Senin, 01 Desember 2008

Dislenthik Gusti Allah…

Saya ikut larut dalam suasana sedikit haru di rumah Mas Wartonegoro pekan lalu, ketika Raden Mas Suloyo dengan raut muka sajak memelas menemui kawan ngobrolnya itu. “Oalah Mas Warto, akhirnya pulang juga sampeyan. Wah sudah lama kita tidak membahas perkembangan republik kita yang kian semrawut ini ya Mas,” kata Denmas Suloyo kepada karibnya yang baru pulang dari rumah sakit itu.
“Lha memangnya ada apa ta Denmas negara kita ini, kok panjenengan sajak wigati banget…” timpal saya yang kebetulan juga sedang bertamu di rumah Mas Wartonegoro.
“We lha, sampeyan ini gimana ta. Apa selama ini panjenengan tidak pernah mengikuti perkembangan sosial, ekonomi dan politik negeri kita ini?” papar Denmas.
“Wah kalau saya sih, selama sakit sedang nyaman enggar-enggar penggalih… memaknai ganjaran yang sedang diberikan ini lho Denmas. Saya merasa sedang dislenthik Gusti Allah ,” kata Mas Wartonegoro mulai merespons ajakan diskusi Denmas Wartonegoro. Saya pun lantas lebih senang mendengarkan mereka berdiskusi yang biasanya menjadi seru.
“Lha iya ta, sampeyan ini kok ya ada-ada saja. Wong kecelakaan kok kunduran mobil. Mbok ya diendani, nggak usah ditahan-tahan segala…”
“Kalau tahu bakal begini, mobil itu sehari sebelumnya sudah saya pinjamkan njenengan Denmas…” jawab Mas Wartonegoro sembari tersenyum.
“He he he… ya sudah, wong namanya juga musibah kok ya Mas, itu kan bagian dari cobaan hidup. Yang penting sekarang kita bisa diskusi lagi… ngerumpi lagi demi kemajuan negeri ini. Soal kekisruhan yang saya maksud itu ya pasca BBM dinaikkan itu lho Mas,” kata Denmas Suloyo mulai sulaya.
“Ya begitulah Denmas… hidup ini kan kompleks, bukan sekadar perbuatan, tapi kata para ustad hidup ini juga cobaan,” jawab Mas Wartonegoro sembari mengutip tagline yang diucapkan seorang pemimpin Parpol di tv-tv.
“Saya khawatir, kalau semua orang ngisruh… emosional... hilang kesabaran, peristiwa 1998 akan terulang gara-gara kenaikan BBM. Semoga saja rakyat dan yang terpenting para pemimpin kita paham soal hidup ini juga adalah cobaan ya…” tambah Mas Wartonegoro.
“Wah, tidak bisa kita berharap semua orang berpandangan seperti itu Mas. Karena jelas kan, gara-gara kenaikan BBM itu kini masyarakat kecil semakin terhimpit. Hidup semakin susah, dan bagi mereka ini juga musibah… cobaan hidup yang kian bertambah berat,” papar Denmas Suloyo.
“Itulah yang saya maksud. Kita ini ibaratnya sedang dislenthik Gusti Allah, diingatkan bahwa hidup ini ya memang berat apalagi di zaman susah seperti sekarang ini. Ya kayak lagunya Koes Plus itulah, Ja pada nelangsa, jamane-jaman rekasa… urip pancen angel, kudune ra usah ngomel…” kata Mas Wartonegoro.
“Wek e e e… lha thik penakmen ta Mas. Kalau semua bisa pasrah seperti itu, ya sudah tamat. Tidak perlu diskusi, tak perlu ada demonstrasi tak perlu ada ribut-ribut soal kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Ini kan masalah keadilan, kebenaran dan perjuangan rakyat,” timpal Denmas Sulaya kembali makantar-kantar.
“Wah lha kok panjenengan sing emosional. Saya kan hanya berbicara dari sudut pandang lain, bahwa ada sisi religiositas yang terkadang perlu juga dikemukakan. Mungkin kita ini sedang kembali diingatkan, dislenthik tadi lho Denmas. Kalau kita tersadar, ya semoga nantinya akan lebih baik. Kalau tidak, ya tidak tahulah… mungkin kita akan didugang… atau malah diberi bencana hebat, ditumpes kelor dan itu kan sudah terlalu sering terjadi di negeri kita ini…”
“Wah, habis sakit sampeyan kok sajak menep gitu to Mas Warto? Tapi saya pikir-pikir bener juga ya apa yang sampeyan katakana, bahwa ada sisi lain yang seharusnya selalu kita sadari bersama, bahwa hidup ini memang bukan sekadar perbuatan untuk meraih kesejahteraan… hidup itu juga cobaan ya,” kata Denmas Suloyo sok paham.
Dia lantas berkata bahwa dirinya teringat dengan apa yang pernah dikatakan Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, beberapa tahun lalu ketika tsunami menerjang Aceh. Waktu itu Cak Nun bertanya, orang-orang Aceh selama bertahun-tahun adalah rakyat yang amat dan paling menderita dibanding kita senegara, “Tapi kenapa masih ditenggalamkan di kubangan kesengsaraan sedalam itu? Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta saja yang diterjang air bah? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh di tengah perang politik dan militer yang tak berkesudahan kala itu?”
Pertanyaan itu dijawab oleh Emha sendiri lewat tokoh rekaannya Kiai Sudrun, “Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya, sehingga derajat orang Aceh ditinggikan…”
Tapi, lanjut Denmas Suloyo, apakah persolan kenaikan harga BBM dan kesengsaraan rakyat negeri ini bisa dianalogikan dengan bencana di Aceh itu? Banyak orang berkata, dimiskinkan secara materi, bagi bangsa kita itu mah sudah biasaaa. Tapi tentu saja harapan kita bersama adalah, jangan gara-gara kenaikan harga BBM, kita dimiskinkan pula secara moral. Moralitas kita jadi rendah, syaraf malu kita jadi putus, mahasiswa berbuat semena-mena, pemerintah hilang empati dan rasa peduli terhadap krisis lenyap, maunya mencari jalan pintas untuk menyelesaikan masalah tanpa berusaha mencari alternatif lain guna mengurangi risiko sekecil-kecilnya atas penderitaan rakyat.
Setelah Denmas Suloyo dan Mas Wartonegoro lerem, saya jadi terngiang kembali apa yang pernah ditulis Yahya Staquf bahwa Tuhan memperingatkan, "Takutlah kalian pada bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim." Artinya, ada bencana "sapu bersih" yang bakal melahap semua, tak peduli orang-orang saleh. Ini ancaman "baru", dan mulai berlaku sejak kerasulan Musa AS. Sebelum itu, Tuhan senantiasa "turun tangan sendiri" menyelamatkan orang-orang saleh: penentang Nabi Nuh ditenggelamkan banjir, penentang Nabi Saleh ditelan bumi, penentang Nabi Luth diuruk batu, dan seterusnya, sampai dengan karamnya Firaun. Sesudah itu, orang saleh yang harus bertindak, berjuang sendiri mengoreksi kezaliman dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.
Memperbaiki yang dimaksud tentu saja haruslah dengan kaidah, etika, norma dan aturan-aturan bukan dengan cara anarkis, represif, bukan pula dengan perusakan dan penghancuran, tanpa sopan santun dan daya nalar yang sehat. Seperti ditulis Yahya Staquf mengutip sabda Nabi Muhammad, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya (falyughoyyirhu)," maka benar-benar yang Beliau maksudkan adalah “mengubah”, bukan “menggasak” sembarang pelakunya…

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget