Minggu, 01 Februari 2009

Risiko menjadi pejabat publik…

Sepuluh tahun setelah era Orde Baru berakhir, euforia berdemokrasi di negeri ini ternyata masih berbinar-binar, meriah, gegap-gempita malah. Selama 35 tahun bangsa ini merasa terkooptasi kekuasaan Orba, benar-benar membuat begitu banyak orang Indonesia seolah lepas dari kekangan dan kemudian lepas kendali. Mereka berlomba-lomba meraih segala hal yang diimpikannya pada masa lalu, ketika zaman itu mustahil diraih. Beragam cara pun ditempuh untuk meraih cita-cita itu, termasuk keingin menjadi penguasa atau pejabat publik.
Seseorang yang sebelumnya adalah manusia yang biasa-biasa saja, pengusaha, pedagang mobil, pengacara, Satpam, preman dan tukang becak mendadak berubah menjadi seorang gubernur, bupati, walikota atau anggota legislatif, wakil rakyat, yang kesemuanya adalah status baru sebagai pejabat publik. Iklim berdemokrasi benar-benar telah berubah, wolak-waliking jaman benar-benar terjadi. Istilah kere munggah bale atau petruk dadi ratu pun menjadi sebuah keniscayaan.
Perubahan revolusinoner itu, dulu, sebenarnya membawa pengharapan bagi rakyat, bahwa mereka yang mendadak “naik pangkat” menjadi pejabat itu bisa lebih memahami kehidupan rakyatnya, mengerti penderitaan warganya, berempati terhadap nasib penduduk miskin dan lebih paham atas keseharian masyarakatnya. Ternyata harapan itu tinggal harapan. Sekalipun tidak semua orang yang berubah menjadi pejabat itu lantas lupa diri, namun citra bahwa banyak orang yang mendadak menjadi pejabat publik kemudian lupa kacang akan kulitnya begitu terasa.
Belakangan, perilaku negatif para pejabat publik yang terekspos media massa kian membuat “muak” masyarakat. Sejumlah pejabat mulai gubernur, bupati, walikota hingga anggota legislatif terlibat persoalan korupsi, suap-menyuap, sogok-menyogok. Kenyataan ini sungguh membuka mata banyak pihak akan sosok negatif elite politik yang notebane adalah para pejabat publik. Di satu sisi, keleluasaan media massa mengungkap fakta-fakta yang mencitrakan keburukan perilaku sejumlah pejabat publik itu kian membentuk opini seolah media sewenang-wenang dalam menyampaikan berita.
Idealnya, perubahan zaman ke arah yang lebih demokratis seperti sekarang ini harus dibarengi kesadaran semua komponen masyarakat untuk juga bertindak, bersikap dan berperilaku lebih baik. Tentu saja, mestinya, termasuk para pejabat publik dan juga institusi pers sebagai lembaga kontrol masyarakat. Ketika keduanya saling memahami peran dan fungsinya masing-masing, friksi dan kecurigaan di antara pihak yang satu dengan lainnya seharusnya tak perlu terjadi. Tapi pada kenyataannya masih begitu banyak persoalan-persoalan yang membuat hubungan kedua belah pihak itu tidak harmonis.
Risiko
“Era boleh berubah, tetapi perilaku dan karakter sejumlah pejabat publik dadakan ternyata sama saja. Malah banyak di antaranya yang lebih parah dari sebelumnya. Mereka mengalami gegar budaya, kaget marang kahanan lantas memegang prinsip aji mumpung. Mumpung kuwasa, mumpung nduwe jabatan, membabi buta, menumpuk harta untuk kepentingan pribadi lalu lupa pada asal usulnya,” kata Denmas Suloyo saat ngudarasa di Newas Café bersama saya dan Mas Wartonegoro.
Di malam yang agak gerimis itu, kami memang sedang ngrasani atau dalam bahasa kerennya “mendiskusikan” soal perilaku para pejabat publik yang tidak banyak berubah meskipun zaman telah berbeda. “Atau jangan-jangan kalau jadi pejabat publik itu memang harus seperti itu ya Denmas? Harus tampil pongah, sedikit nggaya, sapa sira sapa ingsun, alergi kritik, narsis atas prestasi-prestasi yang diraih, marah atau bahkan menyerang balik mereka yang tidak sependapat dengannya serta hal-hal lain yang sebenarnya menyebalkan masyarakatlah,” jawab Mas Wartonegoro setengah bertanya.
“Bisa jadi memang begitu. Lha menurut sampeyan sebagai insan pers yang sering bersinggungan langsung dengan pejabat publik bagaimana?” Tanya balik Denmas Suloyo.
“Kayak-nya sih memang demikian. Tidak dalam masa Orde Baru atau era reformasi sekarang ini, pejabat publik inginnya ya diberitakan yang baik-baik. Kalau ada kritik dari masyarakat yang disampaikan lewat media, mereka merasa disudutkan, merasa diadu domba, minimal anyel. Media massa, katanya, hanya memberitakan hal-hal negatif, sensasional. Ada malah yang merasa diserang, katanya berita itu meresahkan masyarakat padahal sebenarnya meresahkan pejabat itu sendiri. Media dianggap sebagai sumber masalah. Kami ini sering menjadi kambing hitam. Karena itulah, kami berharap para pejabat publik paham akan tugas, fungsi dan peran pers dalam khasanah berbangsa dan bernegara,” kata Mas Wartonegoro.
Begitulah. Media massa karena peran dan fungsinya, sering kali ”berseteru” dengan pejabat publik. Media massa lebih sering dianggap sebagai ”pengganggu” ketimbang mitra ”pendukung” pejabat publik. Para pejabat publik seharusnya menyadari, bahwa semenjak mereka dilantik, maka mereka harus siap menjadi sorotan. Bukan hanya oleh media, tapi semua komponen masyarakat. Sebagian privasinya bahkan bisa jadi akan ”hilang” karena statusnya sebagai pejabat publik. Segala gerak-gerik, tindak-tanduk, perilaku, kebijakan dan bahkan gaya hidupnya mungkin akan terus menjadi perhatian, itu adalah bagian dari risiko seseorang yang naik pangkat menjadi pejabat publik.
Jadi, para calon pejabat publik yang fotonya sekarang mejeng, bergaya, menebar pesona di berbagai sudut kota, spanduk, baliho bahkan di pohon-pohon hendaknya sejak dini sudah bersiap diri akan risiko-risiko yang hendak ditanggungnya jika mereka nanti terpilih menjadi pejabat publik. Biarsiaplah menjadi sorotan media dan masyarakat bak selebritas. Di sisi lain, media massa tentunya juga harus bersikap proporsional, arif bijaksana dan obyektif dalam menyampaikan realitas empiris para pejabat publik menjadi berita.
Namun sebagai media yang profesional, ketika berbicara tentang obyektivitas, hendaknya memakai perspektif yang pernah diajukan Westerstahl (McQuail, 2000). Dia katakan, obyektif itu harus mengandung faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (ketepatan dan kecermatan) dan mengaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi). Sementara, imparsialitas adalah soal keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu. Obyektivitas selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Jika persyaratan itu sudah dipenuhi, pejabat publik tak perlu gerah atau risau atas beragam berita yang bermunculan di berbagai media massa… anggap saja itu sebagai bagian dari risiko menjadi pejabat publik.

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget