Rabu, 10 Juni 2009

Prita & kebebasan berpendapat

Prita Mulyasari, ibu dua anak yang diperkarakan Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang kini muncul sebagai tumbal sekaligus pahlawan bagi pendewasaan dalam kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia. Ya, dia layak mendapat predikat itu.
Dengan tindakannya berkeluh kesah melalui dunia maya, ketabahannya menghadapi tuntutan hukum rumah sakit serta penderitaannya selama dipenjara telah menggugah semangat solidaritas serta pencakrawalaan wacana rakyat Indonesia tentang apa itu kebebasan berpendapat yang sebenarnya adalah hak setiap warga negara.
Pernyataannya yang ikhlas, pasrah atas persoalan yang menimpa dia demi kepentingan khalayak luas sungguh telah menggugah empati jutaan orang. ”Semoga apa yang saya alami ini tidak terjadi lagi kepada orang lain, cukup saya saja. Karena itu saya meminta pihak hukum (aparat yang berwenang, red) memperhatikan aspirasi masyarakat,” kata dia dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi di Jakarta, sesaat setelah dia dibebaskan.
Apa yang disampaikan Prita harus menjadi catatan penting bagi para penegak hukum di negeri ini. Bahwa hukum sesungguhnya bukanlah sekadar pasal-pasal, pembuktian-pembuktian normatif, namun lebih jauh lagi yaitu mengenai rasa keadilan di masyarakat. Ini perlu digarisbawahi karena Prita jelas telah diperlakukan tidak adil, dizalimi dan diperlakukan secara sewenang-wenang atas nama hukum dan kekuasaan.
Prita, ibu rumah tangga berusia 32 tahun itu ditahan karena menulis keluhan di Internet. Keluhannya yang bersifat pribadi dan bahkan semula hanya disampaikan kepada teman-temannya lalu menyebar ke dunia maya. Pengacara Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang menilai apa yang dilakukan Prita merusak nama baik kliennya. Dasar penahanan Prita adalah karena ia dianggap melanggar Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Apa yang dialami Prita itu jelas sebuah penerapan hukum yang tidak memperhatikan hal-hal yang berkait dengan rasa keadilan masyarakat. Prita dianggap ”penjahat”. Ibu dua orang anak yang masih Balita itu dinilai telah merampas keuntungan finansial rumah sakit. Karena akibat tulisan Prita, katanya, rumah sakit telah kehilangan kepercayaan dan itu mengurangi pemasukan.
Kami sungguh prihatin dengan langkah yang dilakukan RS Omni, kepolisian dan kejaksaan. Kebebasan berpendapat mestinya telah menjadi ranah publik yang tidak bisa serta-merta dijerat dengan hukum positif. Berpendapat adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia. Keluhan, mestinya dijawab dengan penjelasan simpatik. Kecuali jika memang ada unsur kesengajaan untuk menjatuhkan seseorang atau lembaga tanpa argumen jelas.
Seharusnya RS sebagai lembaga pelayanan publik lebih bersifat proaktif untuk melayani segala macam keluhan pasien. Hal lain adalah mengeluh atas sebuah layanan yang diberikan oleh produsen seharusnya diselesaikan terlebih dahulu secara arif dan bijaksana. Tidak lantas sapa sira sapa ingsun, merasa mempunyai kuasa lantas bertindak sewenang-wenang.
Dalam teori kehumasan, pendekatan secara kemanusiaan adalah hal utama dalam upaya menjaga citra. Namun ketika kekuasaan yang berbicara, beginilah akibatnya, RS Omni pasti kehilangan simpati dari masyarakat bahkan kini menjadi pihak yang terhujat. q

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget