Senin, 08 Desember 2008

Orang Jawa jadi pengusaha…

Pada tahun 90-an, saya pernah membaca buku berjudul Orang Jawa Naik Haji… karya Danarto, seorang cerpenis, penyair, dramawan dan pelukis asal Sragen. Buku itu sebenarnya tak lebih dari sebuah laporan perjalanan haji seorang Danarto, penulis sastra yang karya-karyanya pada masa itu termasuk luar biasa karena keelokannya merangkai kalimat macam kumpulan cerpennya Godlob, Adam Ma’rifat dan Berhala.
Banyak orang bertanya, apa istimewanya Danarto naik haji? Saya menangkap pesan yang dia sampaikan dalam buku itu sesungguhnya adalah lebih pada persoalan “kejawaannya”, pandangan hidupnya yang telah terbentuk selaku manusia Jawa dengan segala prinsip dan kebudayaan Jawa yang dipahaminya.
Pandangan hidup orang Jawa yang sering disebut sinkretis (mencari keseimbangan atau keserasian hidup di antara sejumlah paham) menjadikan kisah orang Jawa naik haji itu menjadi sedemikian bermakna dalam tulisan Danarto. Ignas Kleden, pakar sosiologi itu pernah menulis bahwa pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam semesta ciptaan-Nya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Ini meliputi pula pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula pandangan terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada.
Nah ingatan saya soal buku Danarto, Orang Jawa Naik Haji itu terusik ketika pada Jumat Legi, malam Sabtu 14 Maret lalu saya diundang untuk menghadiri perayaan ulang tahun ke-80 Pak Kam –sapaan akrab bagi Prof Dr Sukamdani Sahid Gitosardjono di Sahid Jaya Hotel Jakarta. Inilah sosok orang Jawa jadi pengusaha yang kiprahnya layak jadi panutan karena “kejawaannya”. Saya merasa beruntung karena bisa menyaksikan sejarah perjalanan hidup yang luar biasa priyagung kelahiran Sukoharjo yang digambarkan melalui tayangan audio visual dipadu gerak tari dan lagu dengan penyanyi Edo Kondologit, Waldjinah dan Krisdayanti yang menjadi sajian utama perayaan hari ulang tahun tersebut.
Di luar suasana megah, meriah dan agung yang terasa dalam perayaan hari ulang tahun Pak Kam di Puri Agung, Sahid Jaya Hotel Jakarta itu, ada kesan kuat yang saya tangkap bahwa sebagai orang Jawa dengan segenap filosofi hidupnya, Pak Kam telah berhasil mempertautkan antara bisnis, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang diakui dan dihormati banyak kalangan. Lihat saja tokoh-tokoh bangsa ini seperti Wapres Jusuf Kalla, Mendagri Mardiyanto, Wakil Ketua MPR Mooryati Soedibyo, dan sejumlah mantan pejabat tinggi negara, seperti Try Sutrisno, Emil Salim, Moerdiono, dan rekan-rekannya sesama pengusaha seperti Sudwikatmono, Sofjan Wanandi, The Nin King, Prajogo Pangestu, Ciputra dan masih banyak lagi yang ikut memberi selamat atas keberhasilan Pak Kam sebagai orang Jawa yang telah sukses mencitrakan ketokohannya sebagai seorang pengusaha nasional yang tangguh.
Seperti tertuang dalam buku terbarunya yang diluncurkan bersamaan dengan HUT ke-80 Pak Kam pekan lalu, Mempertautkan Bisnis, Pendidikan, Sosial dan Keagamaan di sana jelas tergambar bahwa karena lahir dan dibesarkan di lingkungan budaya Jawa, maka pikiran Jawa menjadi sangat dominan dalam pembentukan karakter dan personalitas Sukamdani. Budaya Jawa yang lebih mengedepankan masalah keharmonisan hubungan antara manusia dan alam itulah yang sehari-hari dihadapi dan dihayati Pak Kam sejak kecil.
Ajaran-ajaran budaya Jawa yang membentuk pandangan hidup Sukamdani bahwa urip iku nguripi yang bermakna bahwa manusia hidup haruslah menjaga kehidupan sekelilingnya tidak ada nuansa merusak, merebut, mengeksploitir sesuatu sampai habis. Yang ada adalah andum, weweh dan nguripi karena, “Sejatining urip iku mung mampir ngombe. Urip iku mung sadermo nglakoni…”
Pada bagian lain buku itu, Pak Kam juga menyebut bahwa dengan filosofi Jawa yang serba selaras dan seimbang itu ada anggapan bahwa orang Jawa seolah identik dengan kelambanan, malas dan tidak produktif. Itu semua karena banyak orang memahami filsafat Jawa secara parsial, seperti memaknai prinsip hidup alon-alon waton kelakon yang diartikan lambat asal selamat. Padahal maksud dari filosofi kalimat itu adalah mengajarkan kepada kita bahwa jika bekerja jangan tegesa-gesa dan harus berhati-hati agar tidak membahayakan diri. Karena di sisi lain terdapat ajaran kebat, nanging keliwat… cepat tetapi banyak yang terlewatkan.
Prinsip lain yang diambil dari filosofi Jawa sehingga Pak Kam berhasil dalam menjalankan roda bisnis serta seluruh hidup dan kehidupannya adalah nguwongke uwong, memanusiakan manusia sehingga dalam keseharian kita harus memperlakukan orang lain sebagai sesama ciptaan Allah SWT. Prinsip tumindaj sak madya, berperilaku wajar, bertindak tidak secara berlebih lebihan, tidak sombong dan tidak menonjolkan diri jika tidak dipandang perlu. Prinsip nut zaman kelakone, yaitu senantiasa siap menghadapi perubahan zaman karenanya seorang manusia haruslah visioner, antisipatif, kreatif dan inovatif dalam mengikuti perubahan, bukan malah diubah oleh situasi tetapi mampu mengubah diri sesuai dengan tuntutan zaman.
Prinsip terakhir adalah urip iku amanah, hidup itu amanah, bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan. Dengan prinsip ini, kita diajarkan untuk selalu sadar bahwa jika hidup kita meraih prestasi tinggi dan memperoleh kedudukan terhormat pasti itu berkat rida Allah SWT dan partisipasi orang lain. Dengan prinsip itu, berkah Allah yang diterima harus senantiasa disyukuri, dikelola baik-baik agar bermanfaat untuk stake holder dan masayarakat banyak sebagai tabungan hari tua dan akhir hidup yang baik, khusnul khotimah…
Begitulah. Di usianya yang telah mencapai 80 tahun Pak Kam telah membuktikan diri sebagai pengusaha besar dengan tetap memegang teguh pandangan-pandangan hidupnya sebagai orang Jawa. Pak Kam sudah menunjukkan bahwa orang Jawa dengan ajaran leluhurnya bukanlah manusia yang lamban, mudah menyerah dan menerima apa adanya. Ketika filosofi itu diterapkan secara proporsional dan dengan semangat membaja prestasi pasti bisa diraih.
Saya mengutip seorang penulis yang menuangkan gagasannya di situs http://opensource.jawatengah.go.id bahwa pandangan hidup Jawa itu bukan suatu agama, ia juga tidak identik dengan religiositas Jawa, karena cakupan pengertiannya lebih luas dari pada itu. Berbeda dengan pendapat sementara pakar yang menyimpulkan bahwa ciri karakteristik religiositas Jawa dan pandangan hidup Jawa bukanlah sinkretisme tetapi penulis ini memberinya nama “Tantularisme”. “Saya namakan demikian karena semangat ini bertumpu pada atau memancar dari ajaran Empu Tantular lewat kalimat kakawin Sutasoma: Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, bermacam-macam sebutannya, tetapi Tuhan itu satu, tidak ada kebenaran yang mendua.”
Kalimat Empu Tantular ini jelas tidak hanya menekankan prinsip dan keyakinan tentang keesaan Tuhan tetapi juga keesaan kebenaran! Di situlah letak semangat Tantularisme yang merupakan inti pandangan hidup Jawa. Semangat semacam ini menjiwai dan menyemangati tidak hanya religiositas Jawa tetapi juga semua unsur dan aspek kebudayaan Jawa. Sifat karakteristik budaya Jawa yang religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik itu terbentuk secara kokoh diatas fondasi tantularisme ini.

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget