. Budaya tatap muka, suba-sita, ewuh-pekewuh, kegotong-royongan dalam bentuk pertemuan secara nyata mungkin secara berangsur hilang. Yang terjadi kemudian adalah hubungan asosial. Ini tentu akan mengkhawatirkan.
Mengutip Yusran Pare, Internet memang telah menjadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.
Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang sering kali tersumbat atau terkendala kesungkanan.
Karena itu pula, tak heran jika para politisi, calon anggota legislatif, Capres-Cawapres beserta tim suksesnya memanfaatkan kedigdayaan media alam maya ini untuk mencari simpati, berorasi, menggalang kekuatan serta ”menjatuhkan” lawan politik.
Sekalipun demikian, keterbukaan dan kebebasan alam maya yang bisa dimasuki siapa saja tersebut mestinya tetap memberi kesadaran moralitas, etika dan sopan santun bagi penggunanya. Setiap orang bisa membuat grup ”Say No to...” atau ”Say Yes to...” siapa dan apa saja di Facebook, yang penting koridor hukum, moral, etika, sopan santun, membangun sikap politik yang matang, jujur, jernih atau apapun namanya harus tetap dikedepankan.
Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah salah satu syarat utama demokrasi yang sehat. Sebab informasi yang jelas, jujur dan baik, pasti berasal dari kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong pada tindak anarkisme. q

Hukum untuk semua

Langkah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang melaporkan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tim kampanye SBY-Boediono ke Mabes Polri karena melakukan pelanggaran jadwal kampanye, semoga tidak berhenti sebatas retorika di media massa. Kita semua berharap, hukum berlaku untuk semua. Sehingga kasus itu bisa segera diselesaikan tuntas, hingga berkekuatan hukum tetap.
Seperti kita ketahui, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini melaporkan SBY dan tim kampanyenya pada Sabtu malam pekan lalu. SBY dilaporkan melakukan pelanggaran jadwal kampanye terkait acara Silaturahmi Nasional Koalisi Parpol SBY-Boediono di Pekan Raya Jakarta (PRJ), Sabtu (30/5) silam.
Dalam acara itu, SBY menyampaikan visi dan misi sebagai Capres. Acara disiarkan secara utuh oleh TVRI dan sebagian oleh MetroTV. "Tayangan siaran tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran pidana kampanye di luar jadwal, seperti yang diatur Pasal 213 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden," kata Nur Hidayat Sardini.
Mabes Polri sendiri telah memastikan penyidik mereka menindaklanjuti dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Capres SBY-Boediono tersebut. "Bila ada pelaporan yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan tiga pasangan calon dan memenuhi unsur berkaitan dengan UU Pilpres, maka penyidik akan menindaklanjuti," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira, di Mabes Polri, Jakarta, Senin awal pekan ini.
Sekali lagi, kami berharap bahwa proses hukum mengusutan kasus pelanggaran kampanye tersebut bisa segera diselesaikan. Terlebih lagi Pemilu Presiden kini tinggal menghitung hari. Sehingga jangan sampai ada ganjalan, persoalan terlebih lagi dampak yang muncul akibat ketidaksigapan aparat hukum dalam menuntaskan kasus itu. Semoga laporan Bawaslu bisa kelar sebelum Pemilu Pilpres.
Kita semua tentu memiliki keinginan agar pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun ini berjalan tertib, aman, lancar tidak ada satu pun hal yang menyebabkan timbulnya pertentangan, digugat keabsahannya akibat cacat hukum, misalnya. Karena jika itu terjadi, rakyatlah yang akan dirugikan baik secara moral maupun material, rugi tenaga, rugi waktu dan mungkin secara finansial.
Kita mestinya dapat belajar dari pengalaman beragam peristiwa penanganan hukum sebelumnya. Seperti kita ketahui, begitu banyak persoalan hukum yang berkait dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif silam yang hingga kini belum tuntas, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pelaksanakan pelaksanaan Pilpres.
Terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan kepada KPU di Kabupaten Nias Selatan, Sumatra Utara (Sumut) dan Kabupaten Yakuhimo, Papua, untuk menggelar pemungutan suara dan penghitungan ulang Pemilu legislatif. Persoalan seperti ini tentunya sedikit banyak akan mengganggu proses Pemilu secara keseluruhan.
Terkait dengan hal itulah, selain aparat hukum harus sigap, tangkas, cermat dan bertindak cepat hendaknya mereka juga berlaku adil dan tidak pandang bulu. Sekalipun yang dilaporkan adalah seorang Presiden, penegak hukum jangan ragu-ragu untuk menegakkan kebenaran demi kepentingan dan rasa keadilan masyarakat.
Seperti sering disampaikan sejumlah pakar, dalam menjalankan tugas para penegak hukum selayaknya menerapkan paradigma penegakan hukum yang progresif, seperti digagas Satjipto Rahardjo. Penegakan hukum yang progresif adalah penegakan hukum yang dibangun atas asumsi bahwa hukum dibuat bukanlah untuk hukum, tetapi hukum dibuat untuk masyarakat. Penegakan hukum progresif menempatkan keadilan dan kebenaran di atas peraturan atau undang-undang.

Prita & kebebasan berpendapat

Prita Mulyasari, ibu dua anak yang diperkarakan Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang kini muncul sebagai tumbal sekaligus pahlawan bagi pendewasaan dalam kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia. Ya, dia layak mendapat predikat itu.
Dengan tindakannya berkeluh kesah melalui dunia maya, ketabahannya menghadapi tuntutan hukum rumah sakit serta penderitaannya selama dipenjara telah menggugah semangat solidaritas serta pencakrawalaan wacana rakyat Indonesia tentang apa itu kebebasan berpendapat yang sebenarnya adalah hak setiap warga negara.
Pernyataannya yang ikhlas, pasrah atas persoalan yang menimpa dia demi kepentingan khalayak luas sungguh telah menggugah empati jutaan orang. ”Semoga apa yang saya alami ini tidak terjadi lagi kepada orang lain, cukup saya saja. Karena itu saya meminta pihak hukum (aparat yang berwenang, red) memperhatikan aspirasi masyarakat,” kata dia dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi di Jakarta, sesaat setelah dia dibebaskan.
Apa yang disampaikan Prita harus menjadi catatan penting bagi para penegak hukum di negeri ini. Bahwa hukum sesungguhnya bukanlah sekadar pasal-pasal, pembuktian-pembuktian normatif, namun lebih jauh lagi yaitu mengenai rasa keadilan di masyarakat. Ini perlu digarisbawahi karena Prita jelas telah diperlakukan tidak adil, dizalimi dan diperlakukan secara sewenang-wenang atas nama hukum dan kekuasaan.
Prita, ibu rumah tangga berusia 32 tahun itu ditahan karena menulis keluhan di Internet. Keluhannya yang bersifat pribadi dan bahkan semula hanya disampaikan kepada teman-temannya lalu menyebar ke dunia maya. Pengacara Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang menilai apa yang dilakukan Prita merusak nama baik kliennya. Dasar penahanan Prita adalah karena ia dianggap melanggar Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Apa yang dialami Prita itu jelas sebuah penerapan hukum yang tidak memperhatikan hal-hal yang berkait dengan rasa keadilan masyarakat. Prita dianggap ”penjahat”. Ibu dua orang anak yang masih Balita itu dinilai telah merampas keuntungan finansial rumah sakit. Karena akibat tulisan Prita, katanya, rumah sakit telah kehilangan kepercayaan dan itu mengurangi pemasukan.
Kami sungguh prihatin dengan langkah yang dilakukan RS Omni, kepolisian dan kejaksaan. Kebebasan berpendapat mestinya telah menjadi ranah publik yang tidak bisa serta-merta dijerat dengan hukum positif. Berpendapat adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia. Keluhan, mestinya dijawab dengan penjelasan simpatik. Kecuali jika memang ada unsur kesengajaan untuk menjatuhkan seseorang atau lembaga tanpa argumen jelas.
Seharusnya RS sebagai lembaga pelayanan publik lebih bersifat proaktif untuk melayani segala macam keluhan pasien. Hal lain adalah mengeluh atas sebuah layanan yang diberikan oleh produsen seharusnya diselesaikan terlebih dahulu secara arif dan bijaksana. Tidak lantas sapa sira sapa ingsun, merasa mempunyai kuasa lantas bertindak sewenang-wenang.
Dalam teori kehumasan, pendekatan secara kemanusiaan adalah hal utama dalam upaya menjaga citra. Namun ketika kekuasaan yang berbicara, beginilah akibatnya, RS Omni pasti kehilangan simpati dari masyarakat bahkan kini menjadi pihak yang terhujat. q

Hidup tanpa minyak tanah bersubsidi…

Minyak tanah nonsubsidi dengan harga keekonomian mulai didistribusikan di sejumlah pangkalan minyak di wilayah Soloraya awal bulan ini. Minyak berwarna ungu tersebut disalurkan dari agen-agen ke sejumlah pangkalan minyak dengan harga Rp 7.500/liter. Diperkirakan, harga jual ke konsumen bisa antara Rp 8.000 sampai Rp 9.000, harga yang sebelumnya pasti tak pernah dibayangkan masyarakat.
Setelah puluhan tahun kita begitu tergantung kepada minyak tanah untuk memasak, pelan tapi pasti, mau tidak mau, senang atau tidak senang, mulai sekarang kita harus bisa hidup tanpa minyak tanah bersubsidi. Masyarakat awam khususnya, takkan pernah menyangka harga minyak tanah jauh di atas bensin.
Itulah kebijakan. Tentu semua pihak harus memahami bahwa langkah konversi minyak tanah ke gas adalah tindakan yang telah dipikirkan masak-masak dan tentu saja bertujuan sangat baik. Seperti disampaikan Pemerintah bahwa konversi itu sangat terkait dengan penghematan energi.
Wapres Jusuf Kalla dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan bahwa bila kita berhasil dalam konversi minyak tanah, lalu dilanjutkan penghematan listrik, permasalahan energi di negeri ini akan selesai. ”Siapapun pemerintahnya, tahun 2010 akan aman, karena subsidi total (untuk energi) paling banyak hanya 20 persen dari anggaran," kata Kalla, medio 2008.
Penghematan energi dengan cara konversi minyak ke elpiji itu penting dilakukan karena subsidi minyak tanah selama ini sebenarnya adalah Rp 6.000/liter, sedangkan elpiji hanya Rp 900/kg. Jadi, konversi minyak tanah memang harus berhasil, karena subsidi yang besar itu membuat keborosan anggaran negara luar biasa. Subsidi minyak tanah mencapai Rp 43 triliun, sama dengan anggaran pendidikan.
Keputusan sudah ditetapkan. Langkah sosialisasi konversi, meskipun dengan segala kontroversi dan berbagai hambatan telah berjalan. Bagi sebagian kalangan, bisa jadi ini akan sangat menyulitkan. Namun kita pantang berjalan mundur. Yang perlu dilakukan sekarang adalah konsistensi serta kesinambungan kebijakan itu dengan menanggung segala konsekuensinya.
Akan sangat naif jika sebuah kebijakan justru menyengsarakan rakyat. Apalagi kalau langkah itu justru membuat kita harus kembali ke masa lalu. Misalnya, penduduk negeri ini ketika memasak harus menggunakan kayu bakar atau arang. Yang lebih celaka, jika penggunaan kayu bakar tersebut kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.
Karena itu, konversi yang sudah dicanangkan sejak dua tahun silam harus terus dikawal. Tidak lantas berhenti ketika subsidi atas minyak tanah itu akhirnya diterapkan. Kami melihat, penduduk negeri ini masih banyak yang sebelumnya sangat bergantung kepada minyak tanah.
Sosialisasi, pengawasan berkesinambungan harus terus dilaksanakan hingga benar-benar tidak ada lagi keluhan atas kebijakan itu. Hingga tidak ada lagi perusakan lingkungan akibat penebangan pohon hanya untuk keperluan bahan bakar. Pemerintah hendaknya juga mencari solusi lain sebagai bahan sumber energi alternatif.
Misalnya memanfaatkan minyak dari jarak, briket grajen untuk bahan bakar yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Kreativitas masyarakat untuk mencari sumber energi alternatif seperti itulah yang juga perlu terus kita dorong. q

Senin, 01 Juni 2009

Konflik kepentingan, menteri & kampanye

Mulai 2 Juni hari ini, kampanye calon presiden dan wakil presiden RI secara resmi dimulai. Secara tak resmi, para Capres-Cawapres sebenarnya telah melakukan kegiatan itu secara terang-terangan sejak mereka menetapkan pasangan masing-masing sebulan lalu.
Kami berharap, pada masa kampanye ini para kandidat presiden dan wakil presiden beserta tim sukses mereka benar-benar menjunjung tinggi etika, moral, sopan santun atau apa pun namanya sehingga selama masa kampanye situasi dan kondisi negeri ini tetap kondusif, pemerintahan tetap berjalan sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Salah satu hal yang patut menjadi perhatian para kandidat Capres-Cawapres beserta para tim sukses mereka adalah soal keikutsertaan para menteri yang akan menjadi juru kampanye. Sebab, dalam kampanye Capres-Cawapres kali ini akan banyak Menteri Kabinet Indonesia Bersatu akan terlibat.
Berbagai kritik dan saran telah dilontarkan sejumlah pihak agar para menteri tidak ikut serta menjadi tim sukses salah satu pasangan Capres-Cawapres. Alasan paling kuat mengapa sebaiknya para menteri itu tidak terlibat dalam kampanye Capres-Cawapres, tak lain karena hal itu akan sangat rentan dengan konflik kepentingan.
Betul memang, di dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres tidak ada larangan mengenai keikutsertaan menteri sebagai tim sukses atau juru kampanye Capres-Cawapres. Terlebih lagi jabatan menteri adalah jabatan politis bukan karir, sehingga keterlibatan mereka di dalam tim sukses kampanye Capres-Cawapres menjadi sangat wajar.
Namun perlu diingat, terlepas dari apakah jabatan itu politis atau tidak seorang menteri adalah pejabat publik. Mereka harus sadar sesadar-sadarnya ketika seseorang telah menjadi ”pejabat publik” maka secara etika dan moral dia sesungguhnya sudah menjadi ”milik” publik bukan lagi milik golongan tertentu, atau anggota partai tertentu.
Sangat sulit rasanya memilah-milah sesosok pejabat ke dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda, apalagi masyarakat awam. Sekalipun perlakuan secara undang-undang berbeda bagi incumbent Presiden dan Wakil Presiden dalam masa kampanye kali ini, namun sebenarnya kita sulit membedakan SBY sebagai seorang Presiden atau Calon Presiden. Hal yang sama terjadi kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla saat kunjungan kerja ke berbagai daerah. Sedang jadi Wapres kah dia? Atau sedang berkampanye sebagai Capres.
Tentunya akan lebih sulit lagi bagi kita untuk membeda-bedakan keikutsertaan menteri dalam sebuah kampanye Capres-Cawapres. Karena akan sangat rawan dengan penyalahgunaan otoritas, wewenang bahkan mandat. Belum lagi penyalahgunaan fasilitas pemerintah, ketika seorang menteri melaksanakan kampanye. Singkatnya, menteri ikut berkampanye Pilpres sungguh rawan memunculkan konflik kepentingan.
Kami menganggap apa yang dilakukan Gubernur Jateng Bibit Waluyo untuk tidak ikut berkampanye mendukung salah satu pasangan Capres-Cawapres secara etika dan moral adalah lebih baik di mata publik. Tentunya bagi partai yang menaungi dia, yang mengusung Bibit menjadi Gubernur adalah langkah yang menjengkelkan. Namun begitulah seharusnya seorang negarawan. Ketika dia sudah ditahbiskan sebagai pejabat publik, maka mestinya dia sudah tidak lagi hanya ”berpihak” pada satu golongan atau kelompok tertentu.

Rabu, 27 Mei 2009

Kebangkitan & wakil rakyat

Hari Rabu, 20 Mei 1908 silam, dr Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah perkumpulan yang mereka beri nama Boedi Oetomo. Sebuah perhimpunan yang mereka maksudkan untuk membangkitkan para pemuda Indonesia untuk mengejar ketertinggalan bangsanya dalam segala bidang akibat kolonialisme Belanda.
Terbentuknya Boedi Oetomo itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang pada hari ini, hari yang sama, Rabu 20 Mei 2009, 101 tahun kemudian bangsa kita telah mengalami kemajuan yang luar biasa pesat jika dibandingkan pada masa itu. Namun di sisi lain, sesungguhnya masih begitu banyak kekurangan, ketertinggalan dan keterbelakangan yang dialami bangsa ini jika kemudian kita bandingkan dengan negara lain.
Oleh karena itu, rasanya tidaklah berlebihan jika momentum Kebangkitan Nasional hari ini, kita kaitkan dengan ditetapkannya hasil Pemilu legislatif yaitu para calon penghuni gedung Dewan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh Indonesia, Minggu (17/8) silam.
Mengapa peringatan Kebangkitan Nasional dan penetapan para calon anggota legislatif itu menjadi sangat relevan dihubungkan? Tak lain karena para wakil rakyat adalah komponen bangsa yang berperan besar dalam menentukan arah dan tujuan bangsa ini hendak ke mana akan berjalan. Sekaranglah saatnya para wakil rakyat yang sebagian besar di antaranya adalah wajah-wajah baru, berperan maksimal untuk menunjukkan secara nyata peran dan fungsi mereka sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya.
Sebab sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pascareformasi silam, begitu banyak problem yang membelit para anggota Dewan. Mulai kasus asusila, premanisme, korupsi, kolusi bahkan yang berbau nepotisme tetap saja terjadi. Buktinya, puluhan bahkan mungkin ratusan anggota Dewan di seluruh Indonesia ini ramai-ramai diperkarakan ke pengadilan bahkan akhirnya harus meringkuk di bui sebagai pesakitan.
Itu semua terjadi tak lain dan tak bukan lantaran mereka belum memiliki kesadaran tentang bagaimana membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan seperti yang diajarkan oleh para pendahulu kita, dr Soetomo dan kawan-kawan. Sebagian di antara mereka yang terbelit masalah lebih karena mementingkan ego pribadi, kepentingan kelompok dan golongannya. Banyak anggota Dewan yang perangai, tabiat dan perilakunya tak menggambarkan sebagai seorang wakil rakyat. Kesadaran diri yang tipis atas peran dan fungsi mereka sebagai perwujudan wakil rakyat inilah yang tidak sesuai dengan filosofi dibentuknya Boedi Oetomo 101 tahun silam.
Nama Boedi Oetomo dipilih para pahlawan bangsa itu memiliki pengharapan yang besar agar bangsa ini bisa bangkit dengan cara yang baik. “Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat, kemahirannya.
Semoga saja para anggota legislatif hasil Pemilu 2009 mampu mengartikan sekaligus mengimplementasikan makna kebangkitan nasional yang ditandai dengan didirikannya Boedi Oetomo 101 tahun silam. Kita berharap, tahun 2009 menjadi salah satu tonggak sejarah baru bagi kebangkitan para wakil rakyat menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan rakyat; yaitu menjalankan amanah konstituennya berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat serta kemahirannya. q

Facebook bermata dua…

Situs jejaring sosial di Internet bernama Facebook, kembali hangat dibicarakan setelah sejumlah ulama di Jawa Timur, tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkan fatwa (haram) bagi penggunanya. Sikap keras para ulama itu kabarnya tidak lain didasarkan karena para santri di pesantren sudah tidak konsentrasi ke pelajaran. Mereka malah kecanduan meng-update status di Facebook.
Di Iran, seperti diberitakan koran ini, pemerintah setempat bahkan memblokir situs yang sedang naik daun ini. Namun langkah tersebut diyakini merupakan salah satu strategi untuk mencegah lawan-lawan politik Presiden Mahmoud Ahmadinejad memanfaatkan media komunikasi alternatif itu untuk menggalang dukungan dalam rangka Pemilu Presiden Iran bulan depan.
Luar biasa memang ekses situs dunia maya itu. Di usianya yang baru lima tahun, website yang dibangun remaja berusia 19 tahun Mark Zuckerberg pada tahun 2004, kini telah mencandui ratusan juta umat manusia di bumi ini sehingga memberi dampak ekonomi, sosial, politik hingga ke ranah pertahanan dan keamanan negara.
Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur. Facebook dianggap telah mengusik tatanan sosial di wilayah pesantren, sehingga pengasuh pondok merasa perlu mengeluarkan fatwa agar santrinya tak menjadi ”autis” gara-gara Facebook-an melulu. Demikian juga di Iran, Facebook bahkan dimaknai secara politis dinilai bakal bisa meruntuhkan dominasi penguasa sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan pemblokiran.
Menyikapi fenomena Fecebook tersebut, kami berpendapat mestinya kita bijak. Ibarat pisau bermata dua, Facebook pun bisa demikian. Tergantung bagaimana memperlakukan teknologi modern itu. Pisau akan bermanfaat jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun pisau akan menjadi alat berbahaya jika digunakan untuk mencederai seseorang. Ada istilah the man behind the gun, tergantung siapa orang yang membawa senjata.
Dengan demikian, kita tak perlu kemudian ikut-ikutan mencibir atau berburuk sangka ketika ada pihak tertentu yang –seperti para ulama di Jatim—kemudian melarang atau mengharamkan pemanfaatan Facebook tersebut. Toh pelarangan itu pasti memiliki tujuan mulia. Apalagi hal tersebut terkait dengan ranah yang sangat terbatas.
Namun di sisi lain, kami pasti menentang jika pelarangan atau ada keputusan memblokir Facebook seperti di Iran, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan politis atas kepentingan seseorang, kelompok atau bahkan penguasa untuk mempertahankan status quo. Di era demokrasi serta kemajuan teknologi informasi yang tanpa batas ini, kebijakan pemblokiran, pemberangusan, pembredelan atau apapun namanya adalah sebuah bodoh sekaligus melanggar hak asasi manusia.
Kita tentunya sependapat dengan Ketua Umum PKNU Choirul Anam yang menyebut bahwa bukannya para ulama tidak ada kerjaan lantas menyikapi fenomena Facebook, namun apa yang dilakukan adalah gerakan untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia. Namun tidak perlu pula dikeluarkan fatwa haram, ataupun pemblokiran pemerintah terhadap situs jejaring sosial tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana sebaiknya memfilter dan meningkatkan peranan semua pihak termasuk orang tua dalam menyikapi kemajuan teknologi informasi dengan segala konsekuensinya. q

Minggu, 17 Mei 2009

Asu gedhe menang kerahe…

Di Jakarta, gegap gempita pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden telah berakhir. Namun resonansinya pasti akan terus bergema. Elite Parpol masih berakrobat sedemikian rupa untuk berkoalisi, saling mempengaruhi, memprovokasi kalau perlu memanas-manasi kelompok lainnya dengan tujuan akhir: meraih kekuasaan.
Cara apa pun mereka tempuh untuk memperoleh suara besar agar ketika menjadi oposan bertaring tajam, dan jika menjadi penguasa memiliki dukungan yang tak tergoyahkan. Orang Jawa bilang ”asu gedhe menang kerahe…”, anjing besar pasti menang dalam perkelahian.
Di sudut Kota Surabaya, tepatya di Jl Pemuda seorang pedagang kaki lima Sumariyah, 22, yang berjualan bakso berjibaku menyelamatkan nyawa anaknya yang masih balita, Horiyah, 4, akibat tersiram kuah panas dan sebagian tubuhnya terbakar saat berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Satpol PP yang merazia kawasan itu.
Ketika berlari membawa gerobak, si bocah dia naikkan di atasnya. Satpol PP mengejar. ”Rambut Sumariyah ditarik dari belakang. Pegangan tangannya pada gerobak terlepas. Gerobaknya ambruk, kuah baksonya tumpah dan kompor yang ada di dalam gerobak ikut terguling. Apinya menyambar dinding kayu gerobak,” ungkap Masruri, saksi di tempat kejadian. Sialnya, tumpahan kuah itu mengguyur sang anak termasuk api kompor ikut menjilat tubuh Horiyah yang terjungkal bersamaan ambruknya gerobak sang bunda. (Surya, 12/5)
Inilah ironi. Sebuah gambaran yang sangat kontras di antara orang-orang yang tengah berambisi untuk ”menguasai” negara sementara di sisi lainnya terdapat rakyat jelata yang tengah berjuang untuk mencari sesuap nasi namun harus berurusan dengan para penguasa yang sewenang-wenang. Adakah nantinya empati para elite bangsa yang tengah berebut kuasa itu muncul ketika melihat penderitaan rakyatnya? Untuk tujuan apakah mereka ingin merebut kekuasaan?
Para elite yang kini sedang ”bertempur” untuk meraih kekuasaan seharusnya memahami benar apa sesungguhnya filosofi terbentuknya sebuah negara. Negara tak ubahnya sebuah organisasi besar dengan tujuan utamanya adalah memudahkan anggotanya (yaitu rakyat) untuk mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan, menuju rakyat yang adil, makmur, sejahtera, aman dan sentausa.
Keinginan bersama adalah rumusan yang kemudian disepakati bersama dalam bentuk sebuah dokumen konstitusi atau undang-undang. Undang-undang inilah yang harus dijunjung sebagai dokumen hukum tertinggi untuk mengatur keberlangsungan negara, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang juga harus ditaati rakyat sebagai anggota negara serta pengelola negara sebagai pengayom rakyatnya.
Negara yang terancam
Insiklopedia dunia maya Wikipedia.org menyebutkan bahwa dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkret pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan. Fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya.
Lantas bagaimana jika masih ada saja rakyat yang terancam dalam menjalankan kehidupannya di sebuah negara seperti yang dialami pedagang bakso di Surabaya tadi? Itu artinya negara belum bisa menjalankan fungsinya secara benar. Siapa yang harus disalahkan? Tentunya pengurus negara, yaitu penguasa yang direpresentasi pemerintah. Layaknya organisasi biasa, orang yang diserahi mengurus kepentingan rakyat dipilih secara demokratis. Namun ketika mereka telah diberi mandat haruslah menjalankan amanat penderitaan rakyat, bukan bertindak sewenang-wenang.
Moga-moga para elite Parpol yang sedang berusaha meraih kekuasaan itu benar-benar ingat akan fungsi dan perannya sebagai pengayom rakyat. Karena kalau kita lihat ambisi dan sepak terjang mereka dalam menggalang kekuatan, menjalin koalisasi pating penthalit, miyar-miyur kayak ager-ager gitu saya kok jadi khawatir. Jangan-jangan mereka berprinsip asu gedhe menang kerahe. Kalau benar seperti itu, negara ini benar-benar sedang terancam,” papar Denmas Suloyo saat wedangan di News Cafe bersama kelompok setianya.
Bisa jadi benar apa yang dikhawatirkan Denmas Suloyo itu. Karena setelah kolonialisme hilang dari peradaban dunia, salah satu ancaman besar bagi sebuah negara salah satunya justru berasal dari para penguasa itu sendiri. Apalagi jika penguasa menerapkan prinsip asu gedhe menang kerahe, yang besar pasti menang saat berkelahi. Maka rakyat jangan-jangan yang akan menjadi korban, tirani minoritas penguasa bisa saja berubah menjadi bencana bagi negara dan rakyatnya.
Dalam peribahasa Jawa, asu gedhe menang kerahe bermakna; Orang yang memiliki dukungan besar tentu akan menang dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki pendukung. Namun nilai yang dikandung dalam peribahasa itu sesungguhnya adalah, janganlah bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang lebih lemah, jangan mentang-mentang kuat lantas menekan yang lemah. Jangan mentang-mentang berkuasa kemudian menginjak rakyat yang tak berdaya. Jangan mentang-mentang di parlemen menjadi penguasa mayoritas lantas bertindak sesuka hati tak mengindahkan kepantingan rakyat.
Kata kawan saya, Denmas Suloyo, pengingatan itu penting karena di dunia ini tidak ada yang kekal abadi. Sekarang mungkin sedang berkuasa suatu ketika bisa saja kekuasaan itu lenyap. Oleh karenanya setiap orang harus berhati-hati dalam bertindak jangan adigang adigung adiguna ketika tengah berkuasa. ”Manusia hendaklah berbuat adil dalam setiap gerak dan langkahnya sesuai dengan ajaran agama bahwa Tuhan adalah Maha Adil… maka sifat baik itu juga harus ditiru umatnya…” kata Denmas Suloyo yang kemarin tampak arif bijaksana.

Rabu, 13 Mei 2009

Ironi sekolah gratis di republik krisis…

Denmas Suloyo yang gagal melenggang ke kursi Dewan, Minggu kemarin, kelihatannya sudah bisa menerima keadaan. Ketika berkumpul di News Cafe kampung sebelah pun, dia tampak mulai ceplas-ceplos, kembali mengkritisi kondisi negeri. Meskipun masih dengan gaya waton sulaya-nya, tema obrolan yang disampaikan sesuai newspeg terkait Hari Pendidikan Nasional yang jatuh 2 Mei lalu.
"Saya ini lagi jengkel dengan iklan Cut Mini soal sekolah gratis di mana-mana yang ditayangkan televisi-televisi itu lho Mas. Saya kok mencium aroma politis, kampanye terselubung dan mengandung unsur penipuan,” kata Denmas Suloyo mulai membuka pembicaraan dengan kawan-kawannya.
”Wah lha jangan terburu-buru mengambil kesimpulan gitu ta Denmas. Siapa tahu itu benar-benar iklan layanan masyarakat yang bermaksud baik untuk menumbuhkan semangat belajar anak bangsa,” papar Mas Wartonegoro, sahabat Denmas Suloyo yang setia setiap saat melayani udarasa kawannya itu.
"Tapi substansi permasalahan pendidikan di negeri ini kan bukan sekadar sekolah gratis. Memangnya ada sekolah negeri yang benar-benar gratis… tis… tis, tidak ada kan Mas. Para orangtua tetap saja harus membayar seragam, membayar iuran ini itu dan sebagainya... dan sebagainya. Yang lebih penting menurut saya kan justru soal kualitas, mutu pendidikan, termasuk di dalamnya sumber daya manusianya, kurikulumnya. Masalah Ujian Nasional (UN) saja sampai sekarang banyak diprotes kan?” papar Denmas Suloyo tak mau kalah.
”Betul memang. Tetapi soal biaya pendidikan kan juga menjadi hal sangat penting. Banyak anak yang tidak bisa sekolah, tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar karena harus membayar SPP. Nah kalau itu sudah dihapus kan bisa mengurangi beban para orangtua,” jawab Mas Wartonegoro.
"Soal menggratiskan sekolah kan tidak perlu sampai digembar-gemborkan sebegitu gencarnya di televisi. Jangan-jangan nanti rakyat malah bingung mencari sekolah negeri yang gratis, padahal faktanya sulit kan. Tak perlu banyak promosi, yang penting realisasi. Nyatanya saya juga masih belum tahu, di mana SD dan SMP gratis di kota kita ini coba… katanya di mana-mana,” papar Denmas Suloyo tetap tak mau kalah.
Ketika obrolan kian gayeng, tiba-tiba di televisi yang dipasang di News Cafe tempat mereka ngobrol menyiarkan iklan yang dimaksud Denmas Suloyo tadi. "Biar bapaknya supir angkot, anaknya bisa jadi pilot… Biar bapaknya loper koran, anaknya bisa jadi wartawan… Sekolah harus bisa… mau tak?” Begitulah kalimat-kalimat bernada optimistis meluncur dari mulut Cut Mini dalam logat Melayu seperti saat artis itu menjadi Bu Muslimah dalam film Laskar Pelangi yang disambut Denmas Suloyo dengan ucapan, ”Ahh… Tenaneeee?”

Ironi republik krisis

Gencarnya iklan Sekolah Gratis di Mana-mana yang dilancarkan Depdiknas itu memang kemudian mengundang pro dan kontra. ada yang menganggap iklan itu sah-sah saja, biasa saja, positif karena mengampanyekan kebaikan. Akan tetapi tidak sedikit yang menganggap sebaliknya bahwa iklan itu hanyalah sebuah propaganda, tak lebih dari sebuah kampanye politis untuk mendongkrak citra positif pemerintah yang sedang berkuasa atau bahkan ada yang menyebut bahwa iklan itu menipu.
Pakar komunikasi politik Universitas Airlangga (Unair) Sukowidodo, misalnya, terang-terangan menganggap iklan terbaru pemerintahan SBY itu cenderung menipu. Iklan pendidikan gratis itu, kata dia, menafikan bahwa kondisi dunia pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Suko mencontohkan banyak gedung sekolah yang tak representatif atau minimnya sarana dan prasarana pengembangan sekolah.
Selama ini, anggaran yang tersedia masih sebatas untuk pembiayaan operasional, bukan murni gratis. "Saya kira ada sebuah ironi dalam iklan itu bahwa sekolah gratis tidak sama dengan apa yang diberikan pemerintah (untuk dunia pendidikan). Yang untuk membangun sebuah gedung sekolah layak masih kurang,’’ katanya (Surabaya Post, 29/4).
Jadi tidak salah kalau ada yang mengorelasikan antara iklan pendidikan gratis itu dengan kenyataan yang ada di republik ini sebagai sebuah ironi. Dunia pendidikan di negeri yang masih dilanda krisis ini memang penuh dengan ironi. Di luar persoalan krisis finansial, seperti persoalan sekolah gratis dan sejenisnya, masalah definisi ”membentuk manusia Indonesia seutuhnya” seperti yang tersirat dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, sudah terlihat adanya ketidaksinkronan antara harapan dan kenyataan kebijakan yang ada.
Pada Pasal 1 UU Sisdiknas tersebut nyata-nyata disebutkan bahwa, ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Akan tetapi, bagaimana jika hal itu dikaitkan dengan kebijakan UN, tes formal yang dengan semena-mena mengeksekusi yang siswa tidak bisa meneruskan pendidikan selanjutnya karena tidak lulus. Padahal peserta didik itu memiliki kepribadian mulia, berketerampilan luar biasa dalam bidang tertentu serta mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi. Sayangnya mereka tidak memiliki kecerdasan dalam bidang Matematika, misalnya. Bukankah ini sebuah ironi?
Karenanya, saya sependapat dengan Munif Chatib, seorang konsultan pendidikan dan manajemen dalam buku Sekolahnya Manusia yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes formal). Sebab setelah diteliti, kecerdasan seseorang itu ternyata selalu berkembang (dinamis) tidak statis. Tes yang dilakukan untuk menilai kecerdasan seseorang, praktis hanya menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, apalagi sepuluh tahun lagi…q

Senin, 20 April 2009

Akrobat politik minus rasa malu…

Denmas Suloyo sedang jadi lakon di kampung, minimal di komunitas jagongan News Cafe yang selama ini menjadi ajang dia dan kawan-kawannya membahas beragam isu sosial politik yang sedang menghangat hingga yang panas mongah-mongah seperti heboh soal koalisi partai dan kegagalannya menjadi wakil rakyat.
”Jan, mbelgedhes tenan kok. Tiwas nyumbang dana pembangunan jalan kampung, tetap saja saya tidak dipilih. Masak dari 300-an suara di TPS ini, saya hanya dapat empat… ” kata Denmas Suloyo dengan intonasi lumayan tinggi disertai nada anyel.
”Ya sudahlah Denmas, diikhlaskan saja. Saya kan dulu sudah bilang, bahwa Pemilu tahun 2009 ini beda dengan yang sebelum-sebelumnya. Masyarakat sangat leluasa memilih siapa yang dikehendaki menjadi wakilnya di Dewan. Kalau sampean hanya dapat dukungan empat suara, ya berarti sampean belum dipercaya… rasah nesu.. rasah ngamuk… ngisin-isini,” kata Mas Wartonegoro memberi nasihat.
”Wah, lha ya nggak bisa begitu Mas. Ini namanya pengkhianatan. Prediksi saya, seharusnya saya dapat 150-an suara di TPS ini… lha kok ming papat. Ini kan penghinaan ta, jan mbelgedhes tenan ki. Ini pasti ada yang nggak beres… saya mau usut, saya akan ajak kawan-kawan yang kalah untuk gabung mencari ketidakberesan ini,” papar Denmas Suloyo makantar-kantar.
Halah-halah… sampun ta Denmas, nyebut. Namanya sudah kalah mbok ya sudah, tidak usah bikin manuver yang aneh-aneh. Apa panjenengan tidak malu. Tidak usah ikut-ikutan berakrobat seperti para elite politik yang di sana itu,” tambah Mas Wartonegoro sambil telunjuknya nuding-nuding ke arah barat.

Akrobat politik
Ya… di Indonesia bagian ”barat” sana, yang merupakan episentrum gempa politik nasional pascapemilu, para aktor utama politisi di negeri ini sedang berakrobat dengan berbagai cara seolah mengabaikan rasa malu, etika bahkan rasionalitas daya nalar demi mencari sebuah eksistensi atau mungkin ”kewibawaan” di mata rakyatnya.
Ketika di satu sisi sebagian di antara para aktor itu tidak mempercayai model hitungan cepat yang dilakukan lembaga survei nasional, di satu sisi lainnya mereka buru-buru menggalang sebuah persekutuan, persekongkolan, membangun koalisi atau apapun namanya, untuk menyikapi ”kekalahan” yang diumumkan lembaga survei tersebut.
Mereka secara bersama-sama menentang, menggugat, bahkan melakukan perlawanan, terhadap penyelenggara Pemilu. Mereka, secara bersama-sama pula hendak menjadikan ”pemenang” Pemilu beserta sekutunya sebagai ”musuh” bersama, lawan politik yang harus dihadapi pada posisi yang berlawanan (oposisi). Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa memang harus demikian tradisi dalam dunia politik? Sekalipun kalah, harus terlihat bermartabat, tampak paling hebat agar rakyat meyakini bahwa merekalah kelompok yang paling layak memimpin negeri ini? Atau jangan-jangan mereka malah tidak peduli dan mengabaikan suara rakyat...
Akrobat politik yang sedemikian vulgar seperti itulah yang kian memberi kesan kuat kepada publik bahwa dalam dunia politik sesungguhnya memang tidak pernah ada kawan atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi untuk meraih kekuasaan. Dulu musuh bebuyutan, demi meraih kekuasaan sekarang tiba-tiba menjadi kawan seperjuangan. Citra politik seperti itulah yang memberi kesan bahwa politik memang kotor, tidak pernah ada konsistensi di dalamnya dan nyaris tanpa ada kejujuran...
Coba kita buka lagi lembar sejarah Pemilu 1999 silam. Saat pemilihan presiden masih dilakukan MPR, muncul fraksi yang dengan amat militan menggalang koalisi untuk mengganjal Megawati, sang ketua partai pemenang Pemilu masa itu, untuk menaikkan Gus Dur sebagai presiden. Mereka berhasil dengan ”gemilang” meruntuhkan partai pemenang Pemilu menduduki puncak kepemimpinan pemerintahan. Tapi apa yang terjadi kemudian, tak berselang dalam hitungan tahun... koalisi itu pula yang menggulingkan sang Kiai Ciganjur ini dari istana.
Demikian halnya pada Pemilu 2004. Pemimpin partai besar berangkulan dalam Koalisi Kebangsaan untuk menghadang laju SBY pada pemilihan presiden. Toh, persekutuan ini buyar 45 hari kemudian, ketika aktor dari PPP tiba-tiba melakukan improvisasi politik persis pada saat yang menentukan siapa yang akan memimpin parlemen.
Kang Yusran Pare, seorang pemimpin redaksi sebuah koran di luar Jawa, guru sekaligus kawan saya, di blog-nya menulis tentang betapa rasa malu itu telah luntur pada diri para aktor politik di negeri ini. Dia menulis, ”Aktor besar politik selalu menunjukkan kapasitas dan kepiawaiannya berakting manakala kepentingan mereka mulai terancam, memperlihatkan keahlian mereka mempraktikkan jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.”
Dan... itu berbeda dengan apa yang harus dijalani para politisi pemula di berbagai pelosok negeri ini yang harus menanggung sendiri segala konsekuensi akibat kekalahannya. Di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, Sri Hayati, 23, misalnya, Caleg yang sedang hamil ini ditemukan tewas tergantung di sebuah gubuk di tengah sawah. Banyak yang meyakini, Sri memilih bunuh diri daripada harus menanggung malu karena tidak terpilih sebagai anggota DPRD. Ia memilih meninggalkan suami dan keluarga serta kerabatnya, daripada harus menghadapi kenyataan bahwa rakyat yang dia ingin wakili ternyata tak memilihnya.
Politisi pemula seperti Sri Hayati dari Dusun Langkaplancar, Ciamis, Jawa Barat itu kata Kang Yusran, tak punya keterampilan akting maupun jurus ampuh untuk melakukan akrobat politik manakala menyikapi kekalahannya. Ia merasa tak berharga ketika warga tidak percaya kepadanya. Ia tak punya kemampuan retoris untuk menjelaskan kegagalan itu kepada suami, orangtua, saudara dan tetangga. Ia malu karena ternyata tidak terpilih. Langkah Sri jelas keliru, tapi ”rasa malu”... itulah yang sebenarnya membedakan Sri dengan para aktor politik tingkat tinggi. q

Kamis, 09 April 2009

Jangan salah pilih… Caleg juga manusia

“Mas… jangan salah pilih ya nanti tanggal 9 April,” begitu pesan Denmas Suloyo kepada teman-temannya di News Café tempat biasa kami ngudarasa beragam problem sosial politik yang sedang ramai diperbincangkan di negeri ini.
“Jangan salah pilih siapa ta Denmas maksudnya?” jawab Mas Wartonegoro, pura-pura tidak tahu.
“Lhah… lha yo saya to? Saya ini kan Caleg, sampeyan sudah mengenal saya malah teman dekat. Jadi siapa lagi yang akan panjenengan pilih, kecuali saya,” jawab Denmas Suloyo, seperti biasa… makantar-kantar dan sok yakin.
”Wah… lha nyuwun sewu. Saya belum tentu nyontreng panjenengan. Justru dengan saya mengenal dekat sampeyan inilah yang membuat saya jadi ragu-ragu. Sekarang peluang untuk memilih wakil rakyat dengan kualitas yang lebih baik kan lebih terbuka, lebih berpeluang. Yakinlah saya nanti tidak akan salah pilih Denmas… tapi ya itu tadi belum tentu sampeyan,” tambah Mas Wartonegoro yang disambut tawa kawan-kawannya dan raut mbesengut Denmas Suloyo.
Begitulah. Pemilu tahun 2009 ini boleh jadi merupakan Pemilu paling bersejarah sepanjang perjalanan bangsa Indonesia. Selain akan diikuti oleh lebih dari 171 juta pemilih (kalau mereka menggunakan hak pilihnya), Pemilu ini juga diikuti oleh 38 partai nasional dan enam partai lokal di Aceh. Ada 11.301 Caleg DPR, 1.116 Caleg DPD, puluhan ribu Caleg DPRD provinsi, dan ratusan ribu Caleg DPRD kabupaten/kota yang bertanding meraih lebih dari 18.400 kursi. Tentu saja ini akan berakibat pada biaya penyelenggaraan Pemilu yang luar biasa pula.
Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis total biaya semua tahapan Pemilu 2009 melalui dua tahun anggaran (tahun 2008 dan tahun 2009) mencapai Rp 21,93 triliun atau setara dengan Rp 128.000/pemilih atau US$13,64, ini hampir tiga kali lipat dari anggaran Pemilu 2004 sebesar Rp 45.000/pemilih. “Biaya itu sangat besar dibanding negara yang mempergunakan sistem multi-partai yang hanya sekitar US$1 hingga US$3,” kata Sekretaris Fitra, Arif Nur Alam pada acara sosialisasi Pemilu di Jakarta, Kamis (2/4) (Kominfonewsroom).
Caleg juga manusia
Terlepas dari kualitas para Caleg yang ada sekarang ini, tentu sayang jika rakyat Indonesia tidak memanfaatkan hak pilih mereka pada Pemilu 2009 yang begitu besar menyedot biaya itu. Lantas bagaimana semestinya sebagai warga negara yang baik harus bersikap dalam menentukan nasib bangsa kita lewat pesta demokrasi tahun ini?
Tentu saja setiap warga mempunyai hak untuk memilih atau tidak memilih. Apalagi dalam Pemilu tahun ini pula kita diberi peluang sebesar-besarnya untuk menentukan secara langsung siapa orang yang kita anggap layak untuk mewakili di kursi dewan.
Tidak ada salahnya, barangkali, kalau kita simak lagi fatwa MUI tentang Pemilu yang sempat mengundang kontroversi beberapa waktu lalu dengan lebih jernih. Pada butir ke-4 Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah MUI di Padang kala itu memfatwakan bahwa “Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat hukumnya adalah wajib”
Pertanyaan berikutnya adalah, adakah kriteria di atas yang bisa dipenuhi oleh para Caleg kita sekarang ini? Dalam butir kelima fatwa MUI kemudian menjelaskan bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat tadi hukumnya haram dan begitu juga sebaliknya. Lantas bagaimana kita bisa tahu kualitas Caleg yang hendak kita pilih itu? Padahal selama ini kita hanya tahu wajah mereka tersenyum di pohon-pohon, spanduk, poster, baliho, koran atau televisi.
“Nah itulah Mas, kenapa saya menyarankan pilih saja saya. Sampeyan kan sudah tahu njaba-njero saya, jadi sudah jelas kan bagaimana kemampuan saya,” kata Denmas Suloyo memotong diskusi yang sedang berlangsung gayeng itu.
“Justru karena saya tahu luar dalam sampeyan itulah saya jadi berfikir ulang. Akan memilih sampeyan karena pertemanan atau karena kualitas panjenengan. Tiwas tak pilih, ternyata Denmas nanti lupa kalau sudah nikmat duduk di kursi dewan. Lha sampeyan dan para Caleg lainnya itu kan juga manusia ta Denmas… tempat salah dan lupa bahkan sering sengaja berbuat salah dan pura-pura lupa,” timpal Mas Wartonegoro.
Ya... Caleg juga manusia. Saya jadi teringat dengan salah satu artikel tulisan KH M Kholil Bisri di buku Menuju Ketenangan Batin yang berisi uneg-uneg sang kyai soal para pemimpin kita masa kini. Kata Kyai Kholil, para pemimpin negeri ini masih ”berjudul” manusia. Yaitu mahluk Tuhan yang mempunyai karakter di tengah-tengah antara mahluk yang bernama malaikat dan iblis. ”Malaikat adalah mahluk yang segala tindakannya pasti benar, tidak pernah salah sedang iblis adalah mahluk yang tidak pernah benar dan pasti salah melulu...”
Sementara manusia, kata KH Kholil, adalah mahluk Gusti Allah yang tidak selalu benar dan tidak pula selalu salah. Salah dan benar silih berganti merasuki jiwa manusia, malaikat dan iblis seolah berebut memasuki keinsaniahan manusia. ”Jika tidak dibantu dari dalam, malaikat dan iblis berpeluang sama mempengaruhi manusia. Nah yang dari dalam diri ini adalah ’virus’ yang dibawa oleh makanan.”
Simpel benar. ”Ya... makanan yang pada gilirannya terolah menjadi daging, darah, nutfah. Darah dari makanan mengaliri urat-syaraf-hati manusia menciptakan kondisi dan peluang pada malaikat dan iblis dalam hal Tuham berkenan mengilhami manusia dengan kebaikan atau dengan kekurangajaran... ” kata Kyai Kholil.
Jadi... jangan salah pilih saat di tempat pemungutan suara 9 April mendatang. Pilihlah Caleg yang benar-benar Anda ketahui jujur, terpercaya, aktif, aspiratif dan berkualitas bahkan jika perlu telusuri soal apa yang mereka makan serta dari mana mereka memperolehnya... karena Caleg juga (masih) manusia.

Rabu, 01 April 2009

Jadilah negarawan yang baik… (tajuk)

Orasi sejumlah pemimpin partai politik (Parpol) yang tengah berjuang merebut simpati rakyat di ajang kampanye, akhir-akhir ini, kian terasa satire, dengan bahasa cenderung sarkastis. Komunikasi politik yang mereka pertontonkan di hadapan publik tidak membuat masyarakat menjadi cerdas, melek politik tapi justru sering membingungkan rakyat.
Tragedi Situ Gintung, persoalan daftar pemilih tetap dan bantuan langsung tunai (BLT), penderitaan rakyat adalah objek yang seolah sangat relevan untuk dipolemikkan para calon negarawan di negeri ini dalam kampanye mereka. Tidak adakah kesadaran pada diri para pemimpin Parpol itu untuk mengemukakan hal-hal yang lebih rasional tentang program-program masa depan pembangunan di negeri ini, misalnya?
Kami tentu saja prihatin dengan isi pesan yang disampaikan para calon negarawan itu. Seolah, inilah saat yang tepat untuk saling ejek, saling menjatuhkan atau bahkan saling mencaci maki atas lawan-lawan politik mereka dengan bahasa kasar. Para politisi itu lupa bahwa mereka sesungguhnya sedang membangun citra agar bisa menarik simpati rakyat Indonesia secara keseluruhan, bukan sekadar orang-orang di sekeliling mereka, kelompoknya atau golongan mereka.
Namun yang mereka lakukan justru malah menebar kebencian rakyat terhadap orang lain dan bahkan pada diri mereka sendiri. Dengan kata-kata yang terlampau vulgar, tentunya masyarakat justru akan menilai seberapa besar kapasitas intelektual dan kapabilitas seorang pemimpin yang sebaiknya nanti hendak mereka pilih.
Akan lebih baik, tentunya, pidato politik yang mereka sampaikan penuh dengan tata krama, bahasa yang sopan dan santun, tidak menyerang pihak lain dengan kata-kata yang sarkasme. Tragedi, bencana, beragam persoalan yang sedang terjadi menjelang Pemilu atau bahkan program pemerintah yang sedang dijalankan untuk membantu rakyat mestinya tidak mereka politisasi sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan alat untuk ”membantai” lawan-lawan politik, atau sebaliknya hal yang demikian itu dibangga-banggakan sebagai sebuah ”prestasi” dengan maksud mencibir pihak lain. Singkat kata, janganlah memolitisasi penderitaan rakyat.
Negarawan dan juga para calon negarawan adalah orang-orang yang sedang dan akan memimpin negeri besar ini. Karenanya, mereka haruslah orang yang memiliki sikap terpuji, berdaya nalar cerdas, mempunyai rasa empati dan kepekaan tinggi terhadap permasalahan bangsanya. Mereka haruslah orang yang berani mengatakan kebenaran walaupun pahit dan risikonya tinggi hanya demi untuk kepentingan rakyat, bukan karena demi merebut kekuasaan.
Kita pernah memiliki tokoh seperti itu, misalnya M Natsir, Bung Hatta, Agus Salim, Umar Wirahadikusumah, Hoegeng Iman Santoso dan sebagainya. Kita juga berharap, sekarang dan pada masa yang akan datang, akan lahir negarawan-negarawan sejati seperti mereka. Menyampaikan kritik untuk membangun, bukan menjatuhkan lawan.
Kita bahkan bisa mencontoh sikap kenegarawanan Presiden AS Barrack Obama. Betapa dia menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang besar terhadap pendahulunya, George W Bush, di awal pidatonya dengan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pemimpin AS sebelumnya meskipun mereka dulu adalah musuh politiknya. q

Minggu, 22 Maret 2009

Republik (selalu) bahagia…

Di awal tahun baru lalu, Mas Wartonegoro bilang ke Denmas Suloyo bahwa tahun ini adalah tahun keprihatinan. Krisis melanda dunia, tentu saja termasuk Indonesia. Namun hingga berjalan tiga bulan ini, Denmas Suloyo merasakan tidak ada sesuatu hal yang mengkhawatirkan dalam perekonomian di negeri ini, setidaknya dalam kehidupan kesehariannya.

”Mana Mas buktinya kalau sekarang sedang krisis. Lha itu orang-orang masih pada jingkrak-jingkrak, konvoi naik motor digeber-geber, tertawa-tawa ikut kampanye tanpa beban gitu kok,” kata Denmas Suloyo sesaat setelah menyaksikan serombongan peserta kampanye yang memekakkan telinga melintas di depan News Cafe tempat dia sedang jagongan dengan Mas Wartonegoro, saya dan sejumlah kawan lainnya.

”Orang yang sedang kampanye itu tidak bisa jadi ukuran krisis Denmas. Mereka kan memang sedang bergembira ria tanpa peduli situasi dan kondisi sosial maupun ekonomi kita. Yang penting ramai, bisa menarik perhatian masyarakat,” jawab Mas Wartonegoro.

”Lha lalu ukurannya apa? Toh keadaan kita sejak krisis tahun 1998 sampai sekarang tidak jauh-jauh beda amat, ra tambah sugih... ya ra tambah mlarat,” kata Denmas Suloyo setengah menggugat sahabatnya itu.

”Wah lha kalau saya disuruh menunjukkan indikator krisis dan bukti-bukti rinci ya susah Denmas, apalagi yang kita rasakan secara langsung. Wong nyatanya mobil-mobil baru juga masih ting sliwer, mal dan pusat perbelanjaan tetap ramai gitu. Masyarakat kita ini secara umum tampaknya memang tahan krisis... tidak mudah menyerah dengan keadaan... selalu terlihat bahagia, atau memang tidak peduli krisis, bukan begitu Mas,” kata Mas Wartonegoro seolah mencari dukungan saya.

”Ya, bisa jadi begitu,” timpal saya sekenanya.

Saya pun kemudian teringat dengan sebuah artikel yang dikirimkan kawan saya lewat e-mail tentang negeri kita yang dianggap”aneh” karena masyarakatnya mudah menerima keadaan. Dalam artikel yang telah di-forward ke beberapa kawan itu si pengirim menyebut meskipun secara finansial republik ini tidak sebagus negara-negara maju di sekitar kita maupun belahan dunia lainnya, ”Tetapi cara pandang tentang hidup ini membawa kita termasuk negeri yang bahagia, tetap bisa bersyukur kepada Tuhan, dalam kondisi apapun,” tulis dia.

Lebih lanjut sang penulis menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki ciri khas dalam menyikapi kondisi kehidupan ini. Ketika dibandingkan dengan kumpulan bangsa-bangsa yang lain, menurutnya, kumpulan orang-orang Indonesia memiliki ciri, murah senyum, hobby tertawa, hobby guyonan dan tidak habis-habisnya dengan stok bahan tertawaan. ”Bahkan kolega saya dari negara di benua Afrika mengatakan heran kepada orang Indonesia, mereka mengatakan they (Indonesian) are always happy!, orang indonesia selalu bahagia, selalu senang.”

Indeks kebahagiaan

Jadi, negeri kita ini barangkali bisa disebut sebagai republik yang selalu bahagia. Kondisi ini bisa kita lihat lebih jauh di situs Wikipedia yang secara rinci menulis tentang indeks kebahagiaan (Happy Planet Index) lebih dari 170 negara di dunia ini (http://en.wikipedia.org/wiki/Happy_Planet_Index). Indeks Kebahagiaan yang dimaksud adalah indeks kesejahteraan manusia dan dampak lingkungan yang diperkenalkan oleh New Economic Foundation (NEF) pada bulan Juli 2006.

Indeks ini dirancang sebagai penantang bagi indeks kemapanan suatu negara yang biasa dilihat dari pembangunan, seperti GDP (Produk Domestik Bruto) dan HDI (indeks pembangunan manusia) yang kerap dipandang tak berkesinambungan. Secara khusus PDB dianggap tidak lagi tepat, karena tujuan utama manusia dalam kehidupan ini bukanlah kekayaan tapi kebahagiaan dan kesehatan.

Nah, jika kemajuan atau bahkan kesejahteraan sebuah negara diukur dengan indeks kebahagiaan rakyatnya, maka Indonesia termasuk republik yang menempati urutan atas di dunia ini. Dari 170-an negara yang disurvei NEF, ternyata orang Indonesia menempati urutan 23 dan lebih bahagia (happy) daripada China yang berada di ranking 31, Thailand (32), Malaysia (44), Timor Leste (48), Papua New Guinea (76), Jerman (81), Saudi Arabia (89), India (90), New Zealand (94), Jepang (95), Brunei DS (100), Inggris (108), Israel (117), Singapore (131) bahkan Amerika Serikat yang berada di urutan ke 150.

Begitulah, sekalipun sekarang ini negeri kita oleh bangsa lain dan para politisi atau pengamat kita sendiri digolongkan negara yang masih tertinggal, namun kenyataan bahwa republik kita adalah republik bahagia dan ini mestinya bisa dijadikan motivator untuk terus membangun diri ke arah yang lebih baik.

Deraan krisis finansial dan ekonomi, beragam musibah dan bencana yang melanda negeri ini tetap membuat rakyat bisa tertawa. Semoga saja ini bukan karena kita adalah ”Republik Pelupa”, namun memang karena kita senantiasa berlapang dada dalam menerima segala keadaan karena selalu ingat dengan Sang Pencipta. Harapan kita, semoga keadaan ini tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa atau sedang mencari kekuasaan namun pandai membodohi rakyat.

Betapa sempurnanya jika negeri kita yang ”bahagia” ini juga dilengkapi dengan kesejahteraan finansial secara nyata serta dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai komitmen untuk senantiasa membahagiakan dan mensejahterakan rakyatnya, bukan orang-orang yang memperalat rakyat untuk mensejahterakan diri dan kelompok, serta golongannya. Karena itu, hati-hati serta cermatlah dalam memilih wakil Anda di kursi dewan yang sekarang sedang mengumbar janji lewat kampanye yang hingar bingar itu...

Senin, 02 Maret 2009

Potret-potret tak bermakna…

Sebulan lagi, persisnya Kamis Paing, 9 April 2009, Pemilu legislatif digelar. Semangat para calon wakil rakyat untuk mempromosikan diri, ternyata kian menggebu-gebu. Karena itu pula Denmas Suloyo sempat grundelan setengah misuh-misuh ketika Satpol PP akhir pekan lalu menertibkan atau tepatnya merobohkan, membabati poster, pamflet, spanduk, baliho potret para Caleg termasuk bendera-bendera partai yang dipasang sesuka hati.
“Lha gimana nggak mangkel coba, saya pasang baliho itu biayanya kan nggak sedikit. Jutaan lho Mas,” kata Denmas Suloyo nggresula kepada kawan ngobrol setianya, Mas Wartonegoro.
”Salah sampeyan sendiri, kenapa memasang baliho seenaknya sendiri. Baliho sampeyan itu kan di daerah terlarang. Saya setuju banget itu Satpol PP akhirnya bertindak tegas menertibkan potret sampeyan dan teman-teman sampeyan yang bikin risih, nyebeli, nggriseni…” jawab Mas Wartonegoro di News Cafe tempat mereka biasa nongkrong dan enggar-enggar penggalih. Tahun ini Denmas Suloyo memang mencoba peruntungan untuk menjadi calon anggota DPRD yang terhormat.
Saya yang ikut jagongan pun setuju dengan pendapat Mas Wartonegoro, bahwa beragam alat peraga kampanye menjelang Pemilu tahun ini memang sungguh merusak pemandangan. Karena itu saya juga termasuk orang yang berharap pemasangan potret-potret para Caleg tersebut ditertibkan. Karena sejauh ini, rasanya pemasangan alat-alat peraga kampanye itu tidak dikoordinasikan, tidak dirancang secara matang baik penempatannya maupun slogan yang ditulis.
Banyak kawan saya yang juga gemas dengan menjamurnya poster, spanduk, baliho para Caleg tersebut karena mereka menilai cara mempromosikan, mem-branding diri serta slogan yang digembar-gemborkan tidak cerdas, memalukan, naif bahkan mengundang tawa geli. Potret-potret itu tak bermakna apa-apa untuk menyampaikan pesan agar masyarakat yang sempat melihat, memilih mereka.
Selain potret wajah kadang dikombinasi dengan Superman, Barrack Obama atau malah tokoh kartun Avatar kalimat-kalimat di baliho, poster atau pun spanduk para Caleg itu juga seragam, standar, normatif bahkan klise…”Mohon Doa Restu…”, ”Suara Anda Bermanfaat untuk Rakyat”, ”Saatnya yang Muda yang Memimpin”, ”Insya Allah Amanah…”, ”Berjuang dengan Ikhlas…” atau ada pula yang menyertakan kalimat aneh dan tidak ada hubungannya dengan persoalan politik negeri ini… ”Anaknya Pak anu…”, ”Ini dia Pendekar Rakyat.”, ”Si Fulan…Gaul Banget!!!” dan masih ribuan lagi tag line yang terkadang asal beda, asal unik atau malah asal-asalan.
Tak bermakna
Karena itu pula, saya begitu mafhum ketika sastrawan, budayawan dan jurnalis sekelas Goenawan Muhammad dalam Catatan Pinggir-nya di Tempo awal bulan lalu mengawali kolomnya dengan sebuah doa, ”Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semoga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang listrik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar manusia…”
Apa yang diungkapkan Goenawan Muhammad itu seolah mewakili rakyat Indonesia yang jengkel karena tak bisa menghindar dari kepungan potret-potret wajah para calon legislatif di setiap sudut tempat, mulai pohon, tembok, tiang listrik hingga tiang telpon di negeri ini. ”Saya ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat Indonesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tempat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang berharga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bicara apa-apa…” begitu tulis Goenawan Muhammad di akhir Catatan Pinggir-nya.
Ya… potret-potret itu memang tak bicara apa-apa, tak bermakna apa-apa tatkala pernyataan, slogan, tag line atau apalah namanya yang mereka tulis di alat peraga kampanye itu hanyalah sekadar kelatahan. Mereka hanya melakukan kampanye Pemilu, bukan kampanye politik yang mendidik masyarakat menjadi cerdas.
Karena sesungguhnya ada perbedaan yang sangat signifikan antara kampanye Pemilu dengan kampanye politik. Kampanye Pemilu hanya kepentingan sesaat, hanya untuk menggiring masyarakat agar memilih seseorang ketika nanti saatnya menyontreng, sekadar janji-janji yang bisa jadi janji kosong dan hal-hal lain yang siftanya pragmatis dan instan. Sementara kampanye politik adalah upaya membangun reputasi dalam jangka panjang agar diperoleh image positif atas sebuah program yang terukur dan bukan sekadar janji kosong belaka.
Kita berharap, ada di antara Caleg yang memajang potret mereka di segenap pelosok desa dan penjuru kota itu adalah sosok yang benar-benar ingin berjuang untuk rakyat. Jangan sampai kita salah pilih, hanya gara-gara kesengsem menyaksikan potret di poster, baliho atau pamflet yang tak mewakili kepribadian, moralitas atau karakter mereka.
Semoga kita memperoleh wakil rakyat yang mengetahui benar soal kedudukan, fungsi dan perannya. Semoga pula kita tidak keliru memilih orang yang tidak paham tentang bagaimana harus bersikap, bertindak dan berbicara ketika menjadi wakil rakyat hanya karena merasa mereka adalah orang politik. Kita berharap, setelah Pemilu 2009 ini tidak akan ada lagi mendapati wakil rakyat yang tak memiliki tatakrama.
Karena seperti terungkap dalam artikel Harian Kompas (1/3), rakyat terbiasa melihat (melalui televisi) anggota DPR dengan enaknya klepas-klepus merokok di tengah rapat. Ada pula yang sibuk mengirim atau membuka SMS, bertelepon, ngobrol, baca koran, hingga terlelap selagi sidang. Berita tentang anggota DPR yang mangkir dari sidang juga sudah sering terdengar.
Itu baru perilaku yang dianggap tidak etis. Perilaku yang melanggar hukum juga tidak kalah banyak. Ada anggota DPR yang ketahuan korupsi secara bergerombolan, ada yang terlibat pelecehan seksual, hingga beradegan mesum dengan seorang artis dangdut. Memang tidak semua anggota DPR bermasalah. Namun, mereka tetap terkena getahnya karena mereka berada di lembaga yang sama. Jajak pendapat Kompas tahun 2005 memperlihatkan, tiga perempat responden memandang citra DPR negatif dan 91 persen responden yakin DPR berperilaku KKN…

ShoutMix chat widget