Rabu, 03 Desember 2008

Kesewenangan dan hukum rimba dunia pendidikan kita…

Pagi itu masih sekitar pukul 05.30 WIB. Dari perumahan Mojosongo, Jebres, Solo, semburat sinar Matahari di ufuk timur masih berwarna merah jingga. Tapi salah seorang warga di sana yang kesehariannya berprofesi sebagai penambal ban sepeda motor, sudah harus bangun melayani pelanggannya.
“Nyuwun sewu lhe Pak, saya bangunkan. Ban motor saya bocor, mau buat ngantar anak-anak ke sekolah,” kata Mas Wartonegoro, pelanggannya, masih krenggosan setelah menuntun sepeda motornya hampir 500 meter dari rumah.
“Ya gak papa Mas, lha wong kerjaan saya memang begini ini. Ini semua kan buat anak-anak ta? Saya juga harus kerja keras banting tulang untuk membiayai sekolah anak-anak. Sekolah kok ya tambah mahal saja ta Mas. Yang beli seragam, yang beli buku yang ini yang itu, pusing saya Mas,” kata pak penambal ban itu nerocos, berkeluh kesah.
Baru saja dia berhenti berbicara, tiba-tiba anak perempuannya yang sudah siap berangkat ke sekolah itu berteriak, “Pak… bayar buku seket wolu ewu. Dina iki terakhir,” teriaknya.
“Walah nduk… nduk, kemarin kan baru saja membayar Rp 200.000 ta? Lha duit dari mana? Bapakmu ini cuman tukang tambal ban…” jawab sang bapak dengan suara meninggi.
“Ya emboh Pak. Pak guru ngomongnya begitu,” jawab sang anak tak mau tahu tentang kesulitan orangtuanya.
“Ya sudah, pakai uang kulakan bensin dulu saja,” kata sang ibu menengahi dialog antara bapak-anak yang mulai memanas itu.
Mas Wartonegoro hanya bisa ikut merasakan kegundahan pak penambal ban, betapa kian sulitnya menjalani hidup dari hari ke hari, terlebih bagi orang-orang kelas bawah seperti pak penambal ban itu.
Jangankan bagi penambal ban yang pendapatannya tak menentu. Kawan sekantor Mas Wartonegoro, Denmas Suloyo, yang berpendapatan tetap dan jauh di atas pak penambal ban tadi saja masih berkeluh kesah tentang biaya pendidikan kedua anaknya yang tak bisa ditawar-tawar.
“Pokoknya biaya sekolah sekarang edan-edanan, terutama soal buku itu lho. Katanya tidak ada paksaan, tapi kenyataannya anak-anak ya takut kepada pak guru kalau tidak membeli. Waktu saya dulu sekolah, rasanya kok tidak sesulit sekarang ini ya. Dunia pendidikan sekarang sepertinya kok mengabaikan misi idealnya, mereka sekarang lebih berfungsi sebagai lembaga bisnis,” kata Denmas Suloyo grenengan.
Isu soal imbas diberlakukannya PSB Online bagi para guru yang tahun ini mendadak kehilangan “pendapatan tambahan” pun merebak. Padahal kebutuhan hajat hidup para guru dari hari ke hari juga terus bertambah. Kapitalisme di berbagai bidang telah mendorong semua lapisan masyarakat ikut larut menjadi manusia konsumtif.
Begitulah. Berbagai kritik tentang betapa sistem pendidikan kita akhir-akhir ini kian tak tentu arah, seolah bukan merupakan masalah. Bisa jadi benar pendapat Doni Koesoema A, seorang mahasiswa jurusan Ilmu Pendidikan dan Pengembangan Profesional Universitas Salesian, Roma yang menuliskan gagasannya di Harian Kompas pekan lalu bahwa kesewenang-wenangan sekolah menarik dana pendidikan dari masyarakat saat ini sudah pada taraf mengkhawatirkan. Banyak orangtua mengeluhkan biaya besar yang harus dibayar untuk sumbangan pengembangan institusi.
Kata dia, otonomi pendidikan tampaknya baru dipahami sekadar sebagai otonomi untuk memungut dana dari orangtua. Orangtua pun tak berdaya. Mereka tidak bisa marah sebab anak harus sekolah. Mereka pasrah meski dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak mampu membayar uang sekolah.
Kita paham, bahwa jer basuki mawa bea. Menarik dana pendidikan dari masyarakat merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya tergantung dari dana masyarakat. Namun, kata Doni, proses ini menjadi tidak wajar saat lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar orangtua terhadap kebijakan sekolah. Apalagi kalau sekolah itu negeri.
Kita sependapat dengan Doni tentag otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan yang akhirnya akan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya kian berjaya. Yang miskin kian tak berdaya.
Sistem pendidikan yang tak tentu arah itu seolah berlaku di semua strata pendidikan, SD, SMP, SMA hingga di tingkat perguruan tinggi. Sepuluh tahun lalu, antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) boleh disebut sebagai mitra yang saling melangkapi. PTN adalah lembaga pendidikan tinggi yang sangat berwibawa sekaligus bersahaja karena fungsinya yang benar-benar menekankan diri sebagai lembaga sosial bukan bisnis.
PTS pun dilihat sebagai lembaga pendidikan tinggi yang sangat diperhitungkan dan disegani karena mereka mampu mengembangkan diri sebagai sebuah institusi pendidikan yang tak tampak semata-mata sebagai sebuah lembaga bisnis. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir ini, antara PTN dan PTS bagaikan “musuh” jika tidak boleh disebut sebagai saingan bisnis.
Situasi yang terjadi dalam sistem pendidikan tinggi kita saat ini bagaikan dalam kerangka hukum rimba. Siapa yang kuat, maka dia yang akan menang. Yang lemah, silakan sekarat secara pelahan atau mati mendadak. Contoh riil yang selalu muncul adalah, betapa PTS sekarang ini mayoritas sudah tak berkutik karena “kerakusan” yang boleh dilakukan oleh PTN-PTN dalam menjaring mahasiswa.
Ketika pengelola PTS kelabakan memburu mahasiswa, PTN dengan leluasa menyedot mahasiswa dengan beragam program dan kesempatan. Jika tak lolos dari PSB atau PMDK, masih ada diploma, atau program ekstensi dan bahkan program swadana. Inilah sebagian kecil sistem pendidikan kita yang tak sehat dan mestinya segera menjadi perhatian serius pemerintah. o

1 komentar:

http://www.domu-ambarita.blogspot.com mengatakan...

100 persen, saya setuju bahwa biya pendidikan saat ini mencekik. Dalam catatan saya, ada 16 kasus gantung diri anak-anak dalam kurun waktu (Agustus 2003- 21 Juni 2004), di antaranya yang paling menonjol adalah percobaan bunuh diri, Heryanto (12) , 25 Agustus 2003. Saat itu murid kelas VI SD Muara Sanding IV Garut, Jawa Barat, ini mencoba gantung diri karena malu tidak mampu membayar biaya ekstrakurikuler senilai Rp 2.500. Untungnya nyawa Heryanto dapat diselamatkan, kendati terapinya lama dan seperti melatih anak yang belum bisa makan.

Sedih memang melihat Indonesia dan generasi mendatang dari kalangan yang belum beruntung, apakah mereka dapat mengenyam pendidikan seperti 10 tahun lalu, anak miskin pun dapat kuliah di UGM, ITB, UI dan universitas ternama.


ShoutMix chat widget