Senin, 01 Desember 2008

Ketika pejabat, aparat & penjahat bersepakat…


Denmas Suloyo nyaleg, istilah untuk orang yang hendak mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Ini tentu saja mengejutkan Mas Wartonegoro, karibnya yang selama ini sering bersama-sama ngrasani perilaku para elite politik baik di daerah maupun pusat.
“Lhah sampeyan ini gimana ta Denmas… setahu saya selama ini kan panjenengan benci dengan politik, lha kok mak bedunduk ikut-ikutan nyaleg,” kata Mas Wartonegoro saat bertemu Denmas Suloyo di kediamannya.
“Wah ini mumpung ada kesempatan je. Kata orang-orang, kalau ingin memperbaiki sistem itu ya sekalian saja masuk ke dalam sistem itu, jadi tau persis bagaimana sesungguhnya yang terjadi. Tidak asal nebak-nebak, ngrasani,” jawab Denmas Suloyo.
“Yak… opo hyok? Jangan-jangan malah katut, larut ke dalam sistem, lha wong sampeyan jadi oportunis gitu kok… nggak konsisten. Ya saya doakan saja semoga sampeyan benar-benar masih punya idealisme, jangan setelah menjadi pejabat publik malah bersepakat dengan para aparat dan bahkan penjahat untuk mensejahterakan diri masing-masing… lupa kepada rakyat. Itu kan yang masih terjadi di negeri ini sampai sekarang,” sergah Mas Wartonegoro yang kali ini giliran agak sewot karena sahabat ngerumpi-nya pindah haluan ingin menjadi pejabat.
Apa yang dilakukan Denmas Suloyo bukanlah kesalahan. Menjelang Pemilu 2009 ini memang sedang ada euforia. Rakyat jelata diajak-ajak ikut menjadi Caleg. Bahkan sejumlah partai membuka “iklan lowongan pekerjaan” untuk ikut serta menjadi Caleg tanpa harus aktif sebagai anggota partai sebelumnya, siapa saja boleh mendaftar.
Jadi Denmas Suloyo ini adalah salah seorang dari 12.198 orang Indonesia yang telah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Mereka, orang-orang yang sedang mencari kesempatan (karena kini setiap orang boleh menjadi politisi) untuk menjadi pejabat publik, mewakili rakyat sebagai anggota dewan yang tersebar di 77 daerah pemilihan. Di tingkat pusat, mereka bakal memperebutkan 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengamat politik dari UI Eep Saefullah Fattah menyebut antusiasme masyarakat untuk bisa duduk di kursi legislatif itu sebagai salah satu tuah nyata demokrasi. “Atas nama kebebasan, kompetisi, dan partisipasi, ribuan orang di seluruh Indonesia dengan penuh semangat ikut memperebutkan kursi-kursi wakil rakyat melalui Pemilu 2009. Demokrasi memberi ribuan orang itu semacam rasa percaya diri bahwa mereka layak menjadi pejabat publik.” (Kompas, 26/8)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, benarkah Denmas Suloyo –yang selama ini sering bicara dan bertindak waton sulaya-- dan ribuan calon legislatif lainnya itu bisa diandalkan untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang selama ini berjalan? Bukankah sejauh ini kita masih menyaksikan kacau dan campur aduknya peran dan fungsi pejabat, aparat dan birokrat bahkan “penjahat” di negeri ini?
Jika tradisi sogok-menyogok, suap-menyuap, kolusi, korupsi, bersepakat untuk sebuah pelanggaran di antara eksekutif, legislatif dan yudikatif seperti yang sedang kita saksikan di panggung politik pemerintahan negeri kita tercinta sekarang ini, maka jangan harap Pemilu 2009 yang katanya akan diisi oleh calon anggota legislatif muda, progresif, lebih banyak kaum perempuannya bakal mengubah wajah bangsa kita. Jika tradisi “bersepakat” di antara pejabat, aparat dan penjahat terus berlangsung, sulit rasanya kita berharap Indonesia mendatang bisa menuju ke kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang lebih baik.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi modern seperti yang dianut Indonesia sekarang ini, mestinya semua pihak, termasuk para calon legislatif, paham betul apa itu arti demokrasi yang di dalamnya mengandung makna pemisahan tugas, wewenang, tanggung jawab dan kekuasaan.
Salah satu hal penting dalam konsep demokrasi adalah adanya pemisahan kekuasaan atau trias politica. Konsep ini harus dilaksanakan secara benar. Trias politica adalah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Bukan malah berkompromi seperti yang sering kali kita rasakan di negeri ini. Seorang anggota Dewan bersepakat dengan gubernur untuk mengubah hutan lindung demi kepentingan komersial. Seorang jaksa bersepakat dengan terdakwa agar kasus yang sedang ditangani bisa dikompromikan. Jika hal ini terus terjadi, rusaklah negeri ini. Jadilah negeri ini menjadi negeri mafia.
Antara eksekutif, legislatif dan yudikatif haruslah menjadi pihak yang saling memahami posisi, bukan untuk berkonspirasi. Karena seperti digagas Montesqui filosof legendaris Prancis abad pertengahan itu, konsep trias politica dimaksudkan sebagai pilar demokrasi untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, kekuasaan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan bukan untuk elite politik yang kemudian menjadi raja-raja kecil di daerah, misalnya.
Kita tentu saja berharap agar apa yang dikatakan Eep Saefullah bahwa setelah berjalan satu dasawarsa, reformasi ternyata cenderung menghasilkan gejala "rezim berubah, elite sinambung" akan berhenti setelah Pemilu 2009 nanti. Apa yang dimaksud Eep adalah, para elite yang menjadi para pelaku reformasi ternyata sungguh mudah terjebak menjadi agen kesinambungan perilaku nondemokratis. “Maka, sekalipun terjadi perubahan tipe rezim dari otoritarianisme Orde Baru ke demokrasi, berbagai bentuk perilaku nondemokratis masih terus bertahan.”
Semoga saja Denmas Suloyo dan kawan-kawan calon legislatif yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 nanti benar-benar orang terpilih yang mampu mengemban tugas dan amanat rakyat. Bukan para pejabat yang siap-siap bersepakat dengan para “penjahat” demi keuntungan pribadi…q

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget