Selasa, 02 Desember 2008

Membangun pers dengan integritas...


9 Februari pekan lalu, insan pers di Indonesia, khususnya mereka yang menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), baru saja memperingati Hari Pers Nasional dan HUT ke-61 PWI. Tak heran kalau Kangmas Watonegoro yang pekerjaan sehari-harinya kulak rungu adol warta itu, Minggu kemarin ngglenik soal peran dan fungsi pers dengan kanca kenthel-nya, Denmas Suloyo.
Soalnya, baru-baru ini Mas Wartonegoro mengaku baru saja dibuat tersinggung oleh pernyataan seorang pejabat lokal terkait dengan bidang kerja yang dicintainya itu. “Bagaimana tidak tersinggung, pejabat itu menuduh lembaga pers tempat saya bekerja telah membuat berita tanpa konfirmasi, menulis berita tanpa ada sumber berita dan kami dituduh telah melakukan pembohongan kepada publik...”
"Itu penting ya buat sampeyan?” tanya Denmas Suloyo.
“Loh... penting sekali. Itu tuduhan yang sangat serius Denmas. Kami betul-betul tersinggung, karena sebagai pekerja profesional kami tidak mungkin merendahkan diri dengan bekerja serampangan tanpa memperhatikan kode etik profesi dan kaidah jurnalistik yang berlaku. Kami punya integritas,” papar Kangmas Wartonegoro kepada teman ngobrolnya Denmas Suloyo.
“Lha integritas itu apa ta Mas…?” tanya Denmas Suloyo.
“Integritas itu soal reputasi, citra baik, kewibawaan dan soal kejujuran. Dan masalah ini bagi sebuah koran menjadi sangat penting,” jawab Kangmas Wartonegoro.
“Begitu ya…?”
“Iya begitu, soalnya selain ini terkait dengan idealisme, bisnis kami ini juga menyangkut soal kepercayaan publik. Kalau kami dianggap berbohong, itu kan sama artinya menghina kami,” kata Mas Wartonegoro menggebu-gebu.
“Begitu ya...?”
“Iya begitu...” jawab Mas Wartonegoro yang kemudian menuturkan soal teori jurnalisme yang ndakik-ndakik bahwa dalam bidang ini, kebenaran menjadi sesuatu yang sangat sakral dan penting. Sebab tugas utama pers adalah mencari dan menampilkan kebenaran.
Bahkan, kata Mas Wartonegoro yang masih belum puas ngudarasa, demi sebuah integritas dan martabat institusi pers harus berani mengembil risiko terbesar kehilangan penghasilan. “Memang benar, pers masa kini tak akan hidup jika tidak ada iklan. Namun jika pers ditekan demi sebuah iklan, jurnalis harus berani bersikap. Manajemen media massa yang profesional adalah yang mampu membedakan antara berita, opini dan iklan karena pada dasarnya isi penerbitan pers itu ya tiga hal tersebut.”
Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dua orang pakar komunikasi massa mengemukakan bahwa terdapat sembilan elemen jurnalisme yang menjadi tolok ukur bagi benar atau tidaknya kerja para jurnalis ketika mengungkap kebenaran dari sebuah fakta. Kesembilan elemen jurnalisme itu menyangkut soal kebenaran yang harus dicari terus menerus, keberpihakan kepada masyarakat, selalu melakukan verifikasi, bersikap independen, menjadi pengawas serta memantau kekuasaan, sebagai forum publik yang menampung segala pendapat, gagasan, kritik dan saran, jurnalisme harus ditampilkan secara memikat dan relevan, berita yang ditampilkan haruslah proporsional dan komprehensif serta selalu mendengarkan hati nurani.
Lantas bagaimana substansi kebenaran dalam jurnalisme seperti yang dipaparkan Kovack dan Rosintiel itu? Menurut mereka, kebenaran dalam jurnlistik adalah kebenaran fungsional. Hal ini perlu dipertanyakan, mengingat kebenarn seringkali tampil secara subyektif. Kebenaran yang mana? Bukankah kebenaran bisa dipandang dari kacamata berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat memiliki konsep “kebenaran” dengan dasar pemikiran yang berbeda-beda. Lantas kebenaran menurut siapa? Wartawan toh memiliki latar belakang sosial, agama, etnis kewarganegaraan yang berbeda-beda.
Nah, terkait dengan pertanyaan itu Bill Kovach dan Tom Rosentiel menyebut bahwa kebenaran dalam jurnlistik adalah kebenaran yang secara terus menerus dicari. Kebenaran fungsional, diibaratkan seorang polisi yang melacak dan menangkap tersangka. Hakim menjalankan peradilan juga berdasar kebenaran fungsional. Pabrik diatur, pajak dikumpulkan, hukum dibuat, ilmu fisika, kimia, sejarah diajarkan guru dan sebagainya semua adalah kebenaran fungsional.
Kebenaran itu, kata Kovack dan Rosintiel senantiasa bisa direvisi. Terdakwa bisa bebas karena terbukti tak bersalah. Hakim bisa keliru. Pelajaran fisika, biologi, bisa salah. Hukum ilmu alam pun bahkan bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam arti filosofis, tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Kebenaran dibentuk melalui proses berlapis-lapis, kebenaran dibentuk hari demi hari. Ibarat stalagmit, tetes demi tetes kebenaran membetuk stalagmit kebenaran yang besar.
Karena itu kebenaran harus dibangun oleh jurnalis profesional yang memiliki komitmen tinggi. Diperlukan pribadi yang jujur, bertanggung jawab, disiplin, visioner, mau bekerja sama, adil dan peduli. Mengutip Duane Bradley, seperti tertulis dalam The Newspaper - ints Place in a Democracy (Wartawan & KEJ, Rosihan Anwar-1996), wartawan yang baik harus memiliki sejumlah aset atau modal. Yaitu pengetahuan, rasa ingin tahu, daya tenaga dan hidup (vitalitas), nalar berdebat, bertukar pikiran, keberanian, kejujuran dan keterampilan bahasa serta integritas yang mendalam.
Nah, dalam suasana yang masih kental dengan perayaan Hari Pers Nasional seperti sekarang ini, alangkah baiknya jika semua kalangan kian memahami betapa pentingnya peran media massa saat ini. Begitu juga sebaliknya, insan pers hendaknya semakin menyadari posisinya sebagai bagian dari civil society, sebagai pilar keempat demokrasi. Oleh karenanya, jika pers telah melencengkan diri dari fungsi sejatinya maka demokrasi itu secara pelahan namun pasti akan runtuh dan kita sadar mengenai hal itu, sehingga sikap profesional dengan terus menjaga integritas merupakan pilihan yang tidak bisa diganggu gugat. q

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget