Minggu, 12 Juli 2009

Terbang dengan sebelah sayap…

Rabu 8 Juli, bangsa kita kembali mengukir sejarah dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, melaksanakan Pilpres. Yang telah menetapkan diri takkan golput, ini adalah kesempatan untuk menyalurkan hak demokrasinya demi memilih pemimpin negeri ini.
Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden RI, Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto telah membangun image, merancang pencitraan, mengungkapkan janji-janji, menyampaikan visi dan misi, berorasi, beretorika, berdebat, saling sindir hingga serang menyerarang. Kini saatnya rakyat yang akan menentukan, siapa sebenarnya di antara ketiga pasangan itu yang layak menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini.
Mas Wartonegoro, Denmas Suloyo beserta gengnya juga telah bersiap mensukseskan pelaksanaan pesta demokrasi terbesar lima tahunan ini. Hanya saja, dalam diskusi dengan format seadanya yang biasa mereka gelar di News Café kampung Minggu kemarin muncul sedikit kekhawatiran soal tingkat kedewasaan masyarakat kita maupun para kandidat capres-cawapres beserta tim kampanye dan segenap komponen pendukungnya.
“Saya kok khawatir, jangan-jangan nanti yang kalah tidak bisa menerima kekalahannya. Jangan-jangan Pemilu kita ini dianggap seperti ajang Copa Indonesia beberapa hari lalu itu, pakai ngambek,” kata Denmas Suloyo.
“Wah lha ya jangan disamakan pemilu dengan sepakbola ta Denmas. Pemilu kan soal keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Kalau bal-balan itu kan sekadar kesenangan,” timpal Mas Wartonegoro.
“Lho jangan meremehkan balbalan Mas. Sepak bola itu juga masalah berbangsa dan bernegara, bisa menjadi cerminan… mirip-mirip, gak beda jauh karena di sana juga ada permainan, politik, juga kebanggaan dan fanatisme. Padahal kita bisa rasakan toh, bagaimana kandidat presiden dan wapres dalam kampanye telah ‘mensinyalir’, ‘menduga-duga’ atau apapun namanya soal kecurangan, adanya rekayasa dan sebagainya. Pemilu kan belum berlangsung,” tambah Denmas Suloyo.
Kita semua tentu berharap, Pilpres lusa akan berlangsung dengan mulus, tak banyak kendala, langsung, bebas, rahasia tak ada rekasa semuanya berjalan seirama. Bukan hanya saat pemungutan suara 8 Juli, namun pascapemilihan pun semoga berjalan dengan aman, damai dan sejahtera.
Hal utama dari harapan itu adalah soal kebersamaan, kedewasaan dan kesadaran seluruh komponen bangsa bahwa tujuan utama dari pesta demokrasi itu adalah demi terwujudnya rakyat yang adil, makmur dan sejahtera.
Konsekwensi dari itu semua adalah semua harus memahami, menghormati soal keberagaman, kebinekaan dan perbedaan pendapat. Karena sesungguhnya tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sayap sebelah
Demikian juga halnya ketika para kandidat telah berkomitmen berkompetisi untuk meraih posisi sebagai punggawa negeri ini, maka mereka nanti wajib menempatkan diri sebagai pribadi-pribadi yang terhormat dan dihormati.
Bahwa kalah menang bukanlah tujuan akhir, namun kesejahteraan dan kemakmuran rakyatlah yang menjadi pokok utama. Sehingga ketika rakyat telah memilih, yang kalah harus berbesar hati, legawa dan kemudian mendukung sang pemenang. Demikian juga sebaliknya, sang juara lantas jangan jumawa. Itulah sikap seorang ksatria sejati.
Karena pada dasarnya, tanpa dukungan seluruh komponen bangsa sang pemenangpun tak akan mampu terbang ke angkasa mewujudkan cita-cita. Ibarat burung dengan sayap sebelah patah, maka dia takkan bisa terbang tanpa didukung kawan-kawannya. Sebab tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap.
Seperti disampaikan Gede Prama, seorang motivator tersohor negeri ini dalam salah satu artikelnya dia meminjam apa yang ditulis Luciano de Crescendo, bahwa kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah dan hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.
Karenanya, kata Gede Prama, kita semua mesti menyadari sesungghnya jika motif kita dalam meraih tujuan berharap menemukan semua orang sependapat, sama dan sebangun dengan apa yang kita pikirkan tak ada perbedaan pendapat dan selalu cocok di segala bidang maka lupakan saja angan-angan itu. “Fundamen paling dasar dari manajemen sumber daya manusia adalah: manajemen perbedaan sebagai kekayaan,” kata Gede Prama.
Sayangnya, menurut dia, kendati idenya sederhana, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak kecil. Ini bisa terjadi, karena seperti diungkapkan di muka tadi bahwa tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap. Bisa terbang (baca: hidup dan bekerja ) sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain.
Gede Prama menegaskan, di perusahaan apapun hampir tidak pernah dia bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Di tingkat keluarga, tidak pernah ditemukannya keluarga bahagia tanpa kesediaan sengaja untuk 'berpelukan' dengan anggota keluarga yang lain. Dan di tingkat Negara, orang sehebat Nelson Mandela dan Kim Dae Jung bahkan mau berpelukan bersama orang yang dulu pernah menyiksanya.
Begitulah. Ibarat burung yang hanya memiliki sebelah sayap, kita membutuhkan sokongan sebelah sayap dari burung-burung lainnnya agar kita semua ini, rakyat negeri ini, bangsa ini bisa terbang menggapai harapan dan cita-cita.

ShoutMix chat widget