Senin, 01 Desember 2008

Pemimpin berakhlak mulia…


Pulang dari kuliah Subuh, Denmas Suloyo hari Minggu kemarin ngecuprus berkeluh kesah kepada Mas Wartonegoro soal kecelakaan ringan yang baru saja dia alami. “Lha ora tiba-nangi pripun ta Mas, jalan yang menuju kampung saya itu tambah parah saja, lubangnya sampai sak kebo-kebo. Padahal desa-desa sebelah hampir semuanya sudah diperbaiki. Ini kayaknya ada unsur kesengajaan Bupati Mas, soalnya wilayah saya ini waktu Pilkada tidak mendukung dia,” kata Denmas Suloyo seperti biasanya mulai menerka-nerka.
“Ah sampeyan ini kok sukanya su’udzan. Ini puasa lho, nanti batal puasanya,” kata Mas Wartonegoro.
“Wah, lha saya ini bercerita soal realitas, fakta kok Mas. Fakta bahwa suara untuk Bupati yang sekarang itu di desa saya kalah mutlak, kami dulu tidak mendukung dia. Realitas bahwa jalan desa kami ini sekarang tak kunjung diperbaiki, padahal rusaknya sudah parah. Sudah berapa orang yang jatuh bangun dan tabrakan gara-gara jalan berlubang itu, termasuk saya,” jawab Denmas Suloyo nerocos.
“Lho bukan soal realitasnya, tapi soal berprasangka itu tadi lho bahwa belum dibangunnya jalan itu karena kesengajaan. Apa sampeyan pernah konfirmasi ke Bupati?” kata Mas Wartonegoro.
“Ya memang belum. Cuma ini kan sudah menjadi rahasia umum kalau Bupati kita itu suka balas dendam. Ini juga fakta bahwa para pegawai negeri yang dulu tidak mendukung dia, sekarang juga dikucilkan, tak diberi jabatan atau malah dimutasi ke daerah terpencil yang bikin tak krasan,” tambah Denmas Suloyo makin berapi-api.
“Ah itu kan manusiawi ta Denmas. Itu namanya risiko dari sebuah pilihan. Kalau sekarang Bupati sampeyan itu rada anyel kepada desa Anda, ya diterima saja. Kalau sekarang Bupati sampeyan itu ‘membuang’ orang yang tidak mendukungnya, ya mereka harus lapang dada,” kata Denmas Wartonegoro.
“Wah lha nggak bisa begitu dong Mas. Mentang-mentang berkuasa terus sewenang-wenang, adigang adigung adiguna... sapa ira sapa ingsun. Seorang pemimpin mestinya bersikap demokrat, tidak otoriter dan pendendam begitu. Ini kan persoalan berbangsa dan bernegara Mas, bukan masalah pribadi. Mas dokter tetangga saya itu sampai stres gara-gara dipindahtugaskan ke wilayah yang sangat jauh, hanya karena dia beda ideologi politik. Sebagai seorang pemimpin, tidak bisa begini dong Mas,” kata Denmas Suloyo tambah sewot.
“Wah benar juga ya kata sampeyan Denmas. Seorang pemimpin mestinya adalah seorang demokrat sejati, berakhlak mulia yang tidak membedakan dia dulu pendukung atau bukan. Seperti kata Pak Ustad yang berceramah tentang keteladanan kepemimpinan Nabi Muhammad tadi ya Denmas...”
“Ya seharusnya begitu... demokrat yang saya maksud itu adalah orang yang benar-benar mengerti tentang paham demokrasi, paham bagaimana berdemokrasi dalam bernegara ini,” imbuh Denmas Suloyo.
Keduanya memang baru saja terkesima mendengarkan penceramah kuliah Subuh di mesjid kampung mereka yang menceritakan betapa seorang pemimpin itu mestinya mengikuti teladan yang pernah dilakukan Nabi. Pak ustad bertutur, bahwa pada suatu ketika di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis buta yang setiap hari selalu berkata kepada tiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”
Namun setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat. Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis buta itu.
Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain merupakan isteri Rasulullah SAW. Dia bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku Muhammad yang belum aku kerjakan?“
Aisyah menjawab,”Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu hal.”
“Apakah Itu?” tanya Abubakar.
“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar membawakan makanan untuk pengemis buta yang ada di sana,” kata Aisyah.
Keesokan harinya Abubakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu?”
“Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).”
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia suapkan padaku,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”
Seketika pengemis buta itu pun menangis, tersungkur... mendengar penjelasan Abubakar RA. “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, betapa dia pemimpin besar yang begitu mulia.... “ q

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget