Minggu, 17 Mei 2009

Asu gedhe menang kerahe…

Di Jakarta, gegap gempita pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden telah berakhir. Namun resonansinya pasti akan terus bergema. Elite Parpol masih berakrobat sedemikian rupa untuk berkoalisi, saling mempengaruhi, memprovokasi kalau perlu memanas-manasi kelompok lainnya dengan tujuan akhir: meraih kekuasaan.
Cara apa pun mereka tempuh untuk memperoleh suara besar agar ketika menjadi oposan bertaring tajam, dan jika menjadi penguasa memiliki dukungan yang tak tergoyahkan. Orang Jawa bilang ”asu gedhe menang kerahe…”, anjing besar pasti menang dalam perkelahian.
Di sudut Kota Surabaya, tepatya di Jl Pemuda seorang pedagang kaki lima Sumariyah, 22, yang berjualan bakso berjibaku menyelamatkan nyawa anaknya yang masih balita, Horiyah, 4, akibat tersiram kuah panas dan sebagian tubuhnya terbakar saat berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Satpol PP yang merazia kawasan itu.
Ketika berlari membawa gerobak, si bocah dia naikkan di atasnya. Satpol PP mengejar. ”Rambut Sumariyah ditarik dari belakang. Pegangan tangannya pada gerobak terlepas. Gerobaknya ambruk, kuah baksonya tumpah dan kompor yang ada di dalam gerobak ikut terguling. Apinya menyambar dinding kayu gerobak,” ungkap Masruri, saksi di tempat kejadian. Sialnya, tumpahan kuah itu mengguyur sang anak termasuk api kompor ikut menjilat tubuh Horiyah yang terjungkal bersamaan ambruknya gerobak sang bunda. (Surya, 12/5)
Inilah ironi. Sebuah gambaran yang sangat kontras di antara orang-orang yang tengah berambisi untuk ”menguasai” negara sementara di sisi lainnya terdapat rakyat jelata yang tengah berjuang untuk mencari sesuap nasi namun harus berurusan dengan para penguasa yang sewenang-wenang. Adakah nantinya empati para elite bangsa yang tengah berebut kuasa itu muncul ketika melihat penderitaan rakyatnya? Untuk tujuan apakah mereka ingin merebut kekuasaan?
Para elite yang kini sedang ”bertempur” untuk meraih kekuasaan seharusnya memahami benar apa sesungguhnya filosofi terbentuknya sebuah negara. Negara tak ubahnya sebuah organisasi besar dengan tujuan utamanya adalah memudahkan anggotanya (yaitu rakyat) untuk mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan, menuju rakyat yang adil, makmur, sejahtera, aman dan sentausa.
Keinginan bersama adalah rumusan yang kemudian disepakati bersama dalam bentuk sebuah dokumen konstitusi atau undang-undang. Undang-undang inilah yang harus dijunjung sebagai dokumen hukum tertinggi untuk mengatur keberlangsungan negara, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang juga harus ditaati rakyat sebagai anggota negara serta pengelola negara sebagai pengayom rakyatnya.
Negara yang terancam
Insiklopedia dunia maya Wikipedia.org menyebutkan bahwa dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkret pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan. Fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya.
Lantas bagaimana jika masih ada saja rakyat yang terancam dalam menjalankan kehidupannya di sebuah negara seperti yang dialami pedagang bakso di Surabaya tadi? Itu artinya negara belum bisa menjalankan fungsinya secara benar. Siapa yang harus disalahkan? Tentunya pengurus negara, yaitu penguasa yang direpresentasi pemerintah. Layaknya organisasi biasa, orang yang diserahi mengurus kepentingan rakyat dipilih secara demokratis. Namun ketika mereka telah diberi mandat haruslah menjalankan amanat penderitaan rakyat, bukan bertindak sewenang-wenang.
Moga-moga para elite Parpol yang sedang berusaha meraih kekuasaan itu benar-benar ingat akan fungsi dan perannya sebagai pengayom rakyat. Karena kalau kita lihat ambisi dan sepak terjang mereka dalam menggalang kekuatan, menjalin koalisasi pating penthalit, miyar-miyur kayak ager-ager gitu saya kok jadi khawatir. Jangan-jangan mereka berprinsip asu gedhe menang kerahe. Kalau benar seperti itu, negara ini benar-benar sedang terancam,” papar Denmas Suloyo saat wedangan di News Cafe bersama kelompok setianya.
Bisa jadi benar apa yang dikhawatirkan Denmas Suloyo itu. Karena setelah kolonialisme hilang dari peradaban dunia, salah satu ancaman besar bagi sebuah negara salah satunya justru berasal dari para penguasa itu sendiri. Apalagi jika penguasa menerapkan prinsip asu gedhe menang kerahe, yang besar pasti menang saat berkelahi. Maka rakyat jangan-jangan yang akan menjadi korban, tirani minoritas penguasa bisa saja berubah menjadi bencana bagi negara dan rakyatnya.
Dalam peribahasa Jawa, asu gedhe menang kerahe bermakna; Orang yang memiliki dukungan besar tentu akan menang dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki pendukung. Namun nilai yang dikandung dalam peribahasa itu sesungguhnya adalah, janganlah bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang lebih lemah, jangan mentang-mentang kuat lantas menekan yang lemah. Jangan mentang-mentang berkuasa kemudian menginjak rakyat yang tak berdaya. Jangan mentang-mentang di parlemen menjadi penguasa mayoritas lantas bertindak sesuka hati tak mengindahkan kepantingan rakyat.
Kata kawan saya, Denmas Suloyo, pengingatan itu penting karena di dunia ini tidak ada yang kekal abadi. Sekarang mungkin sedang berkuasa suatu ketika bisa saja kekuasaan itu lenyap. Oleh karenanya setiap orang harus berhati-hati dalam bertindak jangan adigang adigung adiguna ketika tengah berkuasa. ”Manusia hendaklah berbuat adil dalam setiap gerak dan langkahnya sesuai dengan ajaran agama bahwa Tuhan adalah Maha Adil… maka sifat baik itu juga harus ditiru umatnya…” kata Denmas Suloyo yang kemarin tampak arif bijaksana.

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget