Senin, 23 November 2009

Tamatkah negeri para bedebah?

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala//
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah//
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah//
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya//
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan…


Raden Mas Suloyo, ningrat yang merakyat di kampung saya ini tiba-tiba makantar-kantar membacakan puisi karya Adhie Massardi berjudul Negeri Para Bedebah… itu. Di sela diskusi kelas kampung, Denmas Suloyo bergaya bak Si Burung Merak, mengepal, berteriak hingga muncrat di tengah komunitas jagongan News Café kami.
Tepuk tangan pun akhirnya kami berikan. Diskusi di kampung saya Minggu kemarin memang lumayan meriah. Sehingar-bingar isu perseteruan antarlembaga hukum di negeri kita yang dicap sebagai negeri bedebah. Seperti biasa Denmas Suloyo selalu menjadi lakon, karena pandangan-pandangan politiknya yang sering nyeleneh dan waton sulaya meskipun sering bernuansa kritis.
“Kita harus mendukung untuk memberantas para bedebah. Rekomendasi Tim 8 untuk mereformasi, mereposisi para personal di kepolisian dan kejaksaan harus kita dorong… di sana memang banyak oknum bedebah! Kalau Presiden tak berbuat apa-apa mari kita revolusi, demonstrasi atau paling tidak berdoa agar Pak SBY bertindak tegas!” teriak Denmas Suloyo seakan belum puas setelah menggeh-menggeh berpuisi ria.
Ayak… panjenenganini kok kaya yak-yak a ta Denmas. Ngko diyaki luput. Sepertinya meresapi betul puisi yang sampeyan baca tadi ya. Tapi ini kan perkara besar. Urusan para priyagung. Rakyat seperti kita ini apalah artinya… hanya bisa pasrah apapun yang menjadi titah penguasa,” timpal Mas Wartonegoro, partner diskusi paling klop Denmas Suloyo.
“Nah justru itu Mas. Mulai sekarang kita harus bisa menggalang opini yang ngedab-edabi. Suara rakyat adalah suara Tuhan… jika kita bersatu untuk menyuarakan kebenaran, menyuarakan rasa keadilan… maka bukan hal yang mustahil kita yang jelata ini bisa mengusir para bedebah,” kata Denmas Suloyo berapi-api.
“Benar juga lho Mas apa yang dikatakan Denmas Suloyo. Kasus heboh di negeri kita kemarin itu, bisa menggelinding kencang juga tak lepas dari peran besar rakyat biasa. Gerakan di Facebook, demonstrasi di berbagai penjuru kota dan diskusi-diskusi kecil macam kita ini bisa jadi merupakan cikal bakal terbentuknya opini publik yang luar biasa. Ini pula yang mendorong Presiden kita kemudian memutuskan membentuk tim pencari fakta… rak iya ta?” kata saya setengah bertanya kepada peserta jagongan.
Negeri buruk rupa
Begitulah. Ajang kumpul-kumpul rakyat kelas bawah seperti ini memang sering tak memberi efek besar kepada kebijakan negara. Namun ketika era telah berubah seperti sekarang, tidak ada yang mustahil bahwa ketidakadilan bisa ditumbangkan oleh gerakan rakyat lewat berbagai cara dan media.
Karenanya, dalam obrolan ngalur-ngidul tentang “para bedebah”, tentang perseteruan antara “cicak dan buaya”, tentang harapan rakyat akan ketegasan pemimpinnya, menjadi ajang yang menyenangkan bagi orang-orang kelas bawah seperti kami yang sering tak punya media besar untuk menyalurkan uneg-uneg sekadar ngudarasa.
Kita semua tentu berharap, negeri ini tidak terus menerus dicap buruk rupa, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Indonesia yang sesungguhnya kaya raya, gemah ripah loh jinawi ini, sering mendapat julukan yang buruk-buruk. Ada yang menyebut Republik Mimpi Buruk lah, Republik Maling lah, Republik Pelupa lah dan masih banyak yang lainnya termasuk sebagai Negeri Bedebah tadi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, “bedebah” adalah makian untuk seseorang yang bermakna kurang lebih “celaka”. Namun dalam bahasa sosiologis bedebah sebenarnya lebih berkonotasi kepada orang-orang yang tak bermoral, tak punya rasa malu, suka menipu, tebal muka, sumpahnya palsu, injak sana-injak sini, bertindak sewenang-wenang, apa pun dilakukan demi tercapainya tujuan, tak ada kamus haram dalam benaknya, semua halal, mencla-mencle, miyar-miyur, esuk tempe sore dhele dan seterusnya… itulah orang yang patut diumpat dengan kata “Bedebah!!!”
Semoga saja hangar bingar perseteruan antara lembaga hukum di negeri kita bisa segera berakhir dengan keputusan tegas Presiden kita yang akan disampaikan hari ini. Semoga bangsa ini memperoleh kedamaian dengan kebijakan pemimpin kita yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat bukan sekadar menegakkan hukum normatif lewat ayat dan pasal yang sering menggelisahkan rakyat.
Semoga saja cap sebagai bangsa pelupa, karena selalu melupakan hal-hal penting dalam perjalanan sejarah pendewasaan bangsa setelah dininabobokkan penguasa juga segera hilang. Carut marut wajah peradilan hukum kita yang penuh dengan makelar kasus, rekayasa dan bedebah-bedebah itu perlu keputusan berani dan tegas.
Negeri ini membutuhkan sosok pendekar hukum seperti almarhum Baharuddin Lopa, yang oleh Pak Kiai Cholil Bisri disebut sebagai orang yang mengerti dan berani membela prinsip kebenaran dan keadilan. Dia adalah orang yang sederhana, sehingga tidak pernah takut akan “ancaman” sesama. Orang yang mempercayai anugerah Tuhan, sehingga tidak pernah khawatir dengan segala akibat ketika dia menjunjung tinggi perintah yang dipercaya, yang diyakini kebenarannya. Adakah sosok seperti itu? Kalau belum juga ada, maka para bedebah penguasa negeri ini belum akan tamat riwayatnya…[]

Sang wakil di menara gading…

Sepanjang bulan Ramadhan silam, kelompok diskusi kelas wedangan Mas Wartonegoro, Raden Mas Suloyo dkk yang biasa mangkal di News Café, di kampung saya Mojosongo praktis tak banyak melakukan kegiatan. Masing-masing orang sedang sibuk bermuhasaba bermenung, merefleksi diri untuk mencari hakikat diri dan hakikat kehidupan, berubah sedikit religius, meninggalkan banyak hal yang berkait dengan keduniawian.
Karena itu, ketika kami bertemu di Lebaran hari kedua pekan lalu obrolan begitu gayeng, seru. Ternyata, telah banyak hal terjadi di negeri ini yang luput dari perbincangan kami. Beragam peristiwa sosial, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan bergulir kencang. Semuanya hampir berlangsung di bulan September dan pada Oktober yang kurang dua hari lagi ini semuanya harus telah diputuskan.
“Ada kasus Bank Century yang merembet ke mana-mana itu, lalu muncul persoalan antara kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga Presiden harus turun tangan bikin Perpu yang menimbulkan polemik, sampai kampung kita Mojosongo yang mendadak terkenal ke suluruh Indonesia bahkan dunia gara-gara Noordin M Top ngumpet di sini. Hampir semuanya lepas kita diskusikan ya,” kata Denmas Suloyo, seperti biasa membuka obrolan dengan penuh semangat.
“Ya maklum saja ta Denmas, kita kan kemarin sepakat selama puasa berkonsentrasi meningkatkan derajat religiusitas. Diskusi soal perpolitikan kita kurangi dulu. Tapi nyatanya susah juga ya berdiam diri tidak ikut membicarakan persitiwa yang ada di sekitar kita. Termasuk waktu penggerebekan Densus 88 ke tempat persembunyian Noordin M Top di kampung kita menjelang Lebaran silam. Wah gayeng tenan Mas. Kampung kita ‘Emjinine’ tambah moncer. Malah kawan saya di Karanganyar sana juga ikut-ikutan nyebut kampungnya dengan ‘Emjibanana’… Mojogedang, maksudnya,” timpal Mas Wartoengoro yang disambut derai tawa kawan-kawannya.
“Tapi ada satu hal yang mestinya jangan sampai lepas dari pengawalan kita, yaitu soal rencana pelantikan anggota DPR/MPR awal Oktober mendatang. Isu soal dana yang mencapai miliaran rupiah serta mengingatkan wakil-wakil kita di parlemen agar bekerja sungguh-sungguh, harus selalu kita kobarkan,” kata Denmas Suloyo.
Menara gading
Ya, seperti kita ketahui pelantikan 560 anggota DPR dan 132 DPD periode 2009-2014 sempat mengundang polemik gara-gara Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan dana hingga Rp 11 miliar hanya untuk pelantikan. Bukan hanya itu, para legislator dan senator itu juga akan mendapatkan sejumlah fasilitas istimewa sebelum pelantikan.
Sekalipun belakangan panitia siap memangkas biaya pelantikan sampai 50%, toh sampai sekarang berita soal pemangkasan itu belum terdengar lagi jadi tidaknya. Kalau pun sejumlah anggota parlemen yang hendak dilantik juga merasa jengah dengan persoalan dana tersebut, hal itu kan tidak akan mempengaruhi kebijakan tentang pendaaan seremoni.
Permasalahan yang lebih penting sesungguhnya bukan sekadar hiruk-pikuk atau pro-kontra pelantikan itu. Kita justru perlu mengingatkan soal komitmen perubahan sikap, perilaku, tindak tanduk, kebiasaan bahkan citra buruk anggota parlemen pasca pelantikan nanti, karena selama ini yang terpatri di benak sebagian besar masyarakat kita anggota Dewan seolah identik dengan suap, korupsi, pemalas, mementingkan diri sendiri dan golongan, lupa kepada rakyatnya dan hal-hal yang bersifat buruk lainnya.
Sudah saatnya anggota parlemen memiliki paradigma baru, bukan lagi ke Senayan untuk sekadar menikmati kedudukan, atau terus memilihara pameo 4D--datang, duduk, diam dan dapat duit. “Mereka yang sesungguhnya adalah wakil kita, jangan sampai keenakan seolah-olah sekarang tinggal di menara gading yang tidak tersentuh dan tidak mau turun ke bawah. Kita harus selalu ingatkan itu sejak sekarang,” kata Denmas Suloyo.
Istilah menara gading, memang kerap digunakan untuk memaknai tempat menyendiri yang memberi kesempatan penghuninya untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Menara gading adalah tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan, tempat untuk menyendiri menikmati keberhasilan seseorang dan melupakan siapa saja termasuk orang-orang yang pernah berjasa mengantarkan keberhasilannya.
Masa euforia pascareformasi sejak sepuluh tahun silam bagi anggota Dewan, rasanya sudah cukup. Tuntutan eksternal jelas makin kuat atas eksistensi DPR. Suara-suara yang keras dan konsisten dari luar hendaknya menjadi faktor penting untuk mengingatkan anggota parlemen agar bekerja sungguh-sungguh.
Anggota DPR yang hendak dilantik awal Oktober besok lebih dari 560 anggota dan 70 persen dari mereka adalah wajah baru. Kita bersyukur sebagian di antara mereka telah menyatakan malu dengan rencana pelantikan berbiaya miliaran, namun sekali lagi bukan perayaan pelantikan sebagai titik pusat perhatian rakyat. Justru momentum itu adalah anjakan awal harapan masyarakat agar peta politik di gedung wakil rakyat berubah. Bukan lagi orang-orang klimis yang selalu menutup mata nasib orang-orang yang diwakilinya karena dia bertahta di menara gading.
Kita semua berharap, seluruh anggota parlemen nanti tidak menjadi silau karena popularitas dan kekuasaan. Sebab, mengutip KH M Cholil Bisri dalam salah satu tulisanya di buku Menuju Ketenangan Batin (2008), di zaman modern ini tidak ada seorang pun yang tidak silau ketika kena sorot. “Semakin sering disorot, makin sering ‘menderita’ silau. Yang terjadi, saat kesilauan menerpa orang tidak mudah melihat sosok di depannya. Apakah itu cucu, atau mertuanya. Bisa jadi, siapa saja yang di depannya diterjang begitu saja. Baru sadar saat ada yang meraung atau celaka.”
Karena itu, Kiai Cholil mengingatkan jangan sampai ada orang-orang yang terkenal–termasuk para calon anggota parlemen yang dilantik 1 Oktober mendatang, larut dalam arus pujian, hanya melihat kelebihan dirinya tanpa mampu meraba kekurangan. “Dia lupa diri, dan pada gilirannya tidak ingat kepada siapa Yang Mengecat Cabai. Dia menjadi angkuh dan jumawa.” Padahal dia hanyalah seorang wakil tapi malah bertahta di menara gading…[]

Ilham senyum & kepedulian...

Tidak seperti biasanya, komunitas jagongan News Cafe di kampung saya kali ini mengganti topik diskusi dunia perpolitikan. Maklum, selain tak ada isu politik menarik Minggu kemarin sudah dalam suasana Ramadan sehingga kami merasa lebih penting membahas persoalan tentang ilham kebaikan, kebenaran dan kepedulian kepada sesama...
Maka ketika saya membawa cerita tentang betapa dahsyatnya pengaruh senyuman yang diilhamkan-Nya kepada manusia, Denmas Suloyo, Mas Wartonegoro dan kawan-kawan lain tampak terkesima. Kisah senyum ini saya unduh dari boks milis email yang dikirim kawan saya setahun silam.
Kisahnya adalah tentang seorang ibu yang sedang menuntut ilmu di negeri seberang. Pada kelas terakhir yang diambil wanita Indonesaia itu adalah matakuliah Sosiologi. Sang dosen, kata si ibu, sangat inspiratif, ”Tugas terakhir yang diberikan dosen ke siswa diberi nama Smiling," tulis wanita yang hingga cerita berakhir tidak saya ketahui siapa nama dan alamatnya.
Mahasiswi Indonesia, ibu tiga orang putera itu berkisah, seluruh siswa diminta pergi ke luar dan memberikan senyuman kepada tiga orang asing yang ditemui lantas mendokumentasikan reaksi mereka. Singkat cerita, setelah kuliah usai dia bergegas menemui suami dan anak bungsunya yang menunggu di taman halaman kampus karena mereka hendak ke Restoran McDonald's dekat kampus. ”Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering...! Saya masuk ke dalam antrean, saya minta suami menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk kosong.”
Ketika sedang dalam antrean itulah, cerita si ibu, mendadak setiap orang di sekitar dia menyingkir dan bahkan orang yang semula antre di belakang dia ikut menyingkir keluar dari antrean. ”Ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua menyingkir, saya membaui sesuatu yang menyengat, khas bau badan kotor. Tepat di belakang saya ternyata berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali,” ceritanya.
Lalu ketika dia menunduk, tanpa sengaja dia menatap laki-laki tunawisma yang berbadan lebih pendek, ”Dan dia tersenyum ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam... tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap saya seolah meminta agar saya dapat menerima kehadirannya di tempat itu... sambil berkata ’good day..!’ sambil menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dia pesan.”
Spontan, kata si ibu mahasiswa itu, dia membalas senyuman tunawisma tersebut, ”Seketika saya teringat tugas dosen saya. Lelaki kedua yang juga dekil rupanya menderita defisiensi mental dan lelaki bermata biru tadi adalah penolongnya. Saya sangat prihatin... setelah mengetahui ternyata dalam antrean itu kini hanya tinggal saya bersama dua orang tunawisma tersebut.”
Ketika pelayan menanyakan kepada mahasiswi kita apa yang ingin dipesan, sang ibu itu pun mempersilakan kedua lelaki di belakangnya untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir!" katanya kepada pelayanan.
Ternyata koin yang terkumpul, dua orang tunawisma tadi hanya cukup untuk membeli kopi. Di restoran Barat, memang sudah menjadi aturan jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh harus membeli sesuatu. ”Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan. Tiba-tiba saya diserang rasa iba, memelas. Saya melihat mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari pembeli lain dan hampir semuanya mengamati dua tunawisma itu.”
Mahasiswi kita itu baru tersadar setelah petugas di counter menyapanya. ”Saya minta dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah. Setelah membayar, saya minta petugas untuk mengantarkan pesanan saya ke tempat suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya ke arah meja kedua lelaki tadi. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di meja mereka sambil tangan saya memegang punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu... ’makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua’.”
Mata biru lelaki bule tunawisma itu, kisah mahasiswi kita, menatap dalam ke arahnya, ”Mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata, ’Terima kasih banyak nyonya’. Saya mencoba tetap menguasai diri, sambil menepuk bahunya saya berkata, ’sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian..."
Mendengar itu, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kawannya sambil terisak-isak. ”Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu... saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya. Suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum, ’Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku.’ Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan kami bersyukur dan menyadari bahwa hanya karena ilham-Nya lah kami telah berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.”
Saat mereka sedang menyantap makanan, tamu yang akan meninggalkan restoran lalu disusul beberapa tamu lainnya satu persatu menghampiri meja keluarga Indonesia itu untuk sekadar ingin berjabat tangan. Salah satu di antaranya memegangi tangan mahasiswi kita tadi sambil berucap, ”Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi..."
Begitulah. Ketika kisah itu saya bacakan kepada kawan-kawan ngobrol saya, mereka hanya diam, sunyi, senyap, tafakur, tidak seperti ketika mendiskusikan perihal perpolitikan yang biasa kami lakukan. Cerita ibu mahasiswa tadi menjadi ilham bagi kami bahwa sesungguhnya senyuman dan kepedulian itu juga merupakan ilham dari-Nya. Dan itu diberikan kepada mereka yang berhati jernih...

ShoutMix chat widget