Minggu, 22 Maret 2009

Republik (selalu) bahagia…

Di awal tahun baru lalu, Mas Wartonegoro bilang ke Denmas Suloyo bahwa tahun ini adalah tahun keprihatinan. Krisis melanda dunia, tentu saja termasuk Indonesia. Namun hingga berjalan tiga bulan ini, Denmas Suloyo merasakan tidak ada sesuatu hal yang mengkhawatirkan dalam perekonomian di negeri ini, setidaknya dalam kehidupan kesehariannya.

”Mana Mas buktinya kalau sekarang sedang krisis. Lha itu orang-orang masih pada jingkrak-jingkrak, konvoi naik motor digeber-geber, tertawa-tawa ikut kampanye tanpa beban gitu kok,” kata Denmas Suloyo sesaat setelah menyaksikan serombongan peserta kampanye yang memekakkan telinga melintas di depan News Cafe tempat dia sedang jagongan dengan Mas Wartonegoro, saya dan sejumlah kawan lainnya.

”Orang yang sedang kampanye itu tidak bisa jadi ukuran krisis Denmas. Mereka kan memang sedang bergembira ria tanpa peduli situasi dan kondisi sosial maupun ekonomi kita. Yang penting ramai, bisa menarik perhatian masyarakat,” jawab Mas Wartonegoro.

”Lha lalu ukurannya apa? Toh keadaan kita sejak krisis tahun 1998 sampai sekarang tidak jauh-jauh beda amat, ra tambah sugih... ya ra tambah mlarat,” kata Denmas Suloyo setengah menggugat sahabatnya itu.

”Wah lha kalau saya disuruh menunjukkan indikator krisis dan bukti-bukti rinci ya susah Denmas, apalagi yang kita rasakan secara langsung. Wong nyatanya mobil-mobil baru juga masih ting sliwer, mal dan pusat perbelanjaan tetap ramai gitu. Masyarakat kita ini secara umum tampaknya memang tahan krisis... tidak mudah menyerah dengan keadaan... selalu terlihat bahagia, atau memang tidak peduli krisis, bukan begitu Mas,” kata Mas Wartonegoro seolah mencari dukungan saya.

”Ya, bisa jadi begitu,” timpal saya sekenanya.

Saya pun kemudian teringat dengan sebuah artikel yang dikirimkan kawan saya lewat e-mail tentang negeri kita yang dianggap”aneh” karena masyarakatnya mudah menerima keadaan. Dalam artikel yang telah di-forward ke beberapa kawan itu si pengirim menyebut meskipun secara finansial republik ini tidak sebagus negara-negara maju di sekitar kita maupun belahan dunia lainnya, ”Tetapi cara pandang tentang hidup ini membawa kita termasuk negeri yang bahagia, tetap bisa bersyukur kepada Tuhan, dalam kondisi apapun,” tulis dia.

Lebih lanjut sang penulis menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki ciri khas dalam menyikapi kondisi kehidupan ini. Ketika dibandingkan dengan kumpulan bangsa-bangsa yang lain, menurutnya, kumpulan orang-orang Indonesia memiliki ciri, murah senyum, hobby tertawa, hobby guyonan dan tidak habis-habisnya dengan stok bahan tertawaan. ”Bahkan kolega saya dari negara di benua Afrika mengatakan heran kepada orang Indonesia, mereka mengatakan they (Indonesian) are always happy!, orang indonesia selalu bahagia, selalu senang.”

Indeks kebahagiaan

Jadi, negeri kita ini barangkali bisa disebut sebagai republik yang selalu bahagia. Kondisi ini bisa kita lihat lebih jauh di situs Wikipedia yang secara rinci menulis tentang indeks kebahagiaan (Happy Planet Index) lebih dari 170 negara di dunia ini (http://en.wikipedia.org/wiki/Happy_Planet_Index). Indeks Kebahagiaan yang dimaksud adalah indeks kesejahteraan manusia dan dampak lingkungan yang diperkenalkan oleh New Economic Foundation (NEF) pada bulan Juli 2006.

Indeks ini dirancang sebagai penantang bagi indeks kemapanan suatu negara yang biasa dilihat dari pembangunan, seperti GDP (Produk Domestik Bruto) dan HDI (indeks pembangunan manusia) yang kerap dipandang tak berkesinambungan. Secara khusus PDB dianggap tidak lagi tepat, karena tujuan utama manusia dalam kehidupan ini bukanlah kekayaan tapi kebahagiaan dan kesehatan.

Nah, jika kemajuan atau bahkan kesejahteraan sebuah negara diukur dengan indeks kebahagiaan rakyatnya, maka Indonesia termasuk republik yang menempati urutan atas di dunia ini. Dari 170-an negara yang disurvei NEF, ternyata orang Indonesia menempati urutan 23 dan lebih bahagia (happy) daripada China yang berada di ranking 31, Thailand (32), Malaysia (44), Timor Leste (48), Papua New Guinea (76), Jerman (81), Saudi Arabia (89), India (90), New Zealand (94), Jepang (95), Brunei DS (100), Inggris (108), Israel (117), Singapore (131) bahkan Amerika Serikat yang berada di urutan ke 150.

Begitulah, sekalipun sekarang ini negeri kita oleh bangsa lain dan para politisi atau pengamat kita sendiri digolongkan negara yang masih tertinggal, namun kenyataan bahwa republik kita adalah republik bahagia dan ini mestinya bisa dijadikan motivator untuk terus membangun diri ke arah yang lebih baik.

Deraan krisis finansial dan ekonomi, beragam musibah dan bencana yang melanda negeri ini tetap membuat rakyat bisa tertawa. Semoga saja ini bukan karena kita adalah ”Republik Pelupa”, namun memang karena kita senantiasa berlapang dada dalam menerima segala keadaan karena selalu ingat dengan Sang Pencipta. Harapan kita, semoga keadaan ini tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa atau sedang mencari kekuasaan namun pandai membodohi rakyat.

Betapa sempurnanya jika negeri kita yang ”bahagia” ini juga dilengkapi dengan kesejahteraan finansial secara nyata serta dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai komitmen untuk senantiasa membahagiakan dan mensejahterakan rakyatnya, bukan orang-orang yang memperalat rakyat untuk mensejahterakan diri dan kelompok, serta golongannya. Karena itu, hati-hati serta cermatlah dalam memilih wakil Anda di kursi dewan yang sekarang sedang mengumbar janji lewat kampanye yang hingar bingar itu...

Senin, 02 Maret 2009

Potret-potret tak bermakna…

Sebulan lagi, persisnya Kamis Paing, 9 April 2009, Pemilu legislatif digelar. Semangat para calon wakil rakyat untuk mempromosikan diri, ternyata kian menggebu-gebu. Karena itu pula Denmas Suloyo sempat grundelan setengah misuh-misuh ketika Satpol PP akhir pekan lalu menertibkan atau tepatnya merobohkan, membabati poster, pamflet, spanduk, baliho potret para Caleg termasuk bendera-bendera partai yang dipasang sesuka hati.
“Lha gimana nggak mangkel coba, saya pasang baliho itu biayanya kan nggak sedikit. Jutaan lho Mas,” kata Denmas Suloyo nggresula kepada kawan ngobrol setianya, Mas Wartonegoro.
”Salah sampeyan sendiri, kenapa memasang baliho seenaknya sendiri. Baliho sampeyan itu kan di daerah terlarang. Saya setuju banget itu Satpol PP akhirnya bertindak tegas menertibkan potret sampeyan dan teman-teman sampeyan yang bikin risih, nyebeli, nggriseni…” jawab Mas Wartonegoro di News Cafe tempat mereka biasa nongkrong dan enggar-enggar penggalih. Tahun ini Denmas Suloyo memang mencoba peruntungan untuk menjadi calon anggota DPRD yang terhormat.
Saya yang ikut jagongan pun setuju dengan pendapat Mas Wartonegoro, bahwa beragam alat peraga kampanye menjelang Pemilu tahun ini memang sungguh merusak pemandangan. Karena itu saya juga termasuk orang yang berharap pemasangan potret-potret para Caleg tersebut ditertibkan. Karena sejauh ini, rasanya pemasangan alat-alat peraga kampanye itu tidak dikoordinasikan, tidak dirancang secara matang baik penempatannya maupun slogan yang ditulis.
Banyak kawan saya yang juga gemas dengan menjamurnya poster, spanduk, baliho para Caleg tersebut karena mereka menilai cara mempromosikan, mem-branding diri serta slogan yang digembar-gemborkan tidak cerdas, memalukan, naif bahkan mengundang tawa geli. Potret-potret itu tak bermakna apa-apa untuk menyampaikan pesan agar masyarakat yang sempat melihat, memilih mereka.
Selain potret wajah kadang dikombinasi dengan Superman, Barrack Obama atau malah tokoh kartun Avatar kalimat-kalimat di baliho, poster atau pun spanduk para Caleg itu juga seragam, standar, normatif bahkan klise…”Mohon Doa Restu…”, ”Suara Anda Bermanfaat untuk Rakyat”, ”Saatnya yang Muda yang Memimpin”, ”Insya Allah Amanah…”, ”Berjuang dengan Ikhlas…” atau ada pula yang menyertakan kalimat aneh dan tidak ada hubungannya dengan persoalan politik negeri ini… ”Anaknya Pak anu…”, ”Ini dia Pendekar Rakyat.”, ”Si Fulan…Gaul Banget!!!” dan masih ribuan lagi tag line yang terkadang asal beda, asal unik atau malah asal-asalan.
Tak bermakna
Karena itu pula, saya begitu mafhum ketika sastrawan, budayawan dan jurnalis sekelas Goenawan Muhammad dalam Catatan Pinggir-nya di Tempo awal bulan lalu mengawali kolomnya dengan sebuah doa, ”Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semoga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang listrik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar manusia…”
Apa yang diungkapkan Goenawan Muhammad itu seolah mewakili rakyat Indonesia yang jengkel karena tak bisa menghindar dari kepungan potret-potret wajah para calon legislatif di setiap sudut tempat, mulai pohon, tembok, tiang listrik hingga tiang telpon di negeri ini. ”Saya ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat Indonesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tempat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang berharga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bicara apa-apa…” begitu tulis Goenawan Muhammad di akhir Catatan Pinggir-nya.
Ya… potret-potret itu memang tak bicara apa-apa, tak bermakna apa-apa tatkala pernyataan, slogan, tag line atau apalah namanya yang mereka tulis di alat peraga kampanye itu hanyalah sekadar kelatahan. Mereka hanya melakukan kampanye Pemilu, bukan kampanye politik yang mendidik masyarakat menjadi cerdas.
Karena sesungguhnya ada perbedaan yang sangat signifikan antara kampanye Pemilu dengan kampanye politik. Kampanye Pemilu hanya kepentingan sesaat, hanya untuk menggiring masyarakat agar memilih seseorang ketika nanti saatnya menyontreng, sekadar janji-janji yang bisa jadi janji kosong dan hal-hal lain yang siftanya pragmatis dan instan. Sementara kampanye politik adalah upaya membangun reputasi dalam jangka panjang agar diperoleh image positif atas sebuah program yang terukur dan bukan sekadar janji kosong belaka.
Kita berharap, ada di antara Caleg yang memajang potret mereka di segenap pelosok desa dan penjuru kota itu adalah sosok yang benar-benar ingin berjuang untuk rakyat. Jangan sampai kita salah pilih, hanya gara-gara kesengsem menyaksikan potret di poster, baliho atau pamflet yang tak mewakili kepribadian, moralitas atau karakter mereka.
Semoga kita memperoleh wakil rakyat yang mengetahui benar soal kedudukan, fungsi dan perannya. Semoga pula kita tidak keliru memilih orang yang tidak paham tentang bagaimana harus bersikap, bertindak dan berbicara ketika menjadi wakil rakyat hanya karena merasa mereka adalah orang politik. Kita berharap, setelah Pemilu 2009 ini tidak akan ada lagi mendapati wakil rakyat yang tak memiliki tatakrama.
Karena seperti terungkap dalam artikel Harian Kompas (1/3), rakyat terbiasa melihat (melalui televisi) anggota DPR dengan enaknya klepas-klepus merokok di tengah rapat. Ada pula yang sibuk mengirim atau membuka SMS, bertelepon, ngobrol, baca koran, hingga terlelap selagi sidang. Berita tentang anggota DPR yang mangkir dari sidang juga sudah sering terdengar.
Itu baru perilaku yang dianggap tidak etis. Perilaku yang melanggar hukum juga tidak kalah banyak. Ada anggota DPR yang ketahuan korupsi secara bergerombolan, ada yang terlibat pelecehan seksual, hingga beradegan mesum dengan seorang artis dangdut. Memang tidak semua anggota DPR bermasalah. Namun, mereka tetap terkena getahnya karena mereka berada di lembaga yang sama. Jajak pendapat Kompas tahun 2005 memperlihatkan, tiga perempat responden memandang citra DPR negatif dan 91 persen responden yakin DPR berperilaku KKN…

ShoutMix chat widget