Senin, 01 Juni 2009

Konflik kepentingan, menteri & kampanye

Mulai 2 Juni hari ini, kampanye calon presiden dan wakil presiden RI secara resmi dimulai. Secara tak resmi, para Capres-Cawapres sebenarnya telah melakukan kegiatan itu secara terang-terangan sejak mereka menetapkan pasangan masing-masing sebulan lalu.
Kami berharap, pada masa kampanye ini para kandidat presiden dan wakil presiden beserta tim sukses mereka benar-benar menjunjung tinggi etika, moral, sopan santun atau apa pun namanya sehingga selama masa kampanye situasi dan kondisi negeri ini tetap kondusif, pemerintahan tetap berjalan sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Salah satu hal yang patut menjadi perhatian para kandidat Capres-Cawapres beserta para tim sukses mereka adalah soal keikutsertaan para menteri yang akan menjadi juru kampanye. Sebab, dalam kampanye Capres-Cawapres kali ini akan banyak Menteri Kabinet Indonesia Bersatu akan terlibat.
Berbagai kritik dan saran telah dilontarkan sejumlah pihak agar para menteri tidak ikut serta menjadi tim sukses salah satu pasangan Capres-Cawapres. Alasan paling kuat mengapa sebaiknya para menteri itu tidak terlibat dalam kampanye Capres-Cawapres, tak lain karena hal itu akan sangat rentan dengan konflik kepentingan.
Betul memang, di dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres tidak ada larangan mengenai keikutsertaan menteri sebagai tim sukses atau juru kampanye Capres-Cawapres. Terlebih lagi jabatan menteri adalah jabatan politis bukan karir, sehingga keterlibatan mereka di dalam tim sukses kampanye Capres-Cawapres menjadi sangat wajar.
Namun perlu diingat, terlepas dari apakah jabatan itu politis atau tidak seorang menteri adalah pejabat publik. Mereka harus sadar sesadar-sadarnya ketika seseorang telah menjadi ”pejabat publik” maka secara etika dan moral dia sesungguhnya sudah menjadi ”milik” publik bukan lagi milik golongan tertentu, atau anggota partai tertentu.
Sangat sulit rasanya memilah-milah sesosok pejabat ke dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda, apalagi masyarakat awam. Sekalipun perlakuan secara undang-undang berbeda bagi incumbent Presiden dan Wakil Presiden dalam masa kampanye kali ini, namun sebenarnya kita sulit membedakan SBY sebagai seorang Presiden atau Calon Presiden. Hal yang sama terjadi kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla saat kunjungan kerja ke berbagai daerah. Sedang jadi Wapres kah dia? Atau sedang berkampanye sebagai Capres.
Tentunya akan lebih sulit lagi bagi kita untuk membeda-bedakan keikutsertaan menteri dalam sebuah kampanye Capres-Cawapres. Karena akan sangat rawan dengan penyalahgunaan otoritas, wewenang bahkan mandat. Belum lagi penyalahgunaan fasilitas pemerintah, ketika seorang menteri melaksanakan kampanye. Singkatnya, menteri ikut berkampanye Pilpres sungguh rawan memunculkan konflik kepentingan.
Kami menganggap apa yang dilakukan Gubernur Jateng Bibit Waluyo untuk tidak ikut berkampanye mendukung salah satu pasangan Capres-Cawapres secara etika dan moral adalah lebih baik di mata publik. Tentunya bagi partai yang menaungi dia, yang mengusung Bibit menjadi Gubernur adalah langkah yang menjengkelkan. Namun begitulah seharusnya seorang negarawan. Ketika dia sudah ditahbiskan sebagai pejabat publik, maka mestinya dia sudah tidak lagi hanya ”berpihak” pada satu golongan atau kelompok tertentu.

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget