Senin, 23 November 2009

Ilham senyum & kepedulian...

Tidak seperti biasanya, komunitas jagongan News Cafe di kampung saya kali ini mengganti topik diskusi dunia perpolitikan. Maklum, selain tak ada isu politik menarik Minggu kemarin sudah dalam suasana Ramadan sehingga kami merasa lebih penting membahas persoalan tentang ilham kebaikan, kebenaran dan kepedulian kepada sesama...
Maka ketika saya membawa cerita tentang betapa dahsyatnya pengaruh senyuman yang diilhamkan-Nya kepada manusia, Denmas Suloyo, Mas Wartonegoro dan kawan-kawan lain tampak terkesima. Kisah senyum ini saya unduh dari boks milis email yang dikirim kawan saya setahun silam.
Kisahnya adalah tentang seorang ibu yang sedang menuntut ilmu di negeri seberang. Pada kelas terakhir yang diambil wanita Indonesaia itu adalah matakuliah Sosiologi. Sang dosen, kata si ibu, sangat inspiratif, ”Tugas terakhir yang diberikan dosen ke siswa diberi nama Smiling," tulis wanita yang hingga cerita berakhir tidak saya ketahui siapa nama dan alamatnya.
Mahasiswi Indonesia, ibu tiga orang putera itu berkisah, seluruh siswa diminta pergi ke luar dan memberikan senyuman kepada tiga orang asing yang ditemui lantas mendokumentasikan reaksi mereka. Singkat cerita, setelah kuliah usai dia bergegas menemui suami dan anak bungsunya yang menunggu di taman halaman kampus karena mereka hendak ke Restoran McDonald's dekat kampus. ”Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering...! Saya masuk ke dalam antrean, saya minta suami menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk kosong.”
Ketika sedang dalam antrean itulah, cerita si ibu, mendadak setiap orang di sekitar dia menyingkir dan bahkan orang yang semula antre di belakang dia ikut menyingkir keluar dari antrean. ”Ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua menyingkir, saya membaui sesuatu yang menyengat, khas bau badan kotor. Tepat di belakang saya ternyata berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali,” ceritanya.
Lalu ketika dia menunduk, tanpa sengaja dia menatap laki-laki tunawisma yang berbadan lebih pendek, ”Dan dia tersenyum ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam... tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap saya seolah meminta agar saya dapat menerima kehadirannya di tempat itu... sambil berkata ’good day..!’ sambil menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dia pesan.”
Spontan, kata si ibu mahasiswa itu, dia membalas senyuman tunawisma tersebut, ”Seketika saya teringat tugas dosen saya. Lelaki kedua yang juga dekil rupanya menderita defisiensi mental dan lelaki bermata biru tadi adalah penolongnya. Saya sangat prihatin... setelah mengetahui ternyata dalam antrean itu kini hanya tinggal saya bersama dua orang tunawisma tersebut.”
Ketika pelayan menanyakan kepada mahasiswi kita apa yang ingin dipesan, sang ibu itu pun mempersilakan kedua lelaki di belakangnya untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir!" katanya kepada pelayanan.
Ternyata koin yang terkumpul, dua orang tunawisma tadi hanya cukup untuk membeli kopi. Di restoran Barat, memang sudah menjadi aturan jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh harus membeli sesuatu. ”Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan. Tiba-tiba saya diserang rasa iba, memelas. Saya melihat mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari pembeli lain dan hampir semuanya mengamati dua tunawisma itu.”
Mahasiswi kita itu baru tersadar setelah petugas di counter menyapanya. ”Saya minta dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah. Setelah membayar, saya minta petugas untuk mengantarkan pesanan saya ke tempat suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya ke arah meja kedua lelaki tadi. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di meja mereka sambil tangan saya memegang punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu... ’makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua’.”
Mata biru lelaki bule tunawisma itu, kisah mahasiswi kita, menatap dalam ke arahnya, ”Mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata, ’Terima kasih banyak nyonya’. Saya mencoba tetap menguasai diri, sambil menepuk bahunya saya berkata, ’sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian..."
Mendengar itu, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kawannya sambil terisak-isak. ”Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu... saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya. Suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum, ’Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku.’ Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan kami bersyukur dan menyadari bahwa hanya karena ilham-Nya lah kami telah berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.”
Saat mereka sedang menyantap makanan, tamu yang akan meninggalkan restoran lalu disusul beberapa tamu lainnya satu persatu menghampiri meja keluarga Indonesia itu untuk sekadar ingin berjabat tangan. Salah satu di antaranya memegangi tangan mahasiswi kita tadi sambil berucap, ”Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi..."
Begitulah. Ketika kisah itu saya bacakan kepada kawan-kawan ngobrol saya, mereka hanya diam, sunyi, senyap, tafakur, tidak seperti ketika mendiskusikan perihal perpolitikan yang biasa kami lakukan. Cerita ibu mahasiswa tadi menjadi ilham bagi kami bahwa sesungguhnya senyuman dan kepedulian itu juga merupakan ilham dari-Nya. Dan itu diberikan kepada mereka yang berhati jernih...

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget